Sebagai manusia yang normal pasti mempunyai tujuan dalam hidupnya. Tentu saja tujuan hidup yang mereka perjuangkan menurut selera mereka, menurut apa yang mereka cintai dan yang menjadi impian mereka. Idealnya, setelah tujuan ditetapkan, kemudian disusunlah suatu rencana yang matang, komitmen terhadap rencana yang telah disusun sangat diperlukan jika menghendaki keberhasilan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu kebahagiaan yang diimpikan setiap insan. Tentu saja kebahagiaan itu menurut persepsi mereka masing-masing. Dan, kadang-kadang, kebahagiaan yang mereka dambakan itu seperti fatamorgana, setelah mereka sampai pada bayangan fatamorgana ternyata kebahagiaan tidak mereka dapatkan. Tidak jarang mereka justru mendapatkan kesengsaraan! Namun demkian, tetap ada benang merah yang menghubungkan tujuan hidup manusia. Yaitu surga, satu kebahagiaan hidup yang diyakini akan diterima setelah kita mati kelak.Ketika penulis masih duduk di bangku SMA, ada satu guyonan ketika ABG pada waktu itu ditanya tentang cita-cita mereka. Apa cita-citamu? Dengan santai mereka menjawab, waktu muda berfoya-foya, ketika sudah tua kaya raya, dan setelah mati nanti masuk surga. Ini hanya guyonan. Tetapi meskipun guyonan, dari jawaban itu menggambarkan bahwa pada dasarnya manusia itu mendambakan kenikmatan hidup yang sering mereka tafsirkan sebagai kebahagiaan.
Impian mereka itu sebenarnya sangat manusiawi. Sebagai manusia sudah menjadi hal yang wajar apabila kita mendambakan kebahagiaan. Dan dalam bahasa agama kebahagiaan abadi itu adalah surga. Agama senantiasa menawarkan Surga sebagai tempat kebahagiaan yang kekal. Bagi siapa yang taat dan patuh kepada agamanya, maka mereka akan mendapatkan Surga sebagai imbalanya apabila telah meninggal dunia.
Bagaimana sesungguhnya makna dan persepsi surga bagi orang-orang beriman? Surga dalam konsepsi al-Qur’an [Islam] disebut al-Jannah. Kata ini biasa ditafsirkan sebagai tempat yang penuh kenikmatan, dimana mata belum pernah melihat, telinga belum bernah mendengar dan belum terlintas didalam pikiran kita, yang akan diterima oleh orang-orang beriman ketika sudah mati kelak. Sebagai orang yang beriman tentu kita wajib meyakininya, karena menurut akal sehat hal itu memang wajar. Bagi siapa saja yang beramal baik pasti mereka akan mendapatkan imbalan yang baik, sebaliknya bagi siapa yang beramal buruk, pasti mereka akan mendapatkan imbalan yang buruk pula. Bukankah itu Masuk akal.Cuma, masalahnya, benarkah makna jannah itu hanya terbatas pada kehidupan setelah mati kelak? Padahal, Kanjeng Nabi menyebut istilah jannah ketika menggambarkan kebagiaan hidup. Baiti Jannati (rumahku adalah surgaku). Begitu pula ketika beliau menggambarkan peran seorang ibu dalam membentuk pribadi anak mereka, aljannatu tahta aqdamil ummahat (surga itu berada di bawah telapak kaki ibu).
Secara etimologi makna jannah sebenarnya berarti taman yang tertata rapi nan indah. Suatu gambaran kehidupan yang akan dimiliki oleh orang yang dalam hidupnya selalu taat dan patuh dengan ajaran agamanya, digambarkan bahwa di bawahnya senantiasa mengalir aneka sungai [min tahtihal-anhar]. Sehingga taman kebahagiaan tersebut merupakan taman yang subur dan menyejukkan. Siapapun yang tinggal di dalamnya tentu akan menuai kepuasan. Pohon-pohon yang ada di Surga adalah merupakan perwujudan dari kalimat thayibat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke angkasa raya [asluha tsabitun wa far ‘uha fi as-sama’].
Gambaran secara fisik tersebut, menurut teori sastra al-Qur’an, perlu dilihat arti metaforisnya [wajhu sabhin], agar dapat membantu kita dalam memahami makna Sorga [al-Jannah] yang sebenarnya. Apabila pohon-pohon yang ada di Surga tersebut menggambarkan masing-masing figur [sosok] orang beriman yang hidup di dalamnya, maka antara phon yang satu dengan yang lainnya akan saling merindangkan panen. Juga saling menghidangkan hasil karyanya satu sama lain. Pohon mangga akan memberikan bangganya, pohon rambutan akan menghadiahkan rambutannya, demikian pula pohon-pohon lainnya. Inilah gambaran kehidupan masyarakat Surga yang demikian indah, adil dan saling memakmurkan, gemah ripah loh-jinawi, tata titi tentrem kerta raharjo, murah kang sarwo tinuku lan thukul kang sarwa tinandur [jawa]. Semua itu ditunjang oleh suatu sistem ekonomi yang senantiasa dapat memenuhi seluruh hajat hidup orang banyak dan terdistribusinya dengan lancar seperti halnya aliran aneka sungai yang selalu mengalir di bawah Surga.
Kalau kita perhatikan lebih cermat, maka ternyata Surga yang dijanjikan Allah tersebut berujud ganda. Yakni selain Surga yang ada di akhirat kelak juga ada Surga di dunia ini. Hal tersebut tergambar jelas dalam do’a sapu jagad yang sering kita panjatkan. Rabbana aatina fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qiina ‘adzaban naar. Surga dunia [fidunya hasanah] adalah dunia yang baik dan indah yakni Madinatul-Munawwarah. Suatu “negara kota” yang gilang gemilang karenada dilandasi oleh cahaya al-Qur’an-Sunnah-Rasul. Adapun Surga akhirat [fil-akhirati hasanah], adalah Surga yang dijanjikan Alla apabila si Mukmin telah meninggal dunia, sebagai balasan atas segala amal ibadahnya. Jadi Surga akhirat adalah merupakan konsekuensi logis dari Surga dunia, karena dunia adalah cerminan akhirat [Ad-dunya mir’atul akhirah].
Surga dunia sebagaimana tercermin dalam Madinatul Munawwarah telah dicapai oleh Rasulullah saw. Dan para sahabatnya melalui “jalan yang lurus” [Shirathalmustaqim]. Yaitu suatu sistem jalan kehidupan Islam secara total [kaffah] yang diraih dengan cara merevolusikan masyarakat dari kegelapan jahiliyah [dzulumat] menuju pencerahan ilmiyah [an-Nur], [Q.S. al-Baqarah: 257]. Surga yang seperti digambarkan tersebut bukan Surga yang jatuh begitu saja dari langit, akan tetapi suatu Surga yang harus diraih melalui perjuangan fisik [jihad], perjuangan mental [mujahadah] maupun perjuangan intelektual [ijtihad].
Dengan melalui kegiatan dakwah yang giat [intensif], mangkus [efektif] dan sangkil [efisien], Rasulullah saw. Telah berhasil membangun “Surga” di dunia. Sebuah revolusi kebudayaan paling cepat dalam sejarah. Hanya dalam tempo kurang dari seperempat abad [23 tahun], padang pasir gersang dan gunung-gunung batu yang keras lagi tandus telah berubah menjadi Surga. Yakni membebaskan manusia dari peradaban yang gelap gulita [dark ages] menuju peradaban yang terang benderang [enlightenment] disinari oleh cahaya ilahi [al-Qur’an] melalui tauladan hidup Rasulullah.
Untuk mencapai kondisi tersebut, berapakah harga yang harus dibayarkan? Yang pasti, harga sebuah Surga tidaklah murah. Menurut Allah bagi setiap mukmin [para pendukung cita-cita surgawi] haruslah mau menyerahkan diri dan hartanya sekaligus [anfusahum wa amwalahum] untuk ditukar dengan al-Jannah. Dan proses transaksinya harus diperjuangkan mati-matian sehingga setiap mukmin harus senantiasa siap tempur [ready use to combat] dalam rangka meraih dan mempertahankan Surga [yuqaatiluuna fi sabilillah fayaqtuluuna wayuqtaluun]. Harga inilah yang diminta Allah sebagaimana tersirat di dalam semua kitab suci, baik at-Taurat, al-Injil, maupun al-Qur’an. [Q.S. at-Taubah:111].
Apa makna dari semua itu? Dengan dibayarkannya “diri” dan “harta” mukmin kepada Allah, maka berarti simukmin tersebut telah menyerahkan “ego”, ke-aku-annya dan hartanya menjadi milik Allah. Sehingga dengan demikian, setiap mukmin menyerahkan seluruh hidupnya untuk dikelola oleh Allah. Dengan kata lain, setiap orang yang menyatakan dirinya mukmin sudah semestinya mau dan rela sepenuh hati untuk hidup hanya menurut kehendak Allah. Mukmin yang demikian itulah mukmin yang haq, mukmin yang menjadi pohon-pohon Surga, yang dari benih iman-nya telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh kuat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke angkasa raya serta berbuah di sepanjang musim [Q.S. Ibrahim:24].
Pohon tersebut selalu menghidangkan panen zakat, infaq, dan sadaqah bagi kemakmuran dan keadilan kehidupan. Aroma buahnya menciptakan ketenteraman dan kebahagiaan hidup tiada tara. Demikianlah Surga yang menjadi dambaan setiap insan. Sebuah model kehidupan, yang selain membahagiakan sekaligus juga menyehatkan. Ibarat manisnya madu yang selain lezat nikmat juga menyehatkan [Q.S. an-Nahl: 68, 69]. Itulah yang terjadi hampir hampir satu setengah milinium yang lampau di dalam masyarakat Madinatul Munawwarah, “negara kota” yang bermandikan cahaya Ilahi dengan tauladan indah para Nabi, yang kelak nantinya merupakan panen di akhirat [ad-dunya mazra’atul akhirah]. Singkatnya, suatu masyarakat dimana telinga kita belum pernah mendengar, mata belum pernah melihat, hati belum pernah merasai, Masyarakat mukmin yang seperti itulah, masyarakat di mana pandangan dan sikap hidupnya berdasar kalimat thayyibat, [al-Qur’an –Sunnah-Rasul], yang akan memperoleh Surga yang dijanjikan.