Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di
muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia
hanya bersifat relatif atau nisbi, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola
dan memanfaatkan dengan ketentuan-Nya. Firman Allah
Islam memelihara
keseimbangan antara hal-hal berlawanan yang terlalu dilebih-lebihkan. Tidak
hanya dengan mengakui hak milik pribadi tetapi juga dengan menjamin pembagian
kekayaan yang seluas-luasnya. Salah satu perbedaan konsep kepemilikan dalam
Islam adalah pada sisi pengelolaan harta, baik dari segi nafkah (konsumsi)
maupun upaya pengembangan (investasi) kepemilikan harta.
Konsep dasar Islam yang harus dipahami dan diimani
seorang muslim adalah, bahwa harta adalah titipan atau amanah Allah yang harus
dimanfaatkan (konsumsi) dan dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan yang telah
digariskanNya.
Menurut Islam, harta
yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi)
wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli,
mengkonsumsi barang-barang yang haram tidak diperkenankan (dilarang). Termasuk
juga upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga
dilarang. Karena itu, memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman
keras (memabukkan) dilarang dalam ajaran Islam.
Selain menerapkan
aturan-aturan terkait kepemilikan harta dari segi pemanfaatan (konsumsi) maupun
pengembangannya atau cara memperoleh harta tersebut. Islam juga sangat menjaga
adanya kepemilikan tersebut. Bahkan, terhadap orang yang mati terbunuh karena
mempertahankan harta miliknya dari gangguan atau pelanggaran yang mungkin
dilakukan orang lain, maka kematian orang itu dikategorikan mati syahid.
Islam mengajak umatnya
untuk mendahulukan kemaslahatan masyarakat daripada kemaslahatan individu, dan
hak kepemilikan oleh individu harus tetap bertujuan untuk mendatangkan
kemashlahatan yang sebesar mungkin dan juga dibatasi dengan tidak menimbulkan
dharar (bahaya) bagi orang lain.
Salah satu konsep yang
ditetapkan Islam adalah harta tidak bisa melahirkan harta. Dengan demikian,
kepemilikan yang ditetapkan kepada pemilik harta merupakan hasil dari usaha
atau jerih payah yang dilakukan.
Harta adalah anugerah
dari Allah yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari
Allah SWT untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus
disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti.
Harta adalah amanah
dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap kondisi–entah baik atau pun
buruk—yang kita alami sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT, dan mesti kita
hadapi secara baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Harta benda
yang dititipkan kepada kita juga demikian. Di balik harta melimpah, ada tanggung
jawab dan amanah yang mesti ditunaikan. Harta yang tidak dinafkahkan di jalan
Allah akan menjadi kotor, karena telah bercampur bagian halal yang merupakan
hak pemiliknya dengan bagian haram yang merupakan hak kaum fakir, miskin, dan
orang-orang yang kekurangan lainnya. Firman Allah SWT dalam surah at-Taubah (9)
ayat 103,
Harta adalah ujian.
Yang jadi ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian.
Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi persoalannya adalah bagaimana
menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia, yang tujuannya dibalik itu
cuma satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya. Bagi yang
berharta, tentunya, ada kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta
itu.
Harta adalah hiasan hidup
yang harus diwaspadai. Allah SWT menciptakan bagi manusia banyak hiasan hidup.
Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi
indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering
menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya,
serta lupa kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu sebenarnya
merupakan titipan dan ujian. Allah SWT berfirman di dalam surah at-Taghabun
(64) ayat 15, "Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar".
Segenap perangkat
duniawi, baik yang meteril maupun yang non materil, tercipta sebagai sarana
yang bisa digunakan manusia untuk beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana
ibadah. Ia bukan hanya menjadi ibadah kala dinafkahkan di jalan Allah, ia
bahkan sudah bernilai ibadah kala manusia dengan ikhlas mencari nafkah untuk
keluarganya dan selebihnya untuk kemaslahatan umat. Jika harta dipergunakan
sebaik-baiknya, pahala yang amat besar menanti. Namun jika tidak, siksa Allah
amatlah pedih.
Harta yang dimiliki Muslim juga cobaan dari Allah. Ia
diuji Allah, apakah mampu menggunakan harta sebagai sarana mendekatkan diri dan
taat menjalankan perintah serta menghentikan Allah. Bahkan, harta mendorongnya
semakin taat dan banyak mengingat Allah. Allah berfirman, ''Hai orang-orang
yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.'' (QS 63: 9).
Orang yang cinta harta secara berlebihan membuatnya tidak bisa
bersyukur kepada Allah. Bahkan, ia cenderung mengingkari nikmat yang diberikan
Allah kepadanya. Ia menilai hartanya diperoleh melalui kepintaran dan
keahliannya semata. Akibatnya, ia menjadi kikir dan bakhil menggunakan
harta pada jalan Allah dan membantu sesama. Allah berfirman, ''Sesungguhnya
manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan
sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya dan sesungguhnya
dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (QS 100: 6-8).
Berbeda dengan Muslim dan mukmin, akan selalu
bersyukur kepada Allah atas nikmat dan harta yang dimilikinya. Nikmat dan
hartanya digunakan untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan manusia. Allah
berfirman, ''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS 14: 7).
Orang yang memandang harta sebagai suatu puncak
kenikmatan. Ia mencintai dan memilih serta mengumpulkannya, bahkan ia
menggantungkan diri pada kemewahan harta itu. Berlebih-lebihan dalam mencintai
dan memiliki harta dilarang. Sebab, hal itu akan merusak budi pekerti,
melemahkan cita-cita, membikin kekacauan, menjadi berkobarnya hawa nafsu. Jika
sudah menjadi budak hawa nafsu, maka lenyaplah kehormatan manusia dan akan
menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya.
Orang yang tidak mau (enggan) dalam masalah
keduniawian yang penuh dengan liku-liku dan kesulitan yang meliputi dirinya.
Ini adalah sifat ahli tasawuf, ahli zuhud dan para rahib, yang hanya berpikir
dan beribadat saja (dalam arti sempit). Islam telah memberikan peringatan
(ajaran) agar umatnya tidak mengasingkan diri mereka dari kehidupan dunia.
Islam mencela sistem kerahiban yang dilakukan oleh para rahib, yang menciptakan
itu sendiri tanpa diperintah dan dianjurkan oleh ajaran agama.
Orang yang mengambil sikap tengah-tengah, tidak
terlalu menenggelamkan diri dalam masalah-masalah dunia, sehingga ia lupa akan
kebutuhan-kebutuhan jiwanya, tapi ia juga tidak tenggelam dalam kehidupan zuhud
dan jasmaninya. Dia mementingkan kedua-duanya.
Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah suatu jalan
menuju akhirat. Ia hanya merupakan suatu proses yang tidak abadi. Manusia harus
selalu ingat bahwa kehadirannya di dunia ini, untuk beribadah kepada Allah dan
akan kembali kepadanya.
Kehidupan di akherat lebih kekal dan lebih utama.
Sesungguhnya Islam merupakan agama pertengahan yang
mementingkan kebutuhan material dan spiritual serta mementingkan kehidupan
dunia dan akhirat. Dengan itu umat islam berada di tengah-tengah. Mereka
mendapatkan tugas dari Allah untuk mengemban misi Islam yang dapat membawa umat
manusia untuk mencapai kesejahteraan materi dan spiritual secara seimbang.
Allah melarang perbuatan kikir (pelit) dan
menggambarkan sikap orang kikir itu sebagai orang yang mengikatkan tali
erat-erat pada lehernya, sehingga tidak terbuka untuk kebaikan. Dan Allah
melarang perbuatan berlebih-lebihan. Allah menggambarkan sikap yang
berlebih-lebihan itu, sebagai orang yang membuka tangannya lebar-lebar,
sehingga tidak dapat terkontrol lagi.
Sikap kikir akan mendatangkan amarah orang lain,
sedangkan sikap berlebih-lebihan akan mengakibatkan penyesalan.
Umat Islam diperintahkan untuk mengeluarkan zakat
untuk membersihkan mensucikan diri dan harta mereka
Wallahu a'lam bi showab!