Wednesday, October 24, 2012

UANG SOGOK



Pada postingan yang lalu kita telah mengidentifikasi borok-borok organisasi atau penyakit-penyakit yang biasa menyerang satu organisasi. Ada tiga penyakit yang sudah kita identifikasi. Kali ini kita akan melanjutkan identifikasi penyakit-penyakit tersebut. Inilah langkah pertama untuk menyembuhkan penyakit, mengenali jenis penyakit merupakan satu hal yang tidak bias kita tawar-tawar lagi.

Menerima Sogok/Suap

Inilah jenis penyakit ke 4 yang sekarang ini sudah membudaya, sehingga bangsa kita mendapatkan predikat yang memalukan. Menerima uang sogok atau suap merupakan bentuk terburuk dari perilaku disfungsional seorang pejabat pimpinan. Seperti telah kita ketahui bahwa pejabat pimpinan memiliki kekuasaan tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Bentuk paling nyata dari kekuasaan dimaksud adalah wewenang memberi izin. Inilah pintu masuk uang sogok/suap. Di zaman yang selalu mengedepankan materi sekarang ini, uang merupakan iming-iming yang sangat menggoda selera. Jika pejabat yang berwenang tidak kuat imannya pasti akan hanyut oleh godaan uang yang menggiurkan itu.

Dalam kehidupan bernegara, banyak kegiatan yang hanya boleh dilakukan ketika warga mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Makin besar keuntungan atau manfaat yang mungkin diraih oleh pemegang izin, makin besar pula kemungkinan terjadinya penyogokan. Artinya, makin besar godaan bagi pejabat pemberi izin untuk bertindak sedemikian rupa, sehingga pemohon izin pun makin terdorong memberikan uang sogok. Cara-cara yang sering ditempuh oleh pihak yang berwenang adalah:
  • Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin
  • Mencari bebagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis.
  • Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain.
  • Sulit dihubungi
  • Memperlambat dengan kata-kata “sedang diproses”.
Sebenarnya kurang adil jika hanya membebankan kesalahan kepada pejabat yang berwenang memberikan izin, sebab pada prakteknya banyak anggota masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan istimewa sehingga mereka menghalalkan berbagai cara untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Misalnya dengan menyogok. Aksioma yang berlaku adalah “Tidak ada penerima uang sogok jika tidak ada yang memberikannya.”

Penyakit ini memang sulit diberantas, namun ada berbagai upaya untuk menguranginya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah, dengan memaparkan secara jelas persyaratan-persyaratan apa yang harus dipenuhi oleh pemohon perizinan. Selain itu, untuk membuat jera, dapat diberlakukan sangsi hukum terhadap mereka yang terbukti menerima dan memberikan uang sogok. Cara itu tampaknya mudah untuk diucapkan, tetapi prakteknya sulit dilakukan, sebab antara pemohon perizinan dan pihak yang memberikan izin sering terjadi kolusi sehingga jejak mereka menjadi sulit untuk dilacak. Apalagi uang sogok ini kadang-kadang berbentuk samar-samar, layaknya seperti orang memberi hadiah. Dalam dunia perkoropsian penyogokan semacam ini diistilahkan gratifikasi.

Menurut pasal 12 B, Undang-undang No.20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, secara tegas diterangkan bahwa “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya…” ;

Gratifikasi dalam penjelasan pasal 12 B tersebut diartikan merupakan “pemberian” dalam arti luas meliputi : pemberian uang, barang, discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya yang berhubungan dengan jabatan seorang Pegawai Negeri sipil. dan Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, semua pemberian tersebut dapat diancam dengan pidana “suap”.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment