Friday, April 24, 2015

Jalan Lurus


Manusia itu wajib berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Kalimat ini kerap muncul ketika kita mengalami kegagalan dalam suatu usaha untuk memberikan kekuatan batin dan hiburan dikala hati kita merasa sedih karena apa yang kita impikan menjadi berantakan! Dan biasanya, kata-kata itu sangat mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dipraktikan meskipun rata-rata kita mempercayai kebenaran kata-kata itu! Melupakan kesusahan itu sulit, tidak segampang membalikkan telapak tangan. Membutuhkan proses yang lama.




Tetapi benarkah, Tuhan akan memberikan ketentuan buruk setelah kita melakukan usaha yang sebaik-baiknya, menurut paremater yang telah ditetapkan oleh Tuhan? Padahal, sebagai manusia beragama, kita meyakini bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah pertanyaan yang perlu kita jawab. Kita harus berhati-hati menjawabnya agar kita tidak tersesat jalan. Sangat mengerikan jika kita membayangkan tersesat pikiran, misalnya kita su’udzan terhadap ketentuan Allah yang kita terima. Menganggap kepedihan yang kita alami adalah bentuk ketidakadilan Tuhan! Pikiran (baca ilmu) merupakan imamnya amal, sedangkan amal adalah makmunya. Jika pikiran kita sesat, lakukarya kitapun akan sesat jika tidak mendapatkan pertolongan Allah! Tidak mustahil kesesatan pikiran tersebut akan menyebabkan seseorang menjadi atheis!

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Apakah segala kepedihan, kegagalan, dan kesialan itu hanya cukup kita ratapi? Tidak ada salahnya kita meratap karena manusia itu memang makkhluk yang lemah. Makhluk yang suka berkeluh kesah. Tetapi jangan berlebihan, jangan kebablasan, karena meratapi nasib yang berlebihan justru akan mematikan jiwa kita. Yang mendesak untuk segera dilakukan adalah melakukan instropeksi diri dan memantapkan keyakinan bahwa Tuhan itu tidak mungkin bersikap kejam terhadap hambanya. Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hambanya. Jika ada sesuatu yang tidak berkenan adalah semata-mata kesalahan kita, atau barangkali ujian dari Allah, atau pembelajaran yang diberikan oleh Allah untuk meningkatkan kualitas keimanan kita.

Manusia itu adalah makhluk alternatif berbeda dengan binatang yang tidak bisa memilih dan menerima apa adanya seperti asli penciptaannya. Manusia itu bebas memilih dua jalan yang diberikan Allah, yaitu jalan Tuhan atau jalan setan, jalan kebaikan atau jalan keburukan, jalan yang terang benderang atau jalan yang penuh kegelapan. Kita dipersilahkan memilih. Tentu saja pilihan tersebut akan membawa konsekuensi sendiri.

Jalan Tuhan akan membawa kebahagiaan di dunia maupun di akherat, sementara jalan setan akan membawa kesengsaraan di dunia maupun di akherat! Jalan Tuhan adalah bentuk ketakwaan kita kepada Allah, yaitu mau melaksanakan perintah Sang Pencipta dan mau meninggalkan larangan-larangannya. Sementara itu jalan setan adalah bentuk penentangan manusia terhadap ajaran Tuhan. Mereka mengingkari Allah, tidak mempercayai adanya Allah dan atau tidak mau berpandangan dan bersikap hidup dengan ajaran Allah!

Ngomong-ngomong soal jalan, jalan yang lurus, atau atau sistem penataap hidup yang tangguh dan dapat mengantarkan kemenangan atau kebahagiaan dunia akherat, sebenarnya setiap hari ketika kita shalat kita pasti memohon kepada Allah agar diberikan jalan tersebut. Tetapi sering kita tidak menyadarinya, atau mungkin tidak tau/atau kurang tahu maksudnya sehingga tidak menimbulkan efek terhadap perilaku hidup kita sehari-hari. Baik dalam kehidup pribadi, keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Contohnya, setiap hari kita salat tetapi kita sering menipu kepada orang lain atau rakyat. Setiap hari kita salat, tetapi kita masih melakukan korupsi, dsb. Hal itu berarti kita belum memahami dan menghayati shirothalmustaqim/jalan yang lurus yang terdapat di dalam surat Al-Faatihah. Padahal setiap hari kita membacanya dan sudah hapal dari semenjak kita duduk dibangku sekolah dasar, bahkan sekarang anak-anak PAUP pun sudah hapal!

Ketika Shalat kita memohon untuk mendapatkan jalan yang lurus atau jalan yang diridloi oleh Allah :
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus

Yaitu jalannya orang-orang yang telah engkau beri nikmat, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.

Apa itu jalan yang lurus? Dan, seperti apakah jalannya orang-orang yang telah diberi mikmat, orang-orang yang dimurkai, dan orang-orang yang sesat itu?

Untuk mengetahui itu semua, mau tidak mau kita harus mempelajari Al-Quran secara serius, karena sejatinya jalan yang lurus itu adalah jalan hidup berdasarkan Al-Quran menurut Sunnah Rasul-Nya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 – 5 kita telah diberitahu jalan yang pernah ditempuh oleh para Rasul yang harus kita jadikan panutan. Ayat 6 – 7 jalan yang dimurkai oleh Allah yang ditempuh orang-orang kafir. Dan ayat 8 – 20 adalah jalannya orang-orang yang sesat!

Dan untuk mengetahui jalan-jalan tersebut, baik yang haq maupun yang bathil kita harus merujuk ke Al-Quran. Al-Fatihan merupakan pandangan umum, ummul kitab, kalau diibarat suatu buku ia adalah pendahuluan. Al-Quran merupan penjelasan rincinya. Inilah satu kitab yang didalamnya tidak diragukan kebenarannya dan merupakan petunjuk/pedoman hidup bagi orang-orang yang bertakwa! Wallahu a’lam!

Monday, April 6, 2015

Neraka di Depan Mata Kita

Perpecahan adalah penyakit berbahaya yang dapat menjerumuskan manusia kedalam lembah kehinaan, ibaratnya seperti kehidupan di neraka! Panas bagai api yang membakar! Hati-hati yang membatu saling gesek sehingga menimbulkan api perpecahan yang mewujud menjadi kehidupan saling sikat dan sikut, saling tindas-menindas, bahkan saling membunuh dalam bentuk peperangan yang berkobar! 



Hal itu berbanding terbalik dengan persahabatan, surgalah tempat orang yang senang menjalin persahabatan. Tentu saja sahabat sejati, bukan sahabat palsu yang selalu menomorsatukan kepentingan dan keuntungan pribadi. Bukan persahabatan di meja judi! Pernahkan Anda melihat orang berjudi? Dalam permainan judi tampaknya mereka sangat akrab, ketawa-ketiwi saling bergurau, tapi diam-diam mereka berusaha keras mengeruk uang lawannya. Menjatuhkan sahabat palsunya yang diajak bersendaguaru! Ketika kita menderita mereka akan meninggalkan kita. Berhati-hatilah dalam memilih sahabat!

Bagaimana caranya untuk mengetahui kualitas sahabat kita agar kita tidak tertipu? Ada beberapa cara yang patut Anda perhatikan. Ini bukan su’udzon (berprasangka buruk), tetapi meningkatkan kewaspadaan. Perhatikan, salah satu ciri sahabat sejati adalah rela berbagi dengan orang lain, tidak mau menyakiti, tidak ada motivasi jahat di dalam sanubarinya dalam bergaul dengan sahabat-sahabatnya. Mereka selalu menerapkan win win solution dalam memecahkan berbagai masalah dan tidak mau menari-nari di atas penderitaan orang lain! Hal ini mudah dikatakan tetapi tidak mudah untuk dipraktikan karena kita harus menundukkan hawa nafsu, bukan menghilangkan. Artinya kita harus mendasarkan hubungan kita dengan sesuatu yang lebih mulia. Apa itu? Sesuai dengan penciptaan Allah, tidaklah manusia itu diciptakan oleh Allah kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Maka, Rasulullahpun bersabada : “setiap urusan yang penting, yang tidak di awali (dimotivasi) dengan bismillahirahmanirahiim, maka urusan itu akan terputus (sia-sia, tidak membawa berkah, tidak maslahat, akan merugikan).”

Saya kira hal tersebut di atas sifatnya universal, berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Perpecahan itu akan menimbulkan malapetaka! Berdasarkan pengalamanya, para leluhur kitapun mengakui itu, seperti yang mereka ungkapkan dalam bentuk pepatah : besatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Atau, mereka mengibaratkan lidi-lidi yang tercecer, kemudian disatukan dalam tali ikatan yang kokoh, daya guna dan kekuatannya akan bertambah hebat dibandingkan dengan jika lidi-lidi itu bekerja sendiri-sendiri!

Kalau kita tengok sejarah perjuangan bangsa kita, perpecahan ternyata telah mengakibatkan bangsa kita dijajah oleh bangsa lain. Politik yang dilancarkan oleh para penjajahpun politik pecahbelah, karena mereka tahu perpecahan akan membuat bangsa kita rapuh sehingga dengan mudah mereka menancapkan kuku-kuku kekuasaan mereka. Yang harus kita waspadai, meskipun mereka telah hengkang dari bumi pertiwi, tetapi penjajahan itu masih ada. Penjajahan dalam bentuk lain. Misalnya penjajahan ekonomi dan budaya.

Di dalam Al-Quran, jelas dikatakan bahwa perpecahan mengakibatkan bangsa Arab sebelum turunnya Al-Qur’an hidup dalam kondisi pecah-belah, saling berperang antar suku, dan maraknya tindakan diluar kemanusiaan yang lainnya. Di dalam surat Ali Imran ayat 103, situasi dan kondisi seperti itu diibaratkan berada di tepi jurang neraka :

103. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tarjamah tafsiriyah berikut ini. Mudah-mudahan makin memperjelas:

Berpegang-teguhlah kalian pada ikatan hidup yang diajarkan Allah ini (Quran), sehingga menjadi satu jamaah; jangan (malah) berpecah-belah. Bangunlah kesadaran berdasarkan nikmat (ajaran) Allah (yang didakwahkan Rasul) kepada kalian. Dulu kalian (bangsa Arab) hidup saling bermusuhan; lalu (dengan Quran) Dia (Allah) manjinakkan (rasa permusuhan yang tumbuh) berubah menjadi persaudaraan. Dengan kata lain, (ketika saling bermusuhan itu) kalian ibarat hidup di tepi jurang neraka, lalu Dia (Allah) menyelamatkan kalian dari situ. Begitulah Allah menggambarkan kebenaran ayat-ayat-Nya (Quran). Mudah-mudahan kalian menjadikannya petunjuk.

Yang dimaksud neraka dalam kontek ayat ini berbeda dengan neraka yang biasa kita dengar dan baca, yang akan ditemui setelah hari kiamat nanti. Neraka yang disebutkan di sini, sesuai qarinah ayat adalah “neraka yang ada di depan mata”, yang ibarat kobaran api dari satu peristiwa kebakaran, ia akan melahap siapa saja bila tidak segera menjauh darinya.  Karena ayat ini menggambarkan keadaan bangsa Arab sebelum kedatangan Al-Quran, maka jelas bahwa yang berhadapan dengan neraka tersebut adalah mereka. Tapi bila pada saat itu ditanyakan kepada mereka tentang neraka tersebut, yang sering kita bayangkan sebagai kobaran api, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan mampu menjawab. Mereka tidak melihat kobaran api (harfiah) itu!

Kata naar yang secara harfiah berarti api, pada ayat tersebut, adalah satu metafor atau ungkapan. Bukan dalam arti hakiki. Pengertian istilah ini dibangun oleh dua kata yang secara makna berkaitan, yaitu kata la tafarraqu (jangan kalian berpecah belah) dan a’daan (bermusuhan). Dengan kata lain, penyebutan neraka di sini agaknya sangat berkaitan dengan watak bangsa Arab sendiri.

Terpecahnya bangsa Arab menjadi berbagai suku yang saling bermusuhan adalah cerita yang mashur. Namun penyebutan (tidak langsung) keadaan tersebut sebagai faktor penyebab timbulnya “neraka” (dunia) agaknya baru terdapat dalam Al-Quran, khususnya dalam ayat tersebut. Tapi bukankah kita sendiri sering mengatakan situasi demikian itu sebagai api di dalam sekam?

Istilah api dalam sekam ini agaknya lahir dari masyarakat petani. Sehabis menumbuk padi, kulit-kulit padi yang disebut sekam itu disapu, dikumpulkan, lalu dibakar. Bakaran pertama yang menginggalkan bara, ditimbun lagi dengan sekam-sekam baru. Tetapi meskipun ditimbun dengan sekam-sekam baru sampai tidak kelihatan, bara api itu terus menyala, perlahan-lahan merembet ke atas, dan bila tertiup angin nyalanya kembali berkobar. Begitulah api dalam sekam! Begitu pula perpecahan dan permusuhan; yang sewaktu-waktu bisa mengobarkan api peperangan.

Dampak dari sebuah perang adalah neraka yang nyata. Manusia saling membunuh. Kadang pembunuhan dilakukan juga atas orang-orang yang tak berdaya seperti terhadap orang-orang jompo dan anak-anak. Tak jarang tindak perkosaanpun menjadi hiasan sebuah perang. Rumah-rumah tidak hanya dijarah, tetapi juga dibakar. Kampung dan kota dijadikan lautan api. Lingkungan hidup rusak binasa. Manusia-manusia yang tertinggal terpaksa harus hidup dengan serba kemelaratan.

Kemudian, kebalikan dari perpecahan dan permusuhan adalah ihwanan (persaudaraan); sehingga dapat disimpulkan pula bahwa kehidupan saling bersaudara adalah kehidupan “surga” dunia. Ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa persaudaraan itu timbul karena Allah melalui Al-Quran ‘menjinakkan’ hati mereka (bangsa Arab). Begitu juga terhadap bangsa yang mendukung sikap dan laku-karya seperti itu! Tidak terkecuali dengan bangsa Indonesia sendiri. Wallahu a’lam!