Pada postingan yang lalu kita
telah mengidentifikasi borok-borok organisasi atau penyakit-penyakit yang biasa
menyerang satu organisasi. Ada tiga penyakit yang sudah kita identifikasi. Kali
ini kita akan melanjutkan identifikasi penyakit-penyakit tersebut. Inilah
langkah pertama untuk menyembuhkan penyakit, mengenali jenis penyakit merupakan
satu hal yang tidak bias kita tawar-tawar lagi.
Menerima Sogok/Suap
Inilah jenis penyakit ke 4 yang
sekarang ini sudah membudaya, sehingga bangsa kita mendapatkan predikat yang
memalukan. Menerima uang sogok atau suap merupakan bentuk terburuk dari
perilaku disfungsional seorang pejabat pimpinan. Seperti telah kita ketahui
bahwa pejabat pimpinan memiliki kekuasaan tertentu yang tidak dimiliki orang
lain. Bentuk paling nyata dari kekuasaan dimaksud adalah wewenang memberi izin.
Inilah pintu masuk uang sogok/suap. Di zaman yang selalu mengedepankan materi
sekarang ini, uang merupakan iming-iming yang sangat menggoda selera. Jika
pejabat yang berwenang tidak kuat imannya pasti akan hanyut oleh godaan uang
yang menggiurkan itu.
Dalam kehidupan bernegara, banyak
kegiatan yang hanya boleh dilakukan ketika warga mendapatkan izin dari pejabat
yang berwenang. Makin besar keuntungan atau manfaat yang mungkin diraih oleh
pemegang izin, makin besar pula kemungkinan terjadinya penyogokan. Artinya,
makin besar godaan bagi pejabat pemberi izin untuk bertindak sedemikian rupa,
sehingga pemohon izin pun makin terdorong memberikan uang sogok. Cara-cara yang
sering ditempuh oleh pihak yang berwenang adalah:
- Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin
- Mencari bebagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis.
- Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain.
- Sulit dihubungi
- Memperlambat dengan kata-kata “sedang diproses”.
Sebenarnya kurang adil jika hanya
membebankan kesalahan kepada pejabat yang berwenang memberikan izin, sebab pada
prakteknya banyak anggota masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan istimewa
sehingga mereka menghalalkan berbagai cara untuk mewujudkan keinginannya
tersebut. Misalnya dengan menyogok. Aksioma yang berlaku adalah “Tidak ada
penerima uang sogok jika tidak ada yang memberikannya.”
Penyakit ini memang sulit
diberantas, namun ada berbagai upaya untuk menguranginya. Salah satu cara yang
dapat dilakukan adalah, dengan memaparkan secara jelas persyaratan-persyaratan
apa yang harus dipenuhi oleh pemohon perizinan. Selain itu, untuk membuat jera,
dapat diberlakukan sangsi hukum terhadap mereka yang terbukti menerima dan
memberikan uang sogok. Cara itu tampaknya mudah untuk diucapkan, tetapi
prakteknya sulit dilakukan, sebab antara pemohon perizinan dan pihak yang
memberikan izin sering terjadi kolusi sehingga jejak mereka menjadi sulit untuk
dilacak. Apalagi uang sogok ini kadang-kadang berbentuk samar-samar, layaknya
seperti orang memberi hadiah. Dalam dunia perkoropsian penyogokan semacam ini
diistilahkan gratifikasi.
Menurut pasal 12 B, Undang-undang No.20
tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi, secara tegas diterangkan bahwa “Setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau
tugasnya…” ;
Gratifikasi dalam penjelasan pasal 12 B
tersebut diartikan merupakan “pemberian” dalam arti luas meliputi : pemberian
uang, barang, discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas
lainnya yang berhubungan dengan jabatan seorang Pegawai Negeri sipil. dan
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik, semua pemberian tersebut dapat diancam dengan pidana “suap”.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment