Rakyat tidak butuh janji-janji
manis dari para pemimpinnya. Tetapi anehnya kembanyakan rakyat menyukai
janji-janji manis, terpikat oleh pidato-pidato retoris yang membius sukma! Hal
itu terbukti ketika pemilihan pemimpin. Kampanye-kampanye yang mengobral janji-janji
manis ternyata masih laku terjual, meskipun akhirnya mereka kecewa sebab
janji-janji manis itu hanyalah tinggal janji. Saya jadi teringat lagu bang Haji
Rhoma Irama yang berjudul kegagalan cinta.
Cukup sekali aku merasa kegagalan
cinta
Tak kan terulang kedua kali di
dalam hidupku
Oh oh oh ya nasib-nasib mengapa
begini
Beru pertama bercinta sudah
menderita
………………
ref
Kau yang mulai kau yang mengakhiri
Kau yang berjanji kau yang
mengingkari
Kau yang mulai kau yang mengakhiri
Kau yang berjanji kau yang
mengingkari
Kalau tahu begini akhirnya
Tak mau dulu kubermain cinta
Nah, barangkali seperti itulah
ketika rakyat mengalami kekecewaan. Kalau tahu begini akhirnya tak mau dulu
kubermain politik memilihmu! Tetapi penyesalan tinggal penyesalan, system politik
yang dibangun oleh para pengobral janji terus berjalan hingga ke pemilihan
berikutnya. Lagi-lagi, peristiwa yang sama berulang, rakyat kembali terpukau
oleh janji-janji manis calon pemimpin. Barangkali perlu pendewasaan politik,
perlu pembelajaran politik agar rakyat tidak tertipu lagi. Dalam hal ini peran
media memang sangat hebat, karena mereka bisa menyulap orang menjadi pahlawan
pembela rakyat, padahal tidak mustahil mereka hanya membela kepentingan dirinya
sendiri!
Satu hal yang harus kita cermati,
dan yang perlu kita camkan di dalam ingatan kita adalah : jika seseorang
menginginkan sesuatu pasti mereka akan berkata muluk-muluk agar orang
menganggap dirinya hebat dan pantas dipilih. Untuk meyakinkan orang lain pasti
mereka akan mengobral janji. Anda jangan langsung percaya! Pikirkan
masak-masak, kemudian baru memilih, jangan terpikat oleh janji-janji mereka.
Barangkali mereka hanya para demagog.
Apa itu pememimpin demagog?
Sebagai ilustrasi, lihatlah apa yang dilakukan pemimpin dan elit politik ketika
menghadapi masalah bangsa. Pidato politik! Di atas podium yang anggun,
dihadapan massa yang fanatic yang mengidolakan mereka sampai titik darah
penghabisan “pejah gesang nderek sang pemimpin”, dikelilingi para penasehat
yang selalu setia, petinggi Negara yang menceramahi rakyat. Tak lupa pekik
merdeka dan kibaran bendera untuk menunjukkan kentalnya nasionalisme. Lalu,
masalah telah dianggap selesai. Rakyat dianggap sudah dapat menerima. Padahal,
mereka tetap tertindas dan terdzalimi.
Itulah hati para demagog. Hati
para pemimpin yang gemar berpidato untuk orang banyak, tetapi tak pernah
berpidato untuk dirinya sendiri. Lincah beretorika politik. Hati yang selalu
berbinar-binar kalau berhadapan dengan massa rakyat yang bersimpuh, tapi tak
pernah hadir bersama derita rakyat selain mengatasnamakannya. Hati pemimpin
yang kehilangan ruh yang shalih (jernih), selain sekedar seonggok darah yang
membeku. Boleh jadi gumpalan darah itu telah digerogoti berjuta-juta penyakit
kronis sehingga menjadi hati yang busuk.
Bagi para pemimpin demagog, yang
penting adalah bahasa. Bahasa itu memang menjadi permainan makna. Bahasa pidato
menjadi segalanya, bahasa sekedar perlambang. Bukan bahasa yang mengandung
makna dan fungsi. Dengan kata lain, bahasa pidato sekedar bunyi fisik minus
makna substansi. Pidato para demagog menjadi hampa dan mati. Tak membuahkan
aktualisasi di dunia nyata! Pidatonya sekedar language games, sekedar permainan
bahasa. Bahasa memang permainan makna. Lewat bahasa dapat disampaikan beragam
perintah, pernyataan, penggambaran, sampai pada do’a bahkan senda gurau dan
sandiwara. Bagi para demagog sandiwaralah yang sering melekat dalam
pidato-pidatonya. Padahal bahasa harus bermakna. Bahasa dapat dikatakan
bermakna apabila bersambung dengan aktivitas!
Celakanya, tidak sedikit rakyat
yang menyukai para demagog. Rakyat masih gemar symbol, upacara, dan berbagai
perhiasan social yang semu. Rakyat kita masih suka pemimpin selebriti yang
sesungguhnya tidak memihak derita rakyat. Dan para pemimpin demagog itu paham
betul bagaimana memanfaatkan psikologi rakyat Indonesia yang romantic untuk
memenuhi syahwat politiknya yang menyala-nyala! Ya Allah, mudah-mudahan negeri
ini dijauhkan dari para demagog yang menipu rakyat!
***
No comments:
Post a Comment