Ketika kita ABG dulu keakuan kita
sangat mendominasi jiwa kita. Maklumlah, masa itu adalah masa pancaroba, yaitu dengan
ditandai dengan berbagi gejolak dan pencarian identitas diri. Apalagi jika kita
produk dari keluarga yang kurang mengenal agama, boleh dikatakan ketaatan ketundukan
kita didominasi oleh hawa nafsu. Anehnya, saat ini banyak ABG-ABG tua yang
menghambakan diri pada hawa nafsu mereka,
menginginkan kebebasan sebebas-bebasnya, tidak perduli kebebasan itu
halal atau haram? Tidak perduli apakah kebebasan itu menyengsarakan orang lain atau tidak! Tetapi benarkah manusia
tidak terikat atau tidak mempunyai ketaatan lain kecuali menghamba pada hawa
nafsunya?
Memang, mentaati perintah tidak
gampang, apalagi jika tidak sesuai dengan selera kita. Lebih mudah memerintah
orang lain dari pada mentaati perintah orang lain. Para pemimpin di dunia ini
sering memerintah orang lain, dan memaksakan kehendaknya agar perintahnya
ditaati, sementara mereka sendiri lupa mentaati peraturan yang ada!
Kadang-kadang seorang pemimpin gembar-gembor menyuruh rakyatnya hidup sederhana,
tetapi mereka justru hidup mewah bertaburan harta. Lacurnya, kemewahan itu dia
dapatkan dengan menghalalkan segala cara, misalnya melakukan korupsi. Orang
jawa bilang, wit gedang who pakel, omong gampang nek nglakoni angel!
Bicara itu mudah, tetapi sulit untuk mempraktikanya!
Jika kita tinjau kualitas
ketaatan seseorang, maka ada beberapa tingkatan. Ada orang yang mampu mentaati
peraturan secara penuh, maka dapat dikatakan mereka adalah termasuk orang-orang
yang benar-benar taat. Ada juga yang setengah-setengah, atau tidak dapat
mentaati perintah secara total. Yang paling celaka adalah orang yang sama
sekali tidak mau mentaati peraturan, mereka biasanya menjadi perusak kehidupan,
eksistensinya di dunia ini senantiasa memakan korban orang lain. Namun
demikian, sebagai manusia yang dikarunia akal, kita tidak boleh taat
membabi-buta, tidak boleh sembarangan mentaati peraturan. Tentu saja, yang
patut kita taati adalah peraturan-peraturan yang sesuai dengan perintah Allah.
Pengertian Taat
Dari segi bahasa, kata taat
berasal dari bahasa Arab, tha’ah yang berakar dari kata tha’a. Kata Tha’a
berarti tunduk, patuh atau taat. Dari arti bahasa seperti itu dapat dipahami
bahwa orang yang taat adalah orang yang tunduk dan patuh kepada
perintah-perintah Allah dan Rasulullah, atau kepada orang-orang yang selalu
dihormatinya, seperti pemerintah, orang tua, guru, para ulama, pemerintah dan
sebagainya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat tersebut dengan tegas
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar selalu taat kepada Allah,
Rasulullah, dan ulil amri. Ketaatan kepada Allah dan rasulnya tidak dibatasi
apapun. Artinya, semua perintah Allah dan Rasulullah harus ditaati dan semua
larangannya harus ditinggalkan. Sementara itu ketaatan kepada ulil amri dan
yang lainnya, dibatasi oleh ketentuan-ketentuan, yaitu selama tidak
bertentangan dengan perintah Allah.
Taat
kepada Allah
Dimuka telah dijelaskan firman Allah
yang menjelaskan dan menegaskan perintah kepada orang-orang yang beriman agar
taat kepada Allah. Taat kepada Allah merupakan dasar dari semua ketaatan
selainnya. Artinya, ketaatan kepada Allah merupakan kunci dan patokan untuk
mentaati yang lain.
Dari Ali, dari Nabi Saw, beliau
bersabda: “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam rangka berbuat maksiat
kepada Allah ‘Azza wa Jalla (HR. Ahmad).
Lalu apa yang harus dilakukan oleh
seorang muslim dalam rangka taat kepada Allah SWT. Seorang muslim harus taat
dan patuh kepada Allah dalam keadaan apapun. Orang yang taat kepada Allah
dengan tulus juga harus selalu menerima semua kehendak dan ketentuan-Nya. Orang
yang taat kepada Allah juga harus mencari ridlo-Nya, dalam setiap perilakunya.
Ia tidak berusaha untuk mencari persetujuan selarin dari-Nya, meskipun boleh
jadi hal ini mengakibatkan orang lain membencinya.
Berbicara masalah kehendak dan
ketentuan Allah, kadang-kadang kita sering memahami hanya berdasarkan hawa nafsu
kita sendiri. Misalnya kalau seseorang melakukan maksiat, atau kesialan hidup, biasanya
kita menganggap hal itu kehendak Allah, atau lebih parahnya lagi menyalahkan
Allah! Ah, ini adalah kehendak Allah
yang harus saya jalani. Ah, manusia itu kan hanya sebagai wayang dan dan Allah
adalah dalang-Nya. Sebenarnya kata-kata tersebut tidak salah. Karena pada
hakekatnya kehendak Allah itu adalah semacam sistem, yaitu bagi yang mau
berpandangan dan bersikap hidup sesuai dengan yang telah Dia tetapkan, maka manusia
akan mendapatkan kepastian sesuai dengan apa yang mereka pilih! Jika mereka
memilih kebathilan, pasti azablah yang akan kita dapatkan, sebaliknya jika
kebaikan yang kita pilih maka kita akan mendapatkan kemenangan hidup. Di sini
saya hanya ingin mengatakan bahwa kehendak dan ketentuan Allah itu yang sangat
penting adalah diturunkanya Al-Quran yang menjadi pedoman hidup bagi
orang-orang yang ingin bertakwa. Bukan hanya masalah nasib hidup kita yang sial
akibat ulah kita sendiri yang tidak benar! Untuk lebih jelasnya silahkan baca
Surat Al-Baqarah ayat 1-5.
Taat
Kepada Rasulullah saw.
Taat dan patuh kepada Rasulullah saw.
Merupakan konsekuensi dari taat dan
patuh kepada Allah swt. Sebab rasulullah adalah pembawa risalah Al-Quran, yang
mana kitab tersebut telah ditetapkan oleh Allah untuk menjadi pedoman hidup
bagi yang ingin bertakwa. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an ketaatan kepada Allah
selalu beriringan dengan ketaatan kepada Rasulullah.
Taat
kepada Ulil Amri
Dari segi bahasa ulil amri berarti
pemilik perkara atau kekuasaan. Dengan kata lain, ulil amri berarti yang
memiliki urusan atau kekuasaan. Dalam buku (kitab tafsir) Al-Quran dan
Terjemahannya yang dususun oleh Departemen Agama RI, kata ulul amri yang
terdapat dalam Q.S. an-Nisaa’ ayat 59
diterjemahkan menjadi setiap yang memiliki hak untuk mengatur, seperti
ulama dan pemerintah. Untuk lebih jelasnya perhatikan tafsir depag surat
An-Nisaa’ ayat 59 yang kami kutip dari Holy Qur’an Versi.8 berikut ini :
Pada ayat
ini Allah (maksudnya Q.S. an-Nisaa’ ayat 59 ) memerintahkan
supaya kaum muslimin taat dan patuh kepada Nya, kepada rasul Nya dan kepada
orang yang memegang kekuasaan di antara mereka untuk dapat terciptanya
kemaslahatan umum. Untuk kesempurnaan pelaksanaan amanat dan hukum
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, hendaklah kaum muslimin:
- Taat dan
patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Alquran,
melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan Nya, sekalipun dirasa berat,
tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. karena apa yang
diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang di larang Nya
mengandung mudarat.
44. … dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan, (Q.S. An Nahl: 44)
- Patuh
kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil `amri yaitu orang-orang
yang memegang kekuasaan di antara mereka. Orang-orang yang memegang kekuasaan
itu meliputi: pemerintah, penguasa, alim ulama dan pemimpin-pemimpin. Apabila
mereka telah sepakat dalam suatu hal, maka kaum muslimin berkewajiban
melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan mereka tidak bertentangan dengan
isi Kitab Alquran. Kalau tidak demikian halnya, maka kita tidak wajib
melaksanakannya, bahkan wajib menentangnya, karena tidak dibenarkan seseorang
itu taat dan patuh kepada sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat pada Allah
SWT.
لا طاعة لمخلوق
في معصية الله
"Tidak
(dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan maksiat kepada
Khalik (Allah SWT)"
- Kalau ada
sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat atasnya, maka
wajib dikembalikan kepada Quran dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya
haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan
persesuaiannya di dalam Alquran dan Sunah Rasulullah saw. Tentunya yang dapat
melakukan qias seperti yang dimaksud di atas ialah orang-orang yang berilmu
pengetahuan, mengetahui dan memahami isi Alquran dan Sunah Rasul. Demikianlah
hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhirat.
Adapun yang dimaksud ulama di sini
adalah orang-orang yang mengetahui berbagai macam ilmu secara mendalam dan
dapat memberitahukannya kepada orang lain. Sebenarnya makna ulama secara umum
meliputi semua bidang ilmu, tanpa dibatasi pada ilmu-ilmu tertentu. Namun,
dalam pemahaman masyarakat kita, khususnya di Indonesia, kata ulama lebih
dimaknai sebagai orang-orang yang mendalami berbagai bidang ilmu agama, seperti
ilmu fikih, ilmu tauhid, tasauf, dsb. Orang-orang yang menekuni atau mendalami
bidang-bidang ilmu selain ilmu-ilmu agama tidak disebut sebagai ulama, tetapi
mereka sering disebut cendikiawan atau pakar ilmu pengetahuan (ilmuwan).
Adapun yang dimaksud umara’
(pemerintah) adalah para penyelenggara negara mulai dari yang tertinggi
(presiden) hingga yang paling rendah (kepada desa) atau mungkin yang lebih
rendah dari kepala desa. Mereka melakukan tugasnya untuk kemakmuran negara dan
rakyat (bangsa), bukan atas nama pribadi.
Dengan demikian, mentaati ulama dan
ulil amri berarti taat dan patuh terhadap semua ketetapan atau keputusan yang
dibuat oleh para ulama dan umara’ (pemerintah). Berdasarkan surat An-Nisaa’
ayat 59 di atas, adalah termasuk salah satu kewajiban kita. Dari ayat di atas dapat juga dipahami bahwa ketaatan kepada Allah dan
Rasulullah bersifat mutlak, artinya tidak ada prasarat khusus. Sedangkan
ketaatan kepada yang lainnya tidak bersifat mutlak, tetapi memiliki prasyarat
khusus, yakni jika ketetapan dan keputusan yang mereka buat tidak bertentangan
dengan Al-Quran dan Sunnah. Jika bertentangan, tidak ada kewajiban mentaatinya.
Wallahu a'lam
diambil dari berbagai sumber