Wednesday, July 31, 2013

Renungan Ramadhan 3

BERCERMIN PADA KARAKTER BAYI


Kita sering mendengar julukan anak jadah yang dialamatkan pada bayi-bayi yang lahir diluar pernikahan. Benarkah mereka itu terlahir dalam keadaan berdosa akibat perbuatan orang tuanya? Tidakkah yang jadah itu adalah orang tuanya? Padahal, menurut pandangan dan penilaian Al Quran bayi itu lahir dalam kondisi tidak tahu apa-apa.

dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (Nahl : 78).

Pada ayat di atas jelas dikatakan bawah anak yang lahir ke dunia ini dalam kondisi tidak tahu apa-apa mereka dibekali oleh allah pendengaran, penglihatan dan hati agar mereka mau bersyukur.

Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa bayi itu memiliki dosa turunan. Bahkan kita sering mendengar pada hari raya, orang-orang yang benar-benar melakukan shaum ramadhan nantinya akan kembali fitrah seperti jabang bayi yang lahir dari perut ibunya. Tentu saja hal itu hanyalah satu metafor yang dapat kita gali hubungan persamaannya untuk kita jadikan cermin bagi kehidupan kita. Kalau kita analisis secara filosofis, menurut K.H. Anwar Sanusi dalam bukunya yang berjudul Jalan Kebahagiaan, paling tidak karakter bayi itu ada lima.

1. Bayi tidak Pernah Sombong

Dosa yang sangat dimurkai oleh Allah adalah syirik, sedang akhlak yang sangat dibenci oleh Rasul adalah sombong. Orang mukmin tidak boleh sombong dalam kehidupan. Sombong karena kekayaan, sombong karena ilmu yang tinggi, sombong karena kekuasaan,  sombong karena popularitas. Seluruh bentuk kesombongan tersebut dicela oleh agama. Rasulullah ketika menceritakan kisah Fir’aun kepada para sahabatnya, beliau tutup dengan sebuah hadits,

“Tidak akan masuk dalam surga, orang-orang yang bertakhta penyakit sombong dalam hatinya, walaupun kesombongannya hanya sebesar biji sawi.”

2.  Bayi tidak Pernah Dengki
Dengki adalah penyakit tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat. Hidupnya hanya menghitung-hitung kelebihan dan kebahagiaan orang lain. Oleh karena itu, Allah memberi tuntunan bagaimana cara kita berinteraksi terhadap sesama kita dalam firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagaian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12).

Dalam ayat ini, Allah memberi tuntunan kepada kita tentang bagaimana cara memproteksi persatuan dan kesatuan. Seluruh sikap yang mengantarkan kepada perpecahan dicela oleh agama.Disebutkan ada tiga sikap anatara lain:
  • Menjauhi Sikap Buruk Sangka (Negative Thinking)
Berapa banyak saudara berpisah dengan saudara justru berawal dari sikap ini. Sebuah masalah yang terkadang belum terlihat ujung pangkalnya, selalu kita tebarkan tuduhan yang tidak proporsional. Betapa jeleknya sifat ini, sehingga Rasullah dalam sebuah haditsnya mengatakan, “Jika orang memiliki watak ini, seluruh nilai kebaikannya akan hancur seper api memakan kayu bakar.”
  • Jangan Menceritakan Kesalahan Orang Lain
Saat ini kita belum mengalami banjir sebesar banjirnya Nani Nuh, tapi banjir yang dihadapi sekarang adalah banjir fitnah, banjir dengki, banjir dekadensi moral, banjir kemaksiatan, dll. Untuk apa kita menyibukkan diri dengan menjelekkan orang lain, sedangkan kejelekan sendiri di pelupuk mata, kita pura-pura tidak melihatnya.

Bisakah kita menyediakan sebagian dari bilik hati ini untuk menyadari bahwa yang bersalah bukan hanya dia, tetapi juga kita. Sanggupkah kita (jangan sebagian) setitik saja bilik hati ini untuk merenungkan bahwa yang berdosa bukan hanya mereka, tetapi juga kita. Untuk kemudian kita lebih arif dan bijaksana dalam menilai sesama kita. Bukan dengan cara-cara yang tengah kita kembangkan, baik dalam kehidupan kita sebagai umat maupun sebagai bangsa.
  • Jangan Saling Menggunjing Sesama Kita
Rasulullah suatu hari bertemu dengan dua orang sahabat yang tengah menggunjing temannya. Beliau bertanya,”Kenapa kamu gunjingkan sesama kamu?”Salah seorang sahabatnya berkata,”Yang kami gunjingkan ini adalah kenyataan.” Rasulullah menjawab,”Ini namanya menggunjing, sebab kalau yang digunjingkan itu salah, namanya adalah bahtan (kebohongan besar).”

Yang menjadi pertanyaan adalah,”Mengapa Allah melarang ketiga sifat tersebut?”Allah menjawab dengan pertanyaan retorika. “Apakah kamu senang memakan daging bangkai saudaramu yang telah mati?”

Artinya, kalau kita melaksanakan tiga sifat ini, sama dengan memakan daging bangkai saudara kita sendiri. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Efeknya akan kembali kepada kita sebagi umat. Ukhuwah tidak tumbuh, persaudaraan tidak akan terbangun, umat menjadi lemah. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa menelurkan prestasi yang signifikan, sementara umat yang lain sudah jauh meninggalkan kita.

3. Bayi Tidak Pernah Dendam

Sikap ini lahir dari keinginan diri untuk tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Cahaya Ilahi tidak akan terpantul dari hati dengan penuh dendam. Cahaya Rabbani tidak akan terpantul dari hati yang penuh dengan dendam kesumat. Cahaya Ilahi, Nur Rabbani hanya bisa terpantul dari hati yang penuh keikhlasan.

4. Bayi Selalu Ikhlas
Seorang yang mau berbuat hanya untuk mencari keridhaan Allah. Terjemahan dalam kehidupan kita sebagai bangsa adalah keinginan untuk mau berbuat untuk dan atas nama bangsa dan agama yang mulia ini. Dia tidak mengharapkan pujian dan sanjungan, yang diharapkan adalah keridhaan Allah semata-mata. Seluruh pengorbanan yang dipersembahkan kepada bangsa akan mendapatkan apresiasi yang setimpal dari Allah. Kalaupun mati, akan mati syahid.  Kita saksikan darah rakyat dan sebagian prajurit TNI menggenang di bumi Serambi Mekah, di Papua, di Ambon, dan di tempat-tempat lain. Kita doakan agar mendapat pahala syahid di sisi-Nya.

5. Bayi Tidak Pernah Serakah
Sikap ini lahir karena adanya keengganan diri untuk mensyukuri seluruh yang diberikan Allah. Secara jujur kita harus akui bahwa yang tengah terpuruk ekonomi dan politiknya ini disebabkan oleh penyakit serakah.
Kalau kelima karakter bayi ini kita amalkan, persatuan dan kesatuan bangsa akan terwujud. Kitapun akan menggulirkan seluruh agenda reformasi dengan sebaik-baiknya.
Semoga Allah memberikan kekuatan iman dan Islam kepada kita agar kita bersama dapat mengawal bangsa ini untuk merasakan secara sungguh-sungguh keadilan dalam kemakmuran dan kemakmuran dalam keadilan di bawah naungan ridha Allah swt. Amiin!