Friday, September 12, 2014

Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial


Saya yakin kata saleh atau sering juga ditulis shaleh sudah sangat akrab di telinga Anda, khususnya umat islam. Jika kita mendengar kata tersebut asosiasi kita akan langsung tertuju pada seseorang yang berperangai baik. Kata saleh secara etimologi berasal dari kata shalaha yang merupakan lawan dari fasada (kerusakan).
Kesalehan individu berarti berkumpulnya sifat-sifat kebaikan pada diri seseorang sehingga menyebabkan dirinya terpelihara dari kemudharatan dan kemungkaran. Sedangkan kesalehan sosial adalah berkumpulnya nilai kebaikan yang sudah dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan secara merata dalam lingkungan sosial dan kemasyarakatan.


Kedua kesalehan ini saling berkaitan. Artinya, ketika seseorang saleh secara individu, ada tuntutan untuk mewarnai lingkungannya sehingga diapun saleh secara sosial. Seseorang disebut saleh secara individu jika dalam beribadah yang dikejar adalah individual. Dirinya menjadi pribadi yang shalatnya tekun, bukan saja yang wajib tetapi juga yang sunnah. Pada malam harinya dirinyapun mampu bangun malam untuk shalat tahujud atau mungkin melakukan studi yang mendalam kitab Al-Quran untuk merevolusikan pandangan dan sikap hidupnya. Tetapi pada saat yang bersamaan, dia menjadi masa bodoh dengan lingkungan sekitarnya, ada tetangga yang tidur dalam keadaan lapar, ada anak yang terpaksa putus sekolah hanya karena kekurangan biaya hatinya tidak tersentuh sama sekali.


Puasanyapun rajin. Ramadhannya sangat tekun. Malamnya dihiasi dengan shalat tarawih, witir, zikir, membaca Al-Quran, dan istigfar. Tetapi apabila diperintahkan menyisihkan sebagian rezekinya untuk menyantuni fakir miskin dan menghapus air mata sang yatim piatu dengan bantuannya, dia menjadi marah dan bersikap tidak acuh. Padahal, dalam surat Al-Ma’uun jelas-jelas dikatakan bahwa orang-orang yang bersikap demikian termasuk golongan orang-orang yang mendustakan agama.

Banyak kisah berhikmah yang menjadi cerminan seseorang yang hidupnya hanya mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kebersamaan dan kesediaan untuk membantu dan meringankan kehidupan orang lain. Melalui hadits yang tingkatannya sahih, ada seorang perempuan yang salehah menurut ukuran yang parsial (sempit). Shalat malam sebagai kebiasaannya, puasa senin-kamis sebagai tradisinya. Jangan bicara amalan-amalan wajib, pasti ditunaikan. Namun, dia mempunyai seekor kucing, diikat dan tidak diberi makan. Kucingnya kelaparan dan mati. Berita ini sampai ke telinga Rasulullah kemudian beliau menjawab pendek,”Tempat yang paling pantas untuk perempuan itu adalah neraka!”

Di sisi lain, ada seorang perempuan yang mempunyai masa lalu yang sangat kelam. Dalam riwayat disebutkan bahwa dia adalah pelacur. Sampai pada titik tertentu muncul kesadaran untuk meninggalkan pekerjaan yang tercela tersebut. Diapun bertobat dengan sungguh-sungguh. Untuk menjaga keistiqomahan tobatnya, dia berencana berhijrah dari tempat atau daerah yang membuatnya terjerumus. Dengan melintasi gurun pasir yang tandus dan panas yang luar biasa, dia bertemu dengan seekor anjing yang sedang kehausan. Anjing itu menjulurkan lidahnya keluaar sebagai tanda haus yang tidak tertahan.

Datang rasa iba untuk menolong anjing dari kehausannya. Di sampingnya ada sumur, tanpa timba. Dia menggunakan ujung sepatunya untuk mengambil air. Dengan susah payah turun ke dasar sumur dan dengan susah payah juga dia naik ke atas lalu diberikan minum kepada anjing. Usai melakukan perbuatan mulia yang dapat menyelamatkan anjing dari bahaya kematian, diapun meninggal. Rasulullah membari komentar singkat,”Perempuan itu surgalah tempatnya.”

Coba Anda bayangkan, seorang yang tidak peduli kepada binatang, menzaliminya dengan tidak memberi makan, konsekuensi ekstremnya di akherat adalah neraka. Bayangkan juga seorang yang menolong dan peduli kepada anjing, yang secara fiqih binatang najis dapat menuntun dirinya masuk ke dalam kebahagiaan yang tiada tara berupa surga. Kalau kepada binatang saja memiliki resiko yang tidak ringan, apalagi terhadap sesama manusia. Walupun dengan dalih karena sudah saleh secara individu, tetap saja menjadi perbuatan yang sangat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.

Di sisi lain, setiap bentuk ibadah individu atau sering lebih popular disebut ibadah ritual atau formal dampaknya menyentuh langsung dalam kehidupan social. Artinya, bentuk ibadahnya formal tetapi berkaitan langsung bahkan menjadi ukuran diterima atau tidaknya ibadah tersebut oleh Allah swt. Sebut saja shalat, bukan dijamin oleh Rasulullah tetapi langsung dari Allah. Allah berfirman,

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut : 45)


Terhindarnya diri dari perbuatan keji dan munkar pasti bersinggungan secara langsung dengan kehidupan social kemasyarakatan. Paling tidak dalam keluarga yang oleh Max Webber disebut sebagai Negara dalam sector mini.

Ibadah puasa jika dilaksanakan dengan niat lurus semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah akan menjadi benteng bagai pelaksanaannya dari kemaksiatan dan kemunkaran. Nabi menjamin,

“As Shiyamu junnatun.”

Puasa merupakan perisai yang mampu menghindarkan dirimu dari kemungkinan hidup paling keji dan buruk.
Zakat dan sedekah pasti bersinggungan langsung dengan kehidupan bersama. Serta kemabruran haji bukan dilihat pada saat melakukan ritual thawaf, sa’i, tahallul, wukuf, dll. Tetapi sejauh mana ajaran haji itu diwujudkan secara aplikatif di kampung halaman dan lingkungan kita masing-masing. Kemabruran haji hanya menjadi cita-cita belaka jika sekembalinya dari tanah suci tidak ada peningkatan grafik amal yang menyentuh langsung dalam kehidupan bersama.

Bahkan ukuran tobat seseorang diterima atau ditolah bergantung dari sejauh mana tobat atau penyesalan tersebut diiringi dengan perubahan sikap dan perbuatan atau tidak. Jadi, dalam tobat ada dinamika, berupa tekad dari dalam hati untuk mau memperbaiki diri ke arah kesempurnaan amal. Dia tidak statis, apatis, dan tanpa inovasi.

Kesempurnaan dan keseimbangan amal memungkinkah diterima oleh Allah jika sudah  diwujudkan dalam kehidupan social. Jadi, kesalehan individu tanpa diiringi kesalehan social akan menjadi sia-sia.

Sumber bacaan: K.H. Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan