Sunday, September 18, 2016

DALIL-DALIL SEPUTAR HARTA

Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia hanya bersifat relatif atau nisbi, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan dengan ketentuan-Nya. Firman Allah

Islam memelihara keseimbangan antara hal-hal berlawanan yang terlalu dilebih-lebihkan. Tidak hanya dengan mengakui hak milik pribadi tetapi juga dengan menjamin pembagian kekayaan yang seluas-luasnya. Salah satu perbedaan konsep kepemilikan dalam Islam adalah pada sisi pengelolaan harta, baik dari segi nafkah (konsumsi) maupun upaya pengembangan (investasi) kepemilikan harta.


Konsep dasar Islam yang harus dipahami dan diimani seorang muslim adalah, bahwa harta adalah titipan atau amanah Allah yang harus dimanfaatkan (konsumsi) dan dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskanNya.



Menurut Islam, harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram tidak diperkenankan (dilarang). Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik  barang-barang haram juga dilarang. Karena itu, memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (memabukkan) dilarang dalam ajaran Islam.

Selain menerapkan aturan-aturan terkait kepemilikan harta dari segi pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya atau cara memperoleh harta tersebut. Islam juga sangat menjaga adanya kepemilikan tersebut. Bahkan, terhadap orang yang mati terbunuh karena mempertahankan harta miliknya dari gangguan atau pelanggaran yang mungkin dilakukan orang lain, maka kematian orang itu dikategorikan mati syahid.

Islam mengajak umatnya untuk mendahulukan kemaslahatan masyarakat daripada kemaslahatan individu, dan hak kepemilikan oleh individu harus tetap bertujuan untuk mendatangkan kemashlahatan yang sebesar mungkin dan juga dibatasi dengan tidak menimbulkan dharar (bahaya) bagi orang lain.

Salah satu konsep yang ditetapkan Islam adalah harta tidak bisa melahirkan harta. Dengan demikian, kepemilikan yang ditetapkan kepada pemilik harta merupakan hasil dari usaha atau jerih payah yang dilakukan.

Harta adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah SWT untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti.

Harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap kondisi–entah baik atau pun buruk—yang kita alami sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT, dan mesti kita hadapi secara baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Harta benda yang dititipkan kepada kita juga demikian. Di balik harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang mesti ditunaikan. Harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah akan menjadi kotor, karena telah bercampur bagian halal yang merupakan hak pemiliknya dengan bagian haram yang merupakan hak kaum fakir, miskin, dan orang-orang yang kekurangan lainnya. Firman Allah SWT dalam surah at-Taubah (9) ayat 103,

Harta adalah ujian. Yang jadi ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi persoalannya adalah bagaimana menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia, yang tujuannya dibalik itu cuma satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya. Bagi yang berharta, tentunya, ada kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta itu.

Harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai. Allah SWT menciptakan bagi manusia banyak hiasan hidup. Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya, serta lupa kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu sebenarnya merupakan titipan dan ujian. Allah SWT berfirman di dalam surah at-Taghabun (64) ayat 15, "Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar".

Segenap perangkat duniawi, baik yang meteril maupun yang non materil, tercipta sebagai sarana yang bisa digunakan manusia untuk beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana ibadah. Ia bukan hanya menjadi ibadah kala dinafkahkan di jalan Allah, ia bahkan sudah bernilai ibadah kala manusia dengan ikhlas mencari nafkah untuk keluarganya dan selebihnya untuk kemaslahatan umat. Jika harta dipergunakan sebaik-baiknya, pahala yang amat besar menanti. Namun jika tidak, siksa Allah amatlah pedih.

Harta yang dimiliki Muslim juga cobaan dari Allah. Ia diuji Allah, apakah mampu menggunakan harta sebagai sarana mendekatkan diri dan taat menjalankan perintah serta menghentikan Allah. Bahkan, harta mendorongnya semakin taat dan banyak mengingat Allah. Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.'' (QS 63: 9).

Orang yang cinta harta secara berlebihan membuatnya tidak bisa bersyukur kepada Allah. Bahkan, ia cenderung mengingkari nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Ia menilai hartanya diperoleh melalui kepintaran dan keahliannya semata. Akibatnya, ia menjadi kikir dan bakhil menggunakan harta pada jalan Allah dan membantu sesama. Allah berfirman, ''Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (QS 100: 6-8).

Berbeda dengan Muslim dan mukmin, akan selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat dan harta yang dimilikinya. Nikmat dan hartanya digunakan untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan manusia. Allah berfirman, ''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS 14: 7).

Orang yang memandang harta sebagai suatu puncak kenikmatan. Ia mencintai dan memilih serta mengumpulkannya, bahkan ia menggantungkan diri pada kemewahan harta itu. Berlebih-lebihan dalam mencintai dan memiliki harta dilarang. Sebab, hal itu akan merusak budi pekerti, melemahkan cita-cita, membikin kekacauan, menjadi berkobarnya hawa nafsu. Jika sudah menjadi budak hawa nafsu, maka lenyaplah kehormatan manusia dan akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya.

Orang yang tidak mau (enggan) dalam masalah keduniawian yang penuh dengan liku-liku dan kesulitan yang meliputi dirinya. Ini adalah sifat ahli tasawuf, ahli zuhud dan para rahib, yang hanya berpikir dan beribadat saja (dalam arti sempit). Islam telah memberikan peringatan (ajaran) agar umatnya tidak mengasingkan diri mereka dari kehidupan dunia. Islam mencela sistem kerahiban yang dilakukan oleh para rahib, yang menciptakan itu sendiri tanpa diperintah dan dianjurkan oleh ajaran agama.

Orang yang mengambil sikap tengah-tengah, tidak terlalu menenggelamkan diri dalam masalah-masalah dunia, sehingga ia lupa akan kebutuhan-kebutuhan jiwanya, tapi ia juga tidak tenggelam dalam kehidupan zuhud dan jasmaninya. Dia mementingkan kedua-duanya.

Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah suatu jalan menuju akhirat. Ia hanya merupakan suatu proses yang tidak abadi. Manusia harus selalu ingat bahwa kehadirannya di dunia ini, untuk beribadah kepada Allah dan akan kembali kepadanya.

Kehidupan di akherat lebih kekal dan lebih utama.

Sesungguhnya Islam merupakan agama pertengahan yang mementingkan kebutuhan material dan spiritual serta mementingkan kehidupan dunia dan akhirat. Dengan itu umat islam berada di tengah-tengah. Mereka mendapatkan tugas dari Allah untuk mengemban misi Islam yang dapat membawa umat manusia untuk mencapai kesejahteraan materi dan spiritual secara seimbang.

Allah melarang perbuatan kikir (pelit) dan menggambarkan sikap orang kikir itu sebagai orang yang mengikatkan tali erat-erat pada lehernya, sehingga tidak terbuka untuk kebaikan. Dan Allah melarang perbuatan berlebih-lebihan. Allah menggambarkan sikap yang berlebih-lebihan itu, sebagai orang yang membuka tangannya lebar-lebar, sehingga tidak dapat terkontrol lagi.

Sikap kikir akan mendatangkan amarah orang lain, sedangkan sikap berlebih-lebihan akan mengakibatkan penyesalan.

Umat Islam diperintahkan untuk mengeluarkan zakat untuk membersihkan mensucikan diri dan harta mereka 

Wallahu a'lam bi showab!