Tuesday, July 29, 2014

Idul Fitri 1435 H


Assalamu'alikum Wr.Wb. Alhamdulillah pada kesempatan yang berbahagia ini kita masih dipertemukan oleh Allah. Mudah-mudahan pertemuan kita kali ini dan selanjutnya bermanfaat bagi kehidupan kita. Tidak lupa kami ucapkan selamat hari raya Idul Fitri, mudah-mudahan kita benar-benar menjadi orang yang menang setelah sebulan berjihad menahan hawa nafsu. Dan, selepas bulan ramadhan kita benar-benar menjadi manusia baru yang mampu mengendalikan diri sehingga kita tidak diperbudak oleh hawa nafsu kita.

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ

جَعَلَنَا اللهُ وَ اِيَّاكُمْ مِّنَ العَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ

كُلَّ عَامٍ وَّ اَنْتُمْ بِخَيْرِ

“Semoga Allah menerima amal ibadah kita (ibadah puasa dan lainnya) semua. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk bagian orang-orang yang kembali (pada ajaran Allah) dan menjadi golongan orang-orang yang mencapai kemenangan. Mudah-mudahan Anda setiap tahun selalu dalam kebaikan.”


Inilah ucapan selamat yang sering kita ucapkan pada hari raya Idul Fitri. Tetapi sering kita saksikan ucapan selamat hari raya itu diterjemahkan lain, atau bahkan tidak diterjemahkan, dibuat seperti pantun ala melayu. Minal ‘aidiin wal faaidzin mohon maaf lahir dan batin. Meskipun kedengaran enak ditelinga, jika kita perhatikan makna itu bukan terjemahan dari minal 'aidiin wal faa'idzin karena kalimat tersebut artinya bukan mohon maaf lahir dan batin. Orang yang kembali dan menang itu adalah, orang yang kembali hidup secara fitrah (mau hidup berpedoman dengan ajaran Allah), itulah orang yang patut disebut mendapatkan kemenangan. 'Aidiin adalah isim fail yang artinya yang kembali / orang-orang yang kembali. Kembali ke mana?

Dikatakan kembali, berarti bahwa sesuatu yang kembali pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar atau kesucian. Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'Idul Fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian mereka berada dalam kesucian. (Wawasan Al-Quran, M. Quraish Shihab hal. 328)

Dari para dai kita sering mendengar pada hari raya Idul Fitri kita kembali ke fitrah, lebur dosa-dosanya, diibaratkan seperti jabang bayi yang terlahir dari perut ibunya. Sebenarnya, jika kita menggunakan bahasa sastra, makna tersebut dapat kita perdalam lagi sehingga dapat lebih menghujam lagi ke dalam kesadaran kita seperti yang dijelaskan oleh K.H. Anwar Sanusi dalam bukunya yang berjudul Jalan Kebahagiaan. Kenapa bayi itu dijadikan metafor kesucian?



1. Bayi Tidak Pernah Sombong
Dosa yang sangat dimurkai oleh Allah adalah syirik sedang akhlak yang sangat dibenci oleh Rasulullah adalah sombong. Seorang mukmin yang berpuasa tidak boleh sombong dalam kehidupan. Sombong karena kekayaan, sombong karena ilmu yang tinggi, sombong karena kekuasaan, sombong karena popularitas. Seluruh bentuk kesombongan tersebut dicela oleh agama.  

2. Bayi tidak pernah dengki
Dengki adalah penyakit tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat. Allah memberikan tuntutan dan tuntunan bagaimana cara kita berinteraksi terhadap sesama kita, seperti firman Allah dalam surat al-Hujuraat ayat 12 :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagaian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Dalam ayat ini, Allah memberi tuntunan kepada kita tentang bagaimana cara memproteksi persatuan dan kesatuan. Seluruh sikap yang mengantarkan kepada perpecahan dicela oleh agama. Disebutkan ada tiga sikap, antara lain,

Jangan menceritakan kesalahan orang lain

Jika kita cermati, sekarang ini sudah terjadi banjir bandang yang luar biasa, tetapi Anda jangan membayangkan banjir bandang seperti yang terjadi dizaman Nabi Nuh. Banjir yang dihadapi sekarang adalah banjir fitnah, banjir dengki, banjir dekadensi moral, banjir kemaksiatan, dll. Untuk apa kita menyibukkan diri dengan menjelek-jelekkan orang lain, sementara kejelekan sendiri berada di pelupuk mata, tetapi kita pura-pura tidak melihatnya.
Dapatkah kita menyediakan sebagian bilik hati ini untuk menyadari bahwa yang bersalah bukan hanya dia, tetapi juga kita. Sanggupkah kita (jangan sebagian) setitik saja dalam bilik hati ini untuk merenungkan bahwa yang berdosa bukan hanya mereka, tetapi juga kita. Untuk kemudian kita lebih arif dan bijaksana dalam menilai sesama kita. Bukan dengan cara-cara yang tengah kita kembangkan, baik dalam kehidupan kita sebagai umat maupun sebagai bangsa.
  • Jangan Saling menggunjing Sesama Kita
    Rasulullah saw. Suatu hari bertemu dengan dua orang sahabat yang tengah menggunjing temannya. Beliau bertanya,”Kenapa kamu gunjingkan sesama kamu?”Salah seorang sahabatanya berkata,”Yang kami gunjingkan ini adalah kenyataan.” Rasulullah menjawab,”Ini namanya menggunjing, sebab kalau yang digunjingkan itu salah, namanya adalah bahtan (kebohongan besar).”
    Yang menjadi pertanyaan adalah,”Mengapa Allah melarang ketiga sifat tersebut?”Allah menjawab dengan pertanyaan retorika,”Apakah kamu senang memakan daging bangkai saudaramu yang telah mati?”
    Artinya, kalau kita melaksanakan tiga sifat ini, sama dengan memakan daging bangkai saudara kita sendiri. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Efeknya akan kembali kepada kita sebagai umat. Ukhuwah tidak tumbuh, persaudaraan tidak terbangun, umat menjadi lemah. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa menelurkan prestasi yang signifikan, sementara umat yang lain sudah jauh meninggalkan kita.

    3. Bayi Tidak Pernah Dendam
    Sikap ini lahir dari keinginan diri untuk tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Cahanya Ilahi tidak akan terpantul dari hati penuh dengan dendam. Cahaya Rabbani tidak akan terpantul dari hati yang penuh dengan dendam kesumat. Cahaya Ilahi, Nur Rabbani hanya bisa terpantul dari hati yang penuh dengan keikhlasan.
    4. Bayi Selalu Ikhlas
    Seseorang yang berbuat hanya untuk mencari keridhaan Allah. Terjemahan dalam kehidupan kita sebagai bangsa adalah keinginan untuk mau berbuat untuk dan atas nama bangsa dan agama yang mulia ini. Dia tidak mengharapkan pujian dan sanjungan, yang diharapkan adalah keridhaan Allah semata-mata. Seluruh pengorbanan yang dipersembahkan kepada bangsa akan mendapatkan apresiasi yang setimpal dari Allah. Kalaupun mati, akan mati syahid. Kita masih saksikan darah rakyat dan sebagian prajurit TNI menggenang di bumi Serambi Mekah, di Papua, di Ambon, dan di tempat-tempat lain. Kita doakan agar mendapat pahala syahid di sisi-Nya.
    5. Bayi Tidak Pernah Serakah
    Sikap ini lahir karena adanya keengganan diri untuk mensyukuri seluruh yang diberikan oleh Allah. Secara jujur harus kita akui bahwa bangsa yang tengah terpuruk ekonomi dan politiknya ini disebabkan oleh penyakit serakah.
    Kalau kelima karakter bayi ini kita amalkan, persatuan dan kesatuan bangsa akan terwujud. Kita pun akan menggulirkan seluruh agenda reformasi dengan sebaik-baiknya.
    Semoga Allah memberikan kekuatan iman dan Islam kepada kita agar kita bersama dapat mengawal bangsa ini untuk merasakan secara sungguh-sungguh keadilan dalam kemakmuran dan kemakmuran dalam keadilan di bawah naungan ridha Allah swt. Amiin!

















Sunday, July 20, 2014

Ilmu Dalam Perspektif Islam


Sejatinya, manusia itu terlahir di dunia ini tidak memiliki ilmu apapun. Inilah kondisi asli manusia ketika mereka dilahirkan di dunia ini.

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (16:78)

Dengan pendengaran, penglihatan dan akal, manusia dapat memperoleh pengetahuan, dapat mengamati seluk beluk alam raya, sehingga mengetahui rahasia-rahasia alam dan memanfaatkan pemberian Allah yang begitu banyaknya. Dengan perlengkapan tersebut manusia dapat mengoptimalkan sesuai dengan selera mereka. Tentu saja masing-masing pilihan itu akan membawa konsekuensi masing-masing. Yang jelas, Orang yang tidak mendayagunakan alat-alat pemberian Allah itu, berarti dia melepaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaannya. Mereka tidak berbeda dengan hewan, karena mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan sebagai benteng kepribadiannya.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ


Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (7:179)

Dalam ayat lain, Allah menggugah kesadaran kita untuk senantiasa mempergunakan nikmat yang telah diberikan oleh Allah, yaitu akal pikiran agar selalu dioptimalkan untuk mencapai kemanusiaan sejati. Contohnya adalah surat Ali ‘Imran ayat 190 – 191, didamana Allah memberitahu tanda-tandanya orang yang menggunakan akal mereka. Yaitu orang-orang yang selalu hidup sadar dalam segala situasi dan kondisi, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.  (3:190-191)



Bila kita amati, sesungguhnya ayat ini telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Supaya kemajuan tersebut tidak menyingkirkan aspek-aspek spiritual atau malah meniadakan Allah di dalam keteraturan alam yang dipandang atau diteliti, Allah memberikan tuntunan-Nya agar pada saat melakukan harus tetap dalam keadaan dzikir kepada Allah SWT. Ketika mata memandang hamparan alam raya, birunya lautan yang seakan tidak bertepi. Lautan yang berisi ikan dengan aneka bentuk dan warna, mutiara-mutiara yang menampakkan cahaya di dasar lautan, dsb. Jika mata memandang tetapi hati jauh dari Allah, yang dilihat hanya fenomenanya saja hingga sulit menjangkau hakikat yang ada dibalik fenomena tersebut. Dari perhatian yang sungguh-sungguh terhadap alam, lahirlah ilmu pengetahuan dan teknologi.


Ilmu Allah terhampar di seluruh penjuru langit dan bumi. Bahkan langit dan bumi itu sendiri merupakan realitas ilmu Allah. Hamparan ilmu Allah itulah yang kemudian dipelajari oleh manusia dalam bentuk saint dan teknologi. Sains adalah penguasaan teoritis, sedangkan teknologi adalah praktis.

Manusia tidak pernah menciptakan ilmu. Kita hanya merumuskan kenyataan. Ya, sekedar memformulasikan realitas. Kemudian memanfaatkan rumusan itu untuk membuat alat-alat yang bermanfaat buat kehidupan manusia.

Newton yang dikenal sebagai penemu gravitasi bumi, misalnya, bukanlah pencipta gravitasi bumi. Allahlah yang menciptakan gaya gravitasi untuk mengendalikan gerakan benda-benda di alam semesta ini. Sedangkan Newton adalah sekedar menemukan dan kemudian merumuskan.

Maka, jika kita sombong atas ilmu pengetahuan yang kita miliki, itu namanya melampaui batas. Manusia yang   tidak tahu diri. Dan sifat sombong itu pada gilirannya akan membawa kerusakan di muka bumi ini. Wallahu a'lam!













Tuesday, July 15, 2014

Hikmah Puasa


Dalam setiap ajaran yang diperintahkan Allah pada manusia pasti mengandung suatu hikmah yang sangat berguna bagi orang yang menjalankan perintah tersebut. Demikian pula dengan Syaum di bulan Ramadhan yang dikenal dengan ibadah Puasa, banyak hikmah atau ajaran-ajaran yang dapat kita petik untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusian dan mem­pertinggi mutunya. Hikmah pertama dan paling utama adalah seperti tujuan diperintahkannya syiam pada bulan Ramadhan seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 183 :

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Dari ayat di atas kita tahu bahwa tujuan berpuasa adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Takwa adalah modal kita untuk mendapatkan kebahagian baik di dunia maupun diakherat. Inilah hikmah paling utama yang akan didapatkan jika kita puasa hanya semata-mata mengharap ridhlo Allah. Orang-orang yang bertakwa adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu mereka dan mau mentaati perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Selain itu masih banyak hikmah yang akan didapatkan oleh orang yang mau berpuasa di bulan Ramdhan, hikmah-hikmah tersebut antara lain :

·    Melatih manusia memiliki sifat khasyyah (takut) kepada Allah, baik secara rahasia, maupun terang-terangan, karena tiada yang mengawasi orang yang berpuasa itu kecuali Allah. Ia meninggalkan syahwatnya terhadap makanan yang lezat, minuman yang segar dan lain-lain sebagainya, karena semata- mata melaksanakan perintah Allah, dan tunduk kepada petunjuk agamanya, untuk berpuasa sebulan lamanya.
·    menjinakkan syahwat. Syahwat atau yang biasa kita sebut hawa nafsu, keinginan-keingan diri harus dikendalikan. Jika keberadaannya tidak dikendalikan akan menimbulkan ekses negatif yang cepat atau lambat akan menghancurkan segalanya.
·       Memupuk solidaritas sosial, karena ketika kita sedang berpuasa perut kita lapar sehingga kita dapat merasakan penderitaan fakir-miskin. Hal ini akan melatih diri bersifat kasih sayang, sehingga mendorong kita untuk melakukan perbuatan sosial, seperti memberikan sedekah kepada fakir miskin. Memberi bantuan kepada orang-orang yang tertimpa bencana, karena ia ketika merasakan kelaparan, teringat kepada orang-orang yang menderita kelaparan, atau orang-orang yang tertimpa musibah. 
·    Menimbulkan rasa cinta kepada keadilan, dan persamaan derajat umat manusia, dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak. Dalam pelaksanaan ibadah puasa ini, terlihat persamaan antara orang-orang kaya dengan fakir miskin, dan antara penguasa dengan rakyat jelata, dalam melaksanakan satu kewajiban agama.
·      Membiasakan umat untuk hidup teratur dan bersatu, menghindari sifat sombong dan iri hati. Mereka memulai ibadah puasanya di dalam satu waktu, dan mereka berbuka dalam satu waktu pula. Mereka sama-sama menunggu waktu dengan kesabaran, dan tidak seorang pun mendahului orang lain di dalam berbuka itu.
·     Bagi kesehatan, puasa dapat membersihkan usus atau alat pencerna, daripada zat-zat yang berbahaya dalam perut, seperti zat lemak dan sebagainya; dan menghilangkan zat-zat yang mengendap di dalam tubuh, mengeringkan kelembabannya, dan menghancurkan lemak yang dapat berbahaya terhadap jantung

Demikianlah beberapa hikmah dibalik ibadah puasa, tentu saja masih banyak hikmah yang tidak kita ketahui, sebab pada hakekatnya setiap perintah Allah pasti akan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dan Allahlah yang Maha Mengetahui Segalanya.
Yang jelas, jika kita benar-benar menjalankan ibadah puasa dengan dilandasi iman dan takwa kepada Allah, maka pada hari raya Id nanti kita akan kembali kepada kesucian. Sebab orang-orang yang berpuasa akan mampu mengendalikan hawa nafsunya sehingga mereka tidak akan melakukan kerusakan di muka bumi ini.
Oleh karena itu, marilah kita pergunakan kehadiran bulan ramadhan kali ini dengan sungguh-sungguh agar dapat mengantarkan rohani kita seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya. Bersih sebersih kapas, putih seputih salju, bening sebening embun diwaktu malam.


Selama sebulan penuh kita dilatih oleh Allah untuk mengendalikan hawa nafsu. Jika hawa nafsu tidak dikendalikan kita akan menjadi liar, tidak terkendali. Wallahu A'lam!

Friday, July 4, 2014

Puasa Ramadhan dan Pembentukan Pribadi Muslim

Marhaban ya Ramadhan! Meskipun terlambat saya ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa. Mudah-mudahan ramadhan kali ini benar-benar dapat mengantarkan kita menjadi manusia yang bertakwa! Amiin!



Kita patut bersyukur kehadirat Allah bahwa kita masih diberi kesempatan bertemu dengan bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa dibandingkan dengan sebelas bulan lainnya dalam setahun. Hal ini karena Allah menjadikan bulan tersebut sebagai bulan yang penuh berkah dan rahmat, dimana pada bulan itu telah terjadi peristiwa luar biasa, yaitu turunnya Al-Quran yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam, seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 :

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (2:185)

3. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (44:3) 

Secara etimologi kata Ramadhan berakar dari kata ramadha yang berarti “membakar” atau “api yang membakar” Ketika kita berbicara tentang api yang sifatnya selalu membakar, yang terlintas di benak kita sampah dan kotoran. Dengan demikian hadirnya Ramadhan akan membakar seluruh kotoran ruhani (baca dosa) yang menghalangi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ramadan membawa pesan bagi setiap orang yang berpuasa bahwa mereka sedang membakar hawa nafsu agar tunduk pada Allah Swt. dan bukan sekadar memindah jadwal makan

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (2:183)

Ayat di atas dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun. “Wahai orang-orang yang beriman.” Barangkali ada pertanyaan, kenapa orang beriman? Karena orang yang berimanlah yang rela diatur oleh Allah. Dia selalu rindu mencari amalan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah, sekecil dan seberat apapun amalan tersebut. Orang-orang yang beriman pada ayat tersebut diperintahkan untuk melakukan syaum sebagaimana diperintahkan kaum terdahulu agar mereka menjadi orang yang bertakwa.

Puasa adalah mencegah makan dan minum dan berhubungan suami istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tentu saja bukan hanya itu saja tujuan kita diperintahkan untuk melakukan syiam. Jika hanya mencegah makan dan minum menurut Imam Al Ghazali dinamakan puasanya orang awam. Karena pada hakekatnya puasa yang paling bernilai di sisi Allah adalah apabila puasa itu merupakan totalitas ikhtiar menahan/mengendalikan 7 (tujuah) anggota badan, yaitu:

Mengendalikan mata dari melihat hal-hal yang terlarang
Menahan telinga dari sesuatu yang merusak (terlarang)
Menahan lidah dari mengucapkan hal-hal keji yang dilarang oleh Allah
Menahan perutMemelihara kehormatannya
Memelihara tangan dari pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan dosa
Memelihara kaki untuk tidak melangkah ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah

Jika kita mampu melakukan semua itu, puasa dengan dilandasi iman kepada Allah maka puasa kita akan benar-benar  merubah kehidupan kita menjadi lebih berkualitas, yaitu seperti tujuan diperintahkan syiam agar kita menjadi orang yang bertakwa. Dengan kata lain, ketika kita berpuasa, kita sedang membentuk pribadi yang tangguh agar menjadi orang yang bertakwa.

Inilah momentum yang sangat tepat untuk membangun karakter mulia. Said al-Hawwa menuliskan dalam bukunya, Al Islam bahwa pada dasarnya Ramadhan merupakan madrasah. Jika orang yang berpuasa pandai memanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan amalan-amalan yang baik dan sesuai ajaran Islam, mereka akan menjadi manusia baru. Oleh karena itu, di akhir Ramadhan kita akan memasuki Idul Fitri, hari kemenangan, kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang suci dan bersih dari dosa. Baru, tidak hanya mengenakan pakaian-pakaian yang bagus atau baru, tetapi perilaku dan sikapnya dituntut berubah ke arah yang lebih baik. Ramadhan adalah madrasah tempat seorang muslim memperbaharui akhlak mereka.

Sebentar lagi kita akan melakukan pesta demokrasi, yaitu PELPRES yang diyakini akan menentukan sejarah bangsa tercinta ini. mudah-mudahan kemuliaan bulan ramadhan berimbas pada PILPRES yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 nanti sehingga hajatan nasional itu dijauhkan dari dosa dan noda. Dan akhirnya dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa kita.

Mudah-mudahan Allah menerima seluruh harapan dan amal ibadah kita dan kita menjadi pribadi yang tanggunh, yang mampu mengendalikan hawa nafsu kita. Tidak diperbudak oleh hawa nafsu yang akan menjerumuskan kita ke dalam lembah kenistaan. Amiin!