Wednesday, February 18, 2015

TAAT KEPADA ORANG TUA


Orang tua adalah orang yang melahirkan kita. Terdiri dari bapak dan ibu, meskipun ada juga orang tua angkat atau orang tua dalam pengertian hubungan sosial. Apapun mereka, kita wajib menghormatinya, apalagi orang tua kandung yang melahirkan kita, mendidik kita, dan membesarkan kita. Bergaul dengan orang tua kita, tidak boleh sama dengan yang lainnya, misalnya dengan teman-teman kita. Dalam agama islam, orang tua memiliki kedudukan yang sangat istimewa, sehingga kita harus menghormatinya dan patuh terhadap perintah-perintahnya. Seandainya mereka menyuruh kita untuk berbuat maksiat, kita tidak boleh marah atau menolaknya dengan kasar, tetapi harus menolaknya secara lembut sehingga tidak menyakiti hati mereka.



Kita terlahir di dunia ini lantaran orang tua kita. Oleh karena itu, kita harus memberikan penghargaan yang istimewa kepada ke dua orang tua kita. Begitu pula dengan guru-guru kita, karena boleh dikatakan seorang guru adalah orang tua ke dua bagi kita karena mereka memberikan ilmu kepada kita.

Ke dua orang tua sangat besar jasanya bagi kita. Tidak ada manusia di bumi yang paling besar jasanya selain ke dua orang tua kita, terutama ibu kita. Dialah yang melahirkan kita, kemudian mengasuh, mendidik, dan membesarkan kita penuh keiklasan dan kasih sayang, tanpa ada rasa pamrih dan ingin dibalas jasanya nanti.



Islam telah menetapkan bahwa berbuat baik kepada ke dua orang tua (birrul walidain) adalah wajib dan merupakan amalan utama. Dalam hadits, yang diriwayatkan melalui sahabat  ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda :

Dari Abudlah Bin Mas’ud r.a. berkata: “Aku bertanya kepada Nabi saw.”Apa amalan yang paling disukai oleh Allah swt? Beliau menjawab: “Salat tepat waktunya”, Aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbuat baik kepada orang tua”. Kemudian aku bertanya lagi: “Seterusnya apa?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (H.R. Ahmad, al-Bukhari dan an-Nasaa’i).

Dalam surah al-Israa’ ayat 23-24 Allah swt, berfirman:

23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].

24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.



Berdasarkan ayat tersebut, kita harus berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul waalidain), terutama setelah keduanya mulai tua (lemah). Jangan sekali-kali kita menyakiti keduanya (‘uququl waaliadain), mesikipun hanya sekedar mengucapkan “ah” atau perkataan lain yang menyinggung atau menyakiti hati mereka. Kita harus selalu mengucapkan perkataan yang baik dan sopan. Kita juga diperintahkan untuk selalu mendoakan keduanya agar diampuni dosanya, baik ketika keduanya masih hidup maupun ketika usdah meninggal dunia.

Dari kedua orang tua tersebut, ibulah yang harus didahulukan untuk kita hormati. Nabi melalui beberapa hadisnya menjelaskan keutamaan ibu dari pada bapak untuk kita hormati. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Nabi bersabda: “Orang yang paling besar haknya kepada anak adalah ibunya.”Disabdakan juga:”Jika ibu dan bapakmu memanggil kamu, datanglah (lebih dahulu) kepada ibumu. (H.R. ad-Dailami). Ada juga hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang menjelaskan jawaban Nabi atas pertanyaan seorang sahabat tentang siapa yang lebih berhak untuk dihormati. Jawaban Nabi yang pertama sampai ketiga adalah ibunya, dan baru jawaban Nabi yang ke empat adalah bapaknya.

Sumber:
 Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
, Ajat Sudrajat


Saturday, February 7, 2015

Ketaatan Kepada Allah dan Pemimpin


Ketika kita ABG dulu keakuan kita sangat mendominasi jiwa kita. Maklumlah, masa itu adalah masa pancaroba, yaitu dengan ditandai dengan berbagi gejolak dan pencarian identitas diri. Apalagi jika kita produk dari keluarga yang kurang mengenal agama, boleh dikatakan ketaatan ketundukan kita didominasi oleh hawa nafsu. Anehnya, saat ini banyak ABG-ABG tua yang menghambakan diri pada hawa nafsu mereka,  menginginkan kebebasan sebebas-bebasnya, tidak perduli kebebasan itu halal atau haram? Tidak perduli apakah kebebasan itu menyengsarakan  orang lain atau tidak! Tetapi benarkah manusia tidak terikat atau tidak mempunyai ketaatan lain kecuali menghamba pada hawa nafsunya?

Memang, mentaati perintah tidak gampang, apalagi jika tidak sesuai dengan selera kita. Lebih mudah memerintah orang lain dari pada mentaati perintah orang lain. Para pemimpin di dunia ini sering memerintah orang lain, dan memaksakan kehendaknya agar perintahnya ditaati, sementara mereka sendiri lupa mentaati peraturan yang ada! Kadang-kadang seorang pemimpin gembar-gembor menyuruh rakyatnya hidup sederhana, tetapi mereka justru hidup mewah bertaburan harta. Lacurnya, kemewahan itu dia dapatkan dengan menghalalkan segala cara, misalnya melakukan korupsi. Orang jawa bilang, wit gedang who pakel, omong gampang nek nglakoni angel! Bicara itu mudah, tetapi sulit untuk mempraktikanya!

Jika kita tinjau kualitas ketaatan seseorang, maka ada beberapa tingkatan. Ada orang yang mampu mentaati peraturan secara penuh, maka dapat dikatakan mereka adalah termasuk orang-orang yang benar-benar taat. Ada juga yang setengah-setengah, atau tidak dapat mentaati perintah secara total. Yang paling celaka adalah orang yang sama sekali tidak mau mentaati peraturan, mereka biasanya menjadi perusak kehidupan, eksistensinya di dunia ini senantiasa memakan korban orang lain. Namun demikian, sebagai manusia yang dikarunia akal, kita tidak boleh taat membabi-buta, tidak boleh sembarangan mentaati peraturan. Tentu saja, yang patut kita taati adalah peraturan-peraturan yang sesuai dengan perintah Allah.

Pengertian Taat

Dari segi bahasa, kata taat berasal dari bahasa Arab, tha’ah yang berakar dari kata tha’a. Kata Tha’a berarti tunduk, patuh atau taat. Dari arti bahasa seperti itu dapat dipahami bahwa orang yang taat adalah orang yang tunduk dan patuh kepada perintah-perintah Allah dan Rasulullah, atau kepada orang-orang yang selalu dihormatinya, seperti pemerintah, orang tua, guru, para ulama, pemerintah dan sebagainya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.



Ayat tersebut dengan tegas memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah, dan ulil amri. Ketaatan kepada Allah dan rasulnya tidak dibatasi apapun. Artinya, semua perintah Allah dan Rasulullah harus ditaati dan semua larangannya harus ditinggalkan. Sementara itu ketaatan kepada ulil amri dan yang lainnya, dibatasi oleh ketentuan-ketentuan, yaitu selama tidak bertentangan dengan perintah Allah.

Taat kepada Allah

Dimuka telah dijelaskan firman Allah yang menjelaskan dan menegaskan perintah kepada orang-orang yang beriman agar taat kepada Allah. Taat kepada Allah merupakan dasar dari semua ketaatan selainnya. Artinya, ketaatan kepada Allah merupakan kunci dan patokan untuk mentaati yang lain.

Dari Ali, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam rangka berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla (HR. Ahmad).

Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang muslim dalam rangka taat kepada Allah SWT. Seorang muslim harus taat dan patuh kepada Allah dalam keadaan apapun. Orang yang taat kepada Allah dengan tulus juga harus selalu menerima semua kehendak dan ketentuan-Nya. Orang yang taat kepada Allah juga harus mencari ridlo-Nya, dalam setiap perilakunya. Ia tidak berusaha untuk mencari persetujuan selarin dari-Nya, meskipun boleh jadi hal ini mengakibatkan orang lain membencinya.

Berbicara masalah kehendak dan ketentuan Allah, kadang-kadang kita sering memahami hanya berdasarkan hawa nafsu kita sendiri. Misalnya kalau seseorang melakukan maksiat, atau kesialan hidup, biasanya kita menganggap hal itu kehendak Allah, atau lebih parahnya lagi menyalahkan Allah!  Ah, ini adalah kehendak Allah yang harus saya jalani. Ah, manusia itu kan hanya sebagai wayang dan dan Allah adalah dalang-Nya. Sebenarnya kata-kata tersebut tidak salah. Karena pada hakekatnya kehendak Allah itu adalah semacam sistem, yaitu bagi yang mau berpandangan dan bersikap hidup sesuai dengan yang telah Dia tetapkan, maka manusia akan mendapatkan kepastian sesuai dengan apa yang mereka pilih! Jika mereka memilih kebathilan, pasti azablah yang akan kita dapatkan, sebaliknya jika kebaikan yang kita pilih maka kita akan mendapatkan kemenangan hidup. Di sini saya hanya ingin mengatakan bahwa kehendak dan ketentuan Allah itu yang sangat penting adalah diturunkanya Al-Quran yang menjadi pedoman hidup bagi orang-orang yang ingin bertakwa. Bukan hanya masalah nasib hidup kita yang sial akibat ulah kita sendiri yang tidak benar! Untuk lebih jelasnya silahkan baca Surat Al-Baqarah ayat 1-5.

Taat Kepada Rasulullah saw.

Taat dan patuh kepada Rasulullah saw. Merupakan  konsekuensi dari taat dan patuh kepada Allah swt. Sebab rasulullah adalah pembawa risalah Al-Quran, yang mana kitab tersebut telah ditetapkan oleh Allah untuk menjadi pedoman hidup bagi yang ingin bertakwa. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an ketaatan kepada Allah selalu beriringan dengan ketaatan kepada Rasulullah.

Taat kepada Ulil Amri


Dari segi bahasa ulil amri berarti pemilik perkara atau kekuasaan. Dengan kata lain, ulil amri berarti yang memiliki urusan atau kekuasaan. Dalam buku (kitab tafsir) Al-Quran dan Terjemahannya yang dususun oleh Departemen Agama RI, kata ulul amri yang terdapat dalam Q.S. an-Nisaa’ ayat 59  diterjemahkan menjadi setiap yang memiliki hak untuk mengatur, seperti ulama dan pemerintah. Untuk lebih jelasnya perhatikan tafsir depag surat An-Nisaa’ ayat 59 yang kami kutip dari Holy Qur’an Versi.8 berikut ini :

Pada ayat ini Allah (maksudnya Q.S. an-Nisaa’ ayat 59  ) memerintahkan supaya kaum muslimin taat dan patuh kepada Nya, kepada rasul Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka untuk dapat terciptanya kemaslahatan umum. Untuk kesempurnaan pelaksanaan amanat dan hukum sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, hendaklah kaum muslimin:

  • Taat dan patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Alquran, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. karena apa yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang di larang Nya mengandung mudarat.

44. … dan  Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (Q.S. An Nahl: 44)

  • Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil `amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka. Orang-orang yang memegang kekuasaan itu meliputi: pemerintah, penguasa, alim ulama dan pemimpin-pemimpin. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum muslimin berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan isi Kitab Alquran. Kalau tidak demikian halnya, maka kita tidak wajib melaksanakannya, bahkan wajib menentangnya, karena tidak dibenarkan seseorang itu taat dan patuh kepada sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat pada Allah SWT.
لا طاعة لمخلوق في معصية الله
"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiat kepada Khalik (Allah SWT)"

  • Kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat atasnya, maka wajib dikembalikan kepada Quran dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Alquran dan Sunah Rasulullah saw. Tentunya yang dapat melakukan qias seperti yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mengetahui dan memahami isi Alquran dan Sunah Rasul. Demikianlah hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat.

Adapun yang dimaksud ulama di sini adalah orang-orang yang mengetahui berbagai macam ilmu secara mendalam dan dapat memberitahukannya kepada orang lain. Sebenarnya makna ulama secara umum meliputi semua bidang ilmu, tanpa dibatasi pada ilmu-ilmu tertentu. Namun, dalam pemahaman masyarakat kita, khususnya di Indonesia, kata ulama lebih dimaknai sebagai orang-orang yang mendalami berbagai bidang ilmu agama, seperti ilmu fikih, ilmu tauhid, tasauf, dsb. Orang-orang yang menekuni atau mendalami bidang-bidang ilmu selain ilmu-ilmu agama tidak disebut sebagai ulama, tetapi mereka sering disebut cendikiawan atau pakar ilmu pengetahuan (ilmuwan).

Adapun yang dimaksud umara’ (pemerintah) adalah para penyelenggara negara mulai dari yang tertinggi (presiden) hingga yang paling rendah (kepada desa) atau mungkin yang lebih rendah dari kepala desa. Mereka melakukan tugasnya untuk kemakmuran negara dan rakyat (bangsa), bukan atas nama pribadi.

Dengan demikian, mentaati ulama dan ulil amri berarti taat dan patuh terhadap semua ketetapan atau keputusan yang dibuat oleh para ulama dan umara’ (pemerintah). Berdasarkan surat An-Nisaa’ ayat 59 di atas, adalah termasuk salah satu kewajiban kita. Dari ayat di atas dapat juga dipahami bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasulullah bersifat mutlak, artinya tidak ada prasarat khusus. Sedangkan ketaatan kepada yang lainnya tidak bersifat mutlak, tetapi memiliki prasyarat khusus, yakni jika ketetapan dan keputusan yang mereka buat tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Jika bertentangan, tidak ada kewajiban mentaatinya.

Wallahu a'lam
diambil dari berbagai sumber