Alhamdulillah puji dan syukur ke haribaan Allah
SWT atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini
kita kaum muslimin di seluruh persada negeri dapat menunaikan shalat Idul Fitri
mengikuti Sunnah Nabi. Kita kumandangkan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai
wujud syukur atas hidayah Allah sebagaimana firman-Nya:
“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al–Baqarah: 185).
Seraya dengan itu, mari kita bershalawat kepada Nabi akhir
zaman, Muhammad Rasul dan figur teladan. Kita ikuti risalah dakwah dan jejak
perjuangannya untuk membangun peradaban utama sebagai rahmat bagi semesta
raya. Kita ikuti Sunnahnya untuk menjadi umatnya yang terbaik di bumi tercinta
ini.
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah
Hari ini kita kaum muslimun menunaikan ibadah shalat Idul Fitri
mengikuti sunnah Nabi. Idul fitri bermakna ”Hari Raya Berbuka Puasa”. Setelah
berpuasa di bulan Ramadlan, maka pada 1 Syawwal semua yang dilarang itu menjadi
halal kembali. Kita dibolehkan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis
sebagaimana mestinya. Kendati dihalalkan, seyogyanya pemenuhan hasrat alamiah
itu dilakukan secara baik dan tidak berlebihan. Sebab apalah artinya berpuasa
manakala tidak melahirkan perubahan perilaku yang terkendali sebagaimana
firman-Nya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS
Al-‘Araf: 31).
Idul fitri bagi kalangan umat Islam di tanah
air sering dimaknai sebagai “Hari Raya Fithrah”, yakni menepati jiwa yang
suci. Pada hari Idul Fitri umat Muslim diwajibkan menunaikan zakat fitrah, yang
mengandung arti menyucikan harta kita dengan berzakat sebagai ikhtiar “memberi
makan untuk orang miskin dan penyucian diri bagi mereka yang berpuasa”
sebagaimana hadis Nabi. Dalam konteks puasa, kembaki ke fithrah dapat dikaitkan
dengan proses sublimasi atau penyucian diri, bahwa setiap muslim kembali
menjadi pribadi yang bersih jiwanya dari dosa sebagaimana sabda Nabi:
”Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala
Allah niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu” (Diriwayatkan oleh
Ashabus Sunan dari Abu Hurairah)
Dalam Al-Quran proses penyucian diri dikaitkan dengan
mengembalikan diri pada jiwa bertaqwa yang fitri atau autentik. Pemaknaan ini
mengandung relasi dengan firman Allah dalam Al-Quran, yang artinya
“Sungguh
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang
mengotorinya (QS Asy-Syams:
9-10).
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah
Tujuan berpuasa ialah terbentuknya insan bertaqwa sebagaimana
firman Allah dalam Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Makna pertama dari
“la’alakum tattaqun” dikaitkan langsung dengan fungsi puasa. Bahwa setiap muslim
harus “berhati-hati, waspada, dan menahan diri” dari makan, minum, dan
pemenuhan hasrat biologis agar tidak berlebihan. Secara filosofs agar setiap
Muslim mampu mengendalikan diri terhadap segala pesona dunia, serta menjadikan
dunia sebagai jalan lurus menuju akhirat.
Makna yang kedua ialah puasa
“membentuk diri insan bertaqwa” sebagaimana pandangan banyak mufasir. Bahwa
selama sebulan lamanya dan sesudahnya mereka yang berpuasa terus menggembleng
diri sehingga menjadi pribadi-pribadi yang bertaqwa, yakni sosok insan
beriman dan beramal kebajikan serba utama (QS Al-Baqarah: 177).
Orang-orang bertaqwa itu
memiliki habluminallah dan habluminannas yang baik dan harmoni. Mereka berjiwa
bersih, jujur dan amanah, cerdas dan maju, serta bertindak serba positif
yang membawa kemaslahatan hidup bagi diri dan lingkungannya. Mereka adalah
sosok pemakmur dan bukan perusak bumi.
Orang bertaqwa memiliki
perisai diri yang kokoh. Mereka tidak akan korupsi, jahat, menyimpang,
dan berbuat kemunkaran meskipun ada peluang yang leluasa. Manakala
menjadi pemimpin dan elite negeri, mereka jujur dan amanah, serta
berkomitmen kuat untuk menyejahterakan rakyat dan membangun negara menjadi Baldatun
Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Jika puasa diproyeksikan
untuk membentuk perangai serbautama seperti itu, maka shiyamu-Ramadlan
akan menjadi mi’raj ruhaniah; yakni proses naik tangga
spiritual ke puncak tertinggi selaku insan muttaqin menuju terwujudnya keadaban
utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan
universal.
Sebaliknya jangan ada
paradoks perlikaku pasca puasa dan idul fitri, yakni berbuat hal-hal yang
berlawanan dengan perintah Allah dan Nabi. Jika masih berbuat keburukan, maka
puasa yang dilakukan sebulan penuh itu mungkin hanyalah puasa rukun tanpa isi
dan fungsi sebagaimana sabda Nabi:
Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil
puasanya kecuali lapar dan dahaga” (HR Nasai, Ibn Majah, dan Hakim). Semoga
kita dijauhkan dari puasa verbal tanpa makna seperti itu.
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Pasca Ramadlan dan Idul
Fitri umat Muslim di negeri ini dapat menyebarkan energi positif dalam
membangun keadaban diri dan lingkungan sosial yang serbautama. Bangunlah
perilaku individu dan sosial yang membuahkan kebaikan, kedamaian, permaafan,
ketulusan, solidaritas sosial, serta hubungan antarsesama yang saling
menebarkan adil dan ihsan.
Kita sungguh prihatin dengan
rusaknya hubungan sosial di tubuh bangsa ini. Sebagian orang di negeri ini
karena soal-soal sepele tidak jarang berbuat kekerasan dan anarki. Melalui
media sosial bahkan lahir ujaran-ujaran yang kotor, buruk, tidak patut, serta
menyebarkan kebencian dan permusuhan. Kehidupan sosial pun masih diwarnai
penyimpangan perilaku. Masyarakat kita saat ini tengah diancam oleh ganasnya
narkoba, miras, pornografi, kekerasan, terorisme, kejahatan seksual, dan
pengaruh buruk teknologi elektronik yang menjadi beban berat bangsa.
Sebagian orang dengan mudah
melenyapkan nyawa sesama seolah harga manusia begitu murah. Ruang publik
serbabebas sehingga atasnama demokrasi dan hak asasi manusia tidak sedikit yang
berbuat sekehandaknya dan melanggar norma-nirma moral dan agama. Nilai-nilai
kasih sayang, persaudaraan, dan sopan santun yang selama ini menjadi karakter
bangsa kita mengalami peluruhan karena terkalahkan oleh hasrat rebutan
kepentingan, konflik, dan perangai menerabas.
Dunia anak-anak dan
perempuan tidak bebas dari ancaman sosial. Kekerasan dan kejahatan seksual
terhadap anak dan perempuan berada pada fase gawat darurat. Padahal anak adalah
permata hati keluarga dan tunas generasi yang akan menentukan nasib bangsa dan
peradaban ke depan. Perempuan pun merupakan pilar penting bangsa, yang
semestinya memperoleh perlakuan yang adil dan bermartabat sebagaimana Allah dan
Rasul memuliakannya selaku insan fi-ahsani at-taqwim.
Dunia politik tidak jarang
keras, menebar benih konflik, dan berbagai transaksi curang yang mekanggar
norma agama, moral, dan hukum. Politik yang semestinya dibingkai moral dan
agama menjadi serbaboleh hingga menghalalkan segala cara. Perilaku ekonomi
sebagian pihak pun tak kalah buruk demi mengejar kepentingan yang
sebesarbesarnya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.
Karenanya pasca Ramadlan dan
Idul Fitri perlu dikembangkan keadaban perilaku dan relasi sosial yang serbautama,
yang membawa kebajikan hidup untuk diri dan lingkungannya. Keadaban yang
berbasis al-akhlaq al-karimah yang mengedepankan sikap hidup yang benar, baik,
dan patut serta menjauhi perilaku yang salah, buruk, dan tidak patut
berdasarkan nilai-nilai luhur agama dan kearifan budaya bangsa.
Manusia beriman pasca puasa
dan Idul Fitri harus berhasil menampilkan perilaku mulia. Mulia dalam berpikir,
berkata, bersikap, dan bertindak naik untuk diri sendiri maupun untuk sesama
dan lingkungan semesta. Jadilan insan mulia sebagaimana Allah Yang Maha Rahman
dan Rahim menciptakan manusia dalam martabat yang luhur sebagaiman firman-Nya
dalam Al-Quran:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS Al Isra: 70).
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Puasa dan Idul Fitri bagi
umat Islam harus menjadi washilah atau jalan meneguhkan keberagamaan yang
fithri atau hanif sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS
Ar-Rum: 30).
Dengan puasa dan idul fitri
setiap muslim menjadi insan yang berislam atau beragama secara bersih dan
lurus, karena jiwanya sepenuhnya lurus bertauhid kepada Allah dan ihsan kepada
kemanusiaan. Karennya beragama atau berislam pun dijalaninya dengan kesejatian,
yakni menembus hakikat atau esensi dan tidak berhenti pada kulit luar atau
syariat belaka. Dengan kata lain terdapat kesejalanan antara syariat dan
hakikat, antara rukun dan isi, serta antara hal yang semestinya dan senyatanya.
Jika setiap muslim menjalankan Islam dengan konsisten seperti itu maka Islam
akan terwujud sebagai pedoman hidup yang utuh dan menyeluruh dalam kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kehidupan semesta.
Ketika insan muslim beragama
dengan fithri dan hanif maka di dalam dirinya luruh seluruh jiwanya untuk
menjadikan agama sebagai pedoman hidup yang utuh dan autentik. Dalam gerak
hidupnya terpancar kebenaran, kebaikan, dan kepatutan hidup berbasis
nilai-nilai Ilahi yang fithri. Segala kebaikan dia
lakukan dengan tulus, sebaliknya keburukan dia jauhi dengan sepenuh hati, tanpa
merasa berat dan basa-basi. Beragama itu ditunaika semata kaena Allah, bukan
karena yang lain-lain.
Jika manusia itu bersih
beragama dengan bersih maka akan lurus hidupnya semata karena Allah,
serta tidak akan bersekutu dengan apapun. Insan yang beragama dengan
bersih tidak mendewakan ego diri, kelompok, golongan, dan segala atribut ananiyah lainnya. Insan muslim tidak
akan membudakkan diri para tahta, kuasa, dan segala pesona dunia yang membuat
dirinya jatuh. Mereka yang beragama dengan hanif tidak akan meniru perangai
Firaun, Qarun, dan Hammam yang ajimumpung dan merasa paling digdaya sehingga
sewenang-wenang terhadap sesama.
Mereka yang beragama dengan hanif dan menjelma sebagai al-mukhlisun,
keberagamaanya hanya dipertunjukkan kepada Allah semata. Mereka yang awam
maupun berilmu, termasuk sebagai penyebar misi dakwah dan tokoh-tokoh
agama, tidak akan angkuh diri atasnama agamanya. Mereka tidak akan tazakku atau merasa diri paling suci dan
Islami dalam beragama, seraya dengan mudah menujukkan telunjuknya kalau orang
lain salah dan sesat.
Ketulusan orang beragama
juga akan dibuktikan dalam kelurusan konsistensi antara kata dan laku.
Ketika agama mengajarkan damai maka dirinya menjadi pendamai kehidupan. Ikhlas
menegakkan damai ketika kemarahan diri dan umatnya membara. Damai dan toleran
diuji tatkala keberbedaan menjadi ganjalan yang perlu bingkai dengan jiwa
ukhuwah dan tasamuh di ranah muamalah-dunyawiyah. Buktikan bahwa kita sesama
muslim dan dengan umat yang lain dapat hidup dengan baik, damai, dan saling
menghormati secara tulus dengan menebar semangat beragama yang
rahmatan lil-‘alamin.
Beragama yang fithri dan
hanif itu harus konsisten antara kata dan perbuatan. Manakala seorang muslim
bersuara lantang mengajarkan kebenaran, kebaikan, dan kepantasan maka dia
praktikkan jalan hidup yang benar, baik, dan patut itu dalam seluruh gerak
lakunya. Agama benar-benar dijadikan rahmat bagi semesta, termasuk bagi diri,
keluarga, dan lingkungan terdekatnya. Beragama yang ikhlas akan membebaskan
diri dari sangkar-besi kejumudan, keangkuhan, nifaq, dan kenaifan.
Beragama yang futhri dan hanif buah dari puasa justru dibuktikan dalam seluruh
denyut nadi kehidupannya secara nyata dan konsisten sebagaimana perintah firman
Allah dalam Al-Quran:
Artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (QS Ash-Shaf: 2-3).
Jama’ah Idul Fitri
Rahimakumullah!
Di penghujung khutbah ini
mari kita bermunajat kepada Allah dengan khusyuk dan penuh pengharapan. Semoga
seluruh amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan sesudahnya kian bermakna dan
diterima di sisi Allah, sehingga di Hari Akhir nanti menjadi jalan meraih surga jannatun
na’imdalam rengkuhan Ridla dan Karunia-Nya. Amin
ya Rabb al-‘Alamin!
Khotbah Idul Fitri Oleh Ketum Muhammadiyah