Manusia itu wajib berusaha,
tetapi Tuhanlah yang menentukan. Kalimat ini kerap muncul ketika kita mengalami
kegagalan dalam suatu usaha untuk memberikan kekuatan batin dan hiburan dikala
hati kita merasa sedih karena apa yang kita impikan menjadi berantakan! Dan
biasanya, kata-kata itu sangat mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dipraktikan
meskipun rata-rata kita mempercayai kebenaran kata-kata itu! Melupakan
kesusahan itu sulit, tidak segampang membalikkan telapak tangan. Membutuhkan
proses yang lama.
Tetapi benarkah, Tuhan akan
memberikan ketentuan buruk setelah kita melakukan usaha yang sebaik-baiknya,
menurut paremater yang telah ditetapkan oleh Tuhan? Padahal, sebagai manusia
beragama, kita meyakini bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Inilah pertanyaan yang perlu kita jawab. Kita harus berhati-hati menjawabnya
agar kita tidak tersesat jalan. Sangat mengerikan jika kita membayangkan
tersesat pikiran, misalnya kita su’udzan terhadap ketentuan Allah yang kita
terima. Menganggap kepedihan yang kita alami adalah bentuk ketidakadilan Tuhan!
Pikiran (baca ilmu) merupakan imamnya amal, sedangkan amal adalah makmunya.
Jika pikiran kita sesat, lakukarya kitapun akan sesat jika tidak mendapatkan
pertolongan Allah! Tidak mustahil kesesatan pikiran tersebut akan menyebabkan
seseorang menjadi atheis!
Lantas, apa yang harus kita
lakukan? Apakah segala kepedihan, kegagalan, dan kesialan itu hanya cukup kita
ratapi? Tidak ada salahnya kita meratap karena manusia itu memang makkhluk yang
lemah. Makhluk yang suka berkeluh kesah. Tetapi jangan berlebihan, jangan
kebablasan, karena meratapi nasib yang berlebihan justru akan mematikan jiwa
kita. Yang mendesak untuk segera dilakukan adalah melakukan instropeksi diri
dan memantapkan keyakinan bahwa Tuhan itu tidak mungkin bersikap kejam terhadap
hambanya. Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hambanya. Jika ada
sesuatu yang tidak berkenan adalah semata-mata kesalahan kita, atau barangkali
ujian dari Allah, atau pembelajaran yang diberikan oleh Allah untuk
meningkatkan kualitas keimanan kita.
Manusia itu adalah makhluk
alternatif berbeda dengan binatang yang tidak bisa memilih dan menerima apa
adanya seperti asli penciptaannya. Manusia itu bebas memilih dua jalan yang
diberikan Allah, yaitu jalan Tuhan atau jalan setan, jalan kebaikan atau jalan
keburukan, jalan yang terang benderang atau jalan yang penuh kegelapan. Kita
dipersilahkan memilih. Tentu saja pilihan tersebut akan membawa konsekuensi
sendiri.
Jalan Tuhan akan membawa
kebahagiaan di dunia maupun di akherat, sementara jalan setan akan membawa
kesengsaraan di dunia maupun di akherat! Jalan Tuhan adalah bentuk ketakwaan
kita kepada Allah, yaitu mau melaksanakan perintah Sang Pencipta dan mau
meninggalkan larangan-larangannya. Sementara itu jalan setan adalah bentuk
penentangan manusia terhadap ajaran Tuhan. Mereka mengingkari Allah, tidak
mempercayai adanya Allah dan atau tidak mau berpandangan dan bersikap hidup
dengan ajaran Allah!
Ngomong-ngomong soal jalan, jalan
yang lurus, atau atau sistem penataap hidup yang tangguh dan dapat mengantarkan
kemenangan atau kebahagiaan dunia akherat, sebenarnya setiap hari ketika kita
shalat kita pasti memohon kepada Allah agar diberikan jalan tersebut. Tetapi
sering kita tidak menyadarinya, atau mungkin tidak tau/atau kurang tahu
maksudnya sehingga tidak menimbulkan efek terhadap perilaku hidup kita
sehari-hari. Baik dalam kehidup pribadi, keluarga, masyarakat, maupun dalam
kehidupan bernegara. Contohnya, setiap hari kita salat tetapi kita sering menipu
kepada orang lain atau rakyat. Setiap hari kita salat, tetapi kita masih
melakukan korupsi, dsb. Hal itu berarti kita belum memahami dan menghayati shirothalmustaqim/jalan
yang lurus yang terdapat di dalam surat Al-Faatihah. Padahal setiap hari kita membacanya
dan sudah hapal dari semenjak kita duduk dibangku sekolah dasar, bahkan
sekarang anak-anak PAUP pun sudah hapal!
Ketika Shalat kita memohon untuk
mendapatkan jalan yang lurus atau jalan yang diridloi oleh Allah :
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang
lurus
Yaitu jalannya orang-orang yang
telah engkau beri nikmat, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan
bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.
Apa itu jalan yang lurus? Dan,
seperti apakah jalannya orang-orang yang telah diberi mikmat, orang-orang yang
dimurkai, dan orang-orang yang sesat itu?
Untuk mengetahui itu semua, mau
tidak mau kita harus mempelajari Al-Quran secara serius, karena sejatinya jalan
yang lurus itu adalah jalan hidup berdasarkan Al-Quran menurut Sunnah
Rasul-Nya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 – 5 kita telah diberitahu jalan yang
pernah ditempuh oleh para Rasul yang harus kita jadikan panutan. Ayat 6 – 7
jalan yang dimurkai oleh Allah yang ditempuh orang-orang kafir. Dan ayat 8 – 20
adalah jalannya orang-orang yang sesat!
Dan untuk mengetahui jalan-jalan
tersebut, baik yang haq maupun yang bathil kita harus merujuk ke Al-Quran.
Al-Fatihan merupakan pandangan umum, ummul kitab, kalau diibarat suatu buku ia
adalah pendahuluan. Al-Quran merupan penjelasan rincinya. Inilah satu kitab
yang didalamnya tidak diragukan kebenarannya dan merupakan petunjuk/pedoman
hidup bagi orang-orang yang bertakwa! Wallahu a’lam!