Saya yakin kata saleh atau sering
juga ditulis shaleh sudah sangat akrab di telinga Anda, khususnya umat islam.
Jika kita mendengar kata tersebut asosiasi kita akan langsung tertuju pada
seseorang yang berperangai baik. Kata saleh secara etimologi berasal dari kata
shalaha yang merupakan lawan dari fasada (kerusakan).
Kesalehan individu berarti
berkumpulnya sifat-sifat kebaikan pada diri seseorang sehingga menyebabkan
dirinya terpelihara dari kemudharatan dan kemungkaran. Sedangkan kesalehan
sosial adalah berkumpulnya nilai kebaikan yang sudah dimanifestasikan dalam
bentuk sikap dan perbuatan secara merata dalam lingkungan sosial dan
kemasyarakatan.
Kedua kesalehan ini saling
berkaitan. Artinya, ketika seseorang saleh secara individu, ada tuntutan untuk
mewarnai lingkungannya sehingga diapun saleh secara sosial. Seseorang disebut
saleh secara individu jika dalam beribadah yang dikejar adalah individual.
Dirinya menjadi pribadi yang shalatnya tekun, bukan saja yang wajib tetapi juga
yang sunnah. Pada malam harinya dirinyapun mampu bangun malam untuk shalat
tahujud atau mungkin melakukan studi yang mendalam kitab Al-Quran untuk
merevolusikan pandangan dan sikap hidupnya. Tetapi pada saat yang bersamaan,
dia menjadi masa bodoh dengan lingkungan sekitarnya, ada tetangga yang tidur
dalam keadaan lapar, ada anak yang terpaksa putus sekolah hanya karena
kekurangan biaya hatinya tidak tersentuh sama sekali.
Puasanyapun rajin. Ramadhannya
sangat tekun. Malamnya dihiasi dengan shalat tarawih, witir, zikir, membaca
Al-Quran, dan istigfar. Tetapi apabila diperintahkan menyisihkan sebagian
rezekinya untuk menyantuni fakir miskin dan menghapus air mata sang yatim piatu
dengan bantuannya, dia menjadi marah dan bersikap tidak acuh. Padahal, dalam
surat Al-Ma’uun jelas-jelas dikatakan bahwa orang-orang yang bersikap demikian
termasuk golongan orang-orang yang mendustakan agama.
Banyak kisah berhikmah yang
menjadi cerminan seseorang yang hidupnya hanya mementingkan diri sendiri dengan
mengabaikan kebersamaan dan kesediaan untuk membantu dan meringankan kehidupan
orang lain. Melalui hadits yang tingkatannya sahih, ada seorang perempuan yang
salehah menurut ukuran yang parsial (sempit). Shalat malam sebagai
kebiasaannya, puasa senin-kamis sebagai tradisinya. Jangan bicara amalan-amalan
wajib, pasti ditunaikan. Namun, dia mempunyai seekor kucing, diikat dan tidak
diberi makan. Kucingnya kelaparan dan mati. Berita ini sampai ke telinga
Rasulullah kemudian beliau menjawab pendek,”Tempat yang paling pantas untuk
perempuan itu adalah neraka!”
Di sisi lain, ada seorang
perempuan yang mempunyai masa lalu yang sangat kelam. Dalam riwayat disebutkan
bahwa dia adalah pelacur. Sampai pada titik tertentu muncul kesadaran untuk
meninggalkan pekerjaan yang tercela tersebut. Diapun bertobat dengan
sungguh-sungguh. Untuk menjaga keistiqomahan tobatnya, dia berencana berhijrah
dari tempat atau daerah yang membuatnya terjerumus. Dengan melintasi gurun
pasir yang tandus dan panas yang luar biasa, dia bertemu dengan seekor anjing
yang sedang kehausan. Anjing itu menjulurkan lidahnya keluaar sebagai tanda
haus yang tidak tertahan.
Datang rasa iba untuk menolong
anjing dari kehausannya. Di sampingnya ada sumur, tanpa timba. Dia menggunakan
ujung sepatunya untuk mengambil air. Dengan susah payah turun ke dasar sumur
dan dengan susah payah juga dia naik ke atas lalu diberikan minum kepada
anjing. Usai melakukan perbuatan mulia yang dapat menyelamatkan anjing dari
bahaya kematian, diapun meninggal. Rasulullah membari komentar
singkat,”Perempuan itu surgalah tempatnya.”
Coba Anda bayangkan, seorang yang
tidak peduli kepada binatang, menzaliminya dengan tidak memberi makan,
konsekuensi ekstremnya di akherat adalah neraka. Bayangkan juga seorang yang
menolong dan peduli kepada anjing, yang secara fiqih binatang najis dapat
menuntun dirinya masuk ke dalam kebahagiaan yang tiada tara berupa surga. Kalau
kepada binatang saja memiliki resiko yang tidak ringan, apalagi terhadap sesama
manusia. Walupun dengan dalih karena sudah saleh secara individu, tetap saja
menjadi perbuatan yang sangat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di sisi lain, setiap bentuk
ibadah individu atau sering lebih popular disebut ibadah ritual atau formal
dampaknya menyentuh langsung dalam kehidupan social. Artinya, bentuk ibadahnya
formal tetapi berkaitan langsung bahkan menjadi ukuran diterima atau tidaknya
ibadah tersebut oleh Allah swt. Sebut saja shalat, bukan dijamin oleh
Rasulullah tetapi langsung dari Allah. Allah berfirman,
Terhindarnya diri dari perbuatan
keji dan munkar pasti bersinggungan secara langsung dengan kehidupan social
kemasyarakatan. Paling tidak dalam keluarga yang oleh Max Webber disebut
sebagai Negara dalam sector mini.
Ibadah puasa jika dilaksanakan
dengan niat lurus semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah akan menjadi
benteng bagai pelaksanaannya dari kemaksiatan dan kemunkaran. Nabi menjamin,
“As Shiyamu
junnatun.”
Puasa merupakan perisai yang
mampu menghindarkan dirimu dari kemungkinan hidup paling keji dan buruk.
Zakat dan sedekah pasti
bersinggungan langsung dengan kehidupan bersama. Serta kemabruran haji bukan
dilihat pada saat melakukan ritual thawaf, sa’i, tahallul, wukuf, dll. Tetapi
sejauh mana ajaran haji itu diwujudkan secara aplikatif di kampung halaman dan
lingkungan kita masing-masing. Kemabruran haji hanya menjadi cita-cita belaka
jika sekembalinya dari tanah suci tidak ada peningkatan grafik amal yang
menyentuh langsung dalam kehidupan bersama.
Bahkan ukuran tobat seseorang
diterima atau ditolah bergantung dari sejauh mana tobat atau penyesalan
tersebut diiringi dengan perubahan sikap dan perbuatan atau tidak. Jadi, dalam
tobat ada dinamika, berupa tekad dari dalam hati untuk mau memperbaiki diri ke
arah kesempurnaan amal. Dia tidak statis, apatis, dan tanpa inovasi.
Kesempurnaan dan keseimbangan
amal memungkinkah diterima oleh Allah jika sudah diwujudkan dalam kehidupan social. Jadi,
kesalehan individu tanpa diiringi kesalehan social akan menjadi sia-sia.
Sumber bacaan: K.H. Anwar Sanusi, Jalan
Kebahagiaan