Thursday, December 21, 2017

MENCARI BERKAH TUHAN

Tahukah Anda ada satu kata yang senantiasa di damba dan diinginkan oleh setiap manusia. Kata ini senantiasa diharapkan dalam setiap aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Apakah kata itu? Yang diinginkan oleh manusia dalam  dalam menjalani aktifitas hidupnya? 



Kata itu adalah kata barokah. Karena sesungguhnya kata ini menjadi dambaan sekaligus menjadi harapan setiap orang. Coba saja tanya pada orang yang ada di pinggir jalan, misalnya, ketika mereka melakukan pekerjaan, bayaran mereka tidak sesuai dengan pekerjaan berat yang mereka lakukan. Kenapa mereka bertahan dalam pekerjaan itu? Mereka akan menjawab kami hanya ingin mendapatkan barokah. Sering pula kita melihat para pedagang atau pemilik modal ketika mereka membuka warung ataupun ruko yang mereka kuasai, mereka juga memberikan nama rukonya dengan kata Barokah Jaya, Barokah Maju, dll. Artinya menunjukkan bahwasanya barokah merupakan kata yang paling manis diucapkan oleh lisan dan paling laku diharapkan oleh manusia. 


Tetapi walaupun kata ini sering didambakan oleh manusia ternyata tidak semua orang faham tentang makna barokah yang sebenarnya. Bahkan tidak sedikit yang menyangka bahwa barokah itu adalah tumpukan harta dan materi yang dia kumpulkan. Sehingga banyak orang yang menyangka ketika bertambah hartanya maka sesungguhnya bertambah barokah di dalam hidupnya. Padahal, barokah itu bukan harta yang dia kumpulkan. Kalaulah barokah selalu dikaitkan dengan kekayaan dan materi yang berlimpah, pastilah orang-orang kafir itu lebih barokah daripada kita. Tumpukan harta mereka lebih banyak, dan harta yang mereka kuasi lebih berlimpah daripada harta yang kita miliki dan kita kuasai. Barokah itu tidak ditentukan dengan harta.

Apa itu makna barokah? Para ahlul ilmi menjelaskan kepada kita, banyak sekali makan barokah yang dimiliki kata tersebut. Tetapi kali ini kita bahas satu saja dari makna barokah yang disampaikan para ulama’ terdahulu kepada kita.



Perkara apa saja yang menambahkan ketaatan kita kepada Allah, maka itulah barokah. Maka apapun kondisi yang senantiasa menambahkan titian ketaatan kita kepada Allah, ibadah kita menjadi lebih baik, ketaatan kita menjadi lebih tinggi, siapapun yang dimudahkan bertambah ketaatannya, itulah makna barokah yang sesungguhnya. Kadang-kadang barokah itu datang dari perkara-perkara yang tidak kita duga. Ada orang yang sakit tetapi barokah. Siapakah orang yang sakit tetapi barokah? Yaitu orang yang ketika di dalam sakitnya justru bertambah sabarnya dan ridhonya kepada Allah. Sebagaimana para sahabat yang diberikan sakit dan dia bersabar atas sakitnya dan menambah keimanannya, maka itulah barokah. Apapun perkara yang menambah ketaatan kita aka itulah barokah.

Anak-anak yang barokah bukan anak yang imur lagi lucu, tetapi anak yang menambah ketaatan kita. Harta yang barokah bukan harta yang banyak, tetapi harta yang menjadikan kita senantiasa menambah ketaatan kita di jalan Allah. Marilah kemudian kita menimbang kembali arti barokah dalam kehidupan. Jangan salah menempatkan arti barokah. Karena barang siapa salah menempatkan arti barokah maka dia akan salah dalam menjalani kehidupan. Dia berlimpah harta menyangka itu barokah, padahal harta tidak mewakili arti keberkahan jika tidak menyebabkan taat kepada Allah. 


Monday, August 21, 2017

MERDEKA ITU FITRAH MANUSIA

Jika Anda bertanya pada orang, tentu saja bukan orang-orang yang tinggal di rumah sakit jiwa, apakah Anda suka dijajah oleh orang atau bangsa lain? Apakah aset-aset kekayaan Anda boleh di rampok asing? Jawabanya pasti tidak. Anda juga boleh bertanya yang senada dengan itu. Apakah Anda rela jika hidup Anda tergantung pada orang atau bangsa lain? Apakah jika Anda punya ide, punya keinginan dan cita-cita harus minta persetujuan bangsa lain? Jawabannya pasti tidak. Nah, dengan demikian, kemerdekaan itu merupakan fitrah manusia.



Pada dasarnya manusia itu suka damai, tidak ingin menumpahkan darah, tidak ingin menipu dan ditipu, tidak ingin memeras dan diperas. Tidak ingin menjadi maling dan koruptor. Inilah sifat asli manusia sebelum terkontaminasi dengan racun-racun kehidupan.

Tetapi kenapa manusia atau bangsa itu keluar dari fitrahnya yang menyukaai kedamaian? Ada belenggu-belenggu yang mengikat hati manusia sehingga mereka keluar dari fitrahnya. Salah satu belenggu itu adalah kepentingan dan membiarkan hawa nafsu manusia menjadi tuhan di dalam dirinya sehingga mereka berpandangan dan bersikap hidup menuruti tuhan palsu tersebut. Akibatnya mereka berlakukarya tanpa menghiraukan halal dan haram, yang penting apa yang mereka inginkan tercapai, meskipun untuk itu mereka harus menari-nari di atas penderitaan orang lain. Termasuk menjajah bangsa lain atau menjajah saudaranya sendiri.


Menurut fitrahnya manusia itu adalah makhluk ber-Tuhan (baca Allah Pencipta Semesta Alam ini). Manusia sejak awal diciptakan Allah dalam keadaan Tauhid, beragama Islam dan ber-pembawaan baik dan benar.  Allah menciptakan dalam diri manusia fitrah yang selalu cenderung kepada ajaran tauhid dan meyakininya. Hal itu karena ajaran tauhid itu sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh akal dan yang membimbing kepadanya pemikirannya yang sehat. Makna fitrah seperti tersebut di atas sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:


Artinya: “Tiap-tiap anak dilahirkan diatas fitrah maka ibu dan ayahnya lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani, dan majusi” (HR, Bukhari).

Menurut pandangan Islam setiap anak yang dilahirkan telah memiliki fitrah. Fitrah tersebut dapat berupa fitrah Ilahiyah yang berwujud pengakuan akan keesaan dan kebesaran Allah, beragama Islam, berpembawaan baik dan benar, dan fitrah Jasadiyah yang berupa potensi-potensi/ kemampuan dasar yang lebih bersifat fisik seperti alat peraba, penciuman, pendengaran, penglihatan, akal, hati, bakat dan ketrampilan yang semuanya telah dibawanya sejak lahir. Tetapi karena manusia itu  terpengaruh oleh adat istiadat dan pergaulannya, maka ia menjadi terjauh dari agama Islam. Pendeknya agama Islam itu bersesuaian dengan  pikiran yang waras dan akal yang sempurna. Di samping alasan tersebut, ada lagi alasan lain mengenai fitrah berarti agama, yaitu karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama (beribadah). Hal ini di kuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Dhāriyyat(51):56.

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".(Dhāriyyat /51: 56).

Al-Tabari dengan redaksi lain berpendapat bahwa fitrah itu bermakna murni atau ikhlas. Murni Artinya: suci yaitu sesuatu yang belum tercampur dan ternoda oleh yang lain.Muhaimin dkk juga menjelaskan makna fitrah sebagai suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah, cenderung kepada kebenaran (hanif).

Hamka dalam tafsir al-Azhar menafsirkan fitrah sebagai rasa asli murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, yang maha Kuasa, maha Perkasa, maha Raya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah dan elok. Sejalan dengan hadits tentang fitrah, Hamka mengakui adanya campur tangan pihak lain akan membawa pengaruh kepada fitrah yang telah tertanam dalam diri manusia. Campur tangan tersebut tidak harus datang dari orang tua sendiri, tetapi pihak lain yang bersentuhan dengan orang tersebut akan membawa pengaruh kepadanya. Jika pengaruh itu tidak baik maka akan menggiring manusia keluar dari fitrah-nya. Jika manusia telah menentang adanya Allah berarti ia telah melawan fitrah-nya sendiri.

Golongan rasionalis menafsirkan tentang kecenderungan manusia sebagai berikut ;

Apabila manusia berbuat kesalahan-kesalahan tertentu, hal itu hanyalah karena mereka terdorong oleh keadaan-keadaan tata tertib sosial yang tidak sempurna, karena tiadanya kultur (yang mendukung). Cukuplah kiranya, dengan menghilangkan kebodohan dan  kefanatikan, dengan melempangkan ketidaksempurnaan organisasi sosial, maka orang akan kembali berubah menjadi makhluk yang baik sebagaimana fitrahnya. Keburukan bukanlah berada di dalam, tetapi diluar manusia. Begitulah rumusan yang lain dari ide yang sama. Gantilah keadaan sekitar sosial yang lain (menggantikan yang jelek dengan yang baik), maka kemiskinan, kejahatan, peperangan, ketidakadilan dan kebodohan, semuanya akan sirna (Razak, 1986).

Manusia adalah makhluk yang dipimpin oleh akal, yang menurut kodratnya suka berbuat baik, suka damai, jauh dari permusuhan, penuh dengan kesukaan mementingkan kepentingan orang lain, selalu berpikir dan bertindak sesuai dengan logika inteleknya. Merdeka!








Saturday, August 12, 2017

Anti Sara atau Anti Agama?



Sebuah diskusi cukup seru di salah satu Wassup group yang saya ikuti seputar penyebutan agama dan SARA. Sebagian anggotanya protes dan meminta agar agama tidak perlu disebut-sebut di group tersebut. Alasannya isu SARA adalah isu sensitif dan rentan menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Mereka khawatir kalau penyebutan agama di group itu bisa menyulut isu SARA. Tapi haruskah demikian?
Saya melihat ada kesalahpahaman dalam memahami makna SARA itu sendiri. Seolah-olah penyebutan agama di kelompok yang ragam sudah dikategorikan SARA. Di sini saya menilai ada "over sensitivity" (sensifitas berlebihan) yang menyebabkan terjadinya "over reaction" (reaksi belebihan) terhadap isu SARA.

SARA tidak dimaksudkan sekedar menyebutkan atau melibatkan isu agama, ras dan suku dalam sebuah diskusi atau pembicaraan. Apakah SARA ketika saya membahas coto Mangkasara sebagai makanan khas Bugis Makasar? Tentu bukan. Justru sangat positif untuk mempromosikan makanan-makanan khas Nusantara yang kebetulan saja berasal dari daerah saya Makasar.

SARA hanya terjadi ketika isu agama, ras atau suku itu dijadikan alat untuk menyerang, menjelek-jelekan, menghina, merendahkan, dan yang semakna. Sebaliknya ketika agama, ras dan suku disebutkan tanpa tujuan menjelekkan atau menyerang orang lain, maka penyebutan atau pembicaraan itu tidak beralasan untuk dituduh sebagai SARA.

Menyampaikan agama secara positif, tanpa bermaksud memburukkan agama dan pemeluk agama lain justru dalam pandangan saya positif. Kita hidup dalam dunia yang teracuni oleh materialisme dan sekularisme. Oleh karenanya menampilkan agama (Tuhan dan moralitas) adalah sesuatu yang positif. Dan dalam dunia yang didominasi oleh kekisruhan dan kekerasan, bukankah positif menyampaikan nilai-nilai agama masing-masing sebagai penyeimbang?

Alangkah indahnya ketika Islam ditampilkan dengan konsep perdamaian dan kasih sayang (rahmah). Agama Kristen dengan konsep cinta kasih (love). Agama Hindu dengan konsep tanpa kekerasan (non violence). Budha dengan konsep menghormati lingkungan (environment). Demikian seterusnya, tanpa memburukkan atau menyerang agama dan pemeluk agama lain.

Anti SARA atau anti agama?

Sensitifitas SARA ini justru menumbuhkan kecurigaan di benak saya. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, kita anti penyebutan agama jika yang disebutkan itu kebetulan saja bukan agama kita. Tapi jika yang disebutkan atau didiskusikan itu adalah agama yang kita yakini dan puji, maka itu bukan SARA.

Sikap ketidakjujuran seperti ini bukan baru. Seringkali konsep-konsep hubungan antar manusia dipuji atau sebaliknya diburukkan berdasarkan kepentingan golongan sempit. Toleransi kita puji di saat masih berpihak ke kelompok kita sendiri. Tapi di saat toleransi berpihak ke orang lain, toleransi yang kita tampilkan sebegai intoleransi.

Kedua, yang paling saya khawatirkan dalam hal sensifitas SARA ini justru memang dibangun di atas dasar tendensi "anti agama". Kecenderungan yang kuat oleh sebagian dalam mengusung sekularisme, sesungguhnya menjadikan sebagian sadar atau tidak sensitif dengan pembahasan agama di ruang publik.

Dalam hal ini bukan karena penyebutan agama tertentu menggangu pemeluk agama lain yang menjadi masalah. Tapi masalahnya memang tendensi "anti agama" itu sendiri. Sehingga pembahasan agama itu dituduh sebagai SARA. Dan sikap mereka dibalik dari anti agama menjadi seolah memperjuangkan nilai-nilai positif (toleransi).

Dalam dunia moderan, dengan kemajuan sains dan teknologi khususnya di bidang informasi, agama memang semakin termarjinalkan dalam kehidupan manusia, terutama di ranah publik. bahkan terbangun persepsi kuat jika agama menjadi sumber berbagai masalah, termasuk kebodohan, keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, dan berbagai penyakit dunia lainnya.

Minimnya kepercayaan (trust) kepada agama sebagai "sumber kebajikan (al-birr) dan kesalehan (righteousness) ini semakin menguat, khususnya di kalangan anak-anak muda dan lebih khusus lagi di kalangan dunia barat yang identik dengan kemajuan. Sehingga tidak mengherankan jika agama terbesar ketiga dunia kita saat ini adalah apa yang disebut: laa diniyah (agama tanpa agama).

Dalam sebuah penelitian oleh Pew baru-baru ini ditemukan bahwa agama terbesar pertama di dunia saat ini adalah Islam dengan jumlah sekitar 2.6 milyar manusia. Disusul Katholik dengan jumlah sekitar 1.2 milyar, lalu Protestan sekitar 900 juta manusia. Dan agama terbesar ketiga adalah agama "tanpa agama" tadi.

Penampakan agama secara negatif dan brutal, khususnya agama Islam, akhir-akhir ini dan kampanye konsep-konsep yang secara terang-terangan mendukung konsep-konsep anti agama (moralitas) jelas dicurigai sebagai kampanye terbuka anti agama.

Dan di sini pula saya wajar saja curiga jika sensitifitas SARA itu adalah bagian dari propaganda ini.

Jangan salah paham. Saya anti SARA. Saya menolak pemburuk-burukan agama dan pemeluk agama siapa saja. Tetapi saya mendukung promosi nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia, termasuk di ranah publik.

Dan jangan berpura-pura tidak tahu. Negara sesekuler Amerika saja tidak akan bisa menghindari diskusi-diskusi publik mengenai agama. Bahkan salah satu topik terhangat dalam perdebatan kandidat politik, termasuk presiden, adalah isu agama (baca Islam).

Maka, benarkah obyeksi sebagian orang untuk membicarakan agama karena masalah SARA? Atau memang karena kebetulan pembahasan itu tidak memihak pada dirinya? Atau mungkin saja karena memang itu adalah bukti nyata bahwa agama saat ini memang sudah menjadi momok yang menakutkan? Wallahu a'lam!

Imam Shamsi Ali
New York, 27 Juli 2017

Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation

Tuesday, July 4, 2017

MENGENALI HAWA NAFSU KITA

Hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allâh SWT . Oleh karena itu hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa taat terhadap syari’at Allâh. Adapun secara istilah syari’at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari’at.
Hawa nafsu dirangkai dari dua kata yakni hawa dan nafsu. Antara hawa dan nafsu adalah dua kata yang sama sekali berbeda. Kata Hawa adalah keinginan, kehendak atau hasrat. Kata hawa ini lebih identik dengan istilah syahwat. Sedangkan nafsu secara sederhana artinya adalah jiwa atau diri manusia.

Syahwat artinya segala sesuatu yang diingini, yang digemari, yang disukai, yang menarik hati dan yang mendorong hasrat seksual dan keinginan-keinginan yang lain. Sebagaimana Firman Allah Ta'ala: 

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada "syahwat" (apa-apa yang diingini), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Q.S. Ali Imran: 14).

Manusia dijadikan fitrahnya cinta kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita (sex), anak-anak (biologis maupun non-biiologis), emas dan perak yang banyak, kuda bagus yang terlatih (tunggangan/kendaraan), binatang ternak seperti unta, sapi dan domba (peternakan). Kecintaan itu juga tercermin pada sawah ladang yang luas (pertanian). Akan tetapi semua itu adalah kesenangan hidup di dunia yang fana. Tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kemurahan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya ketika kembali kepada-Nya di akhirat nanti.
Sesuai dengan pengertiannya "hawa" atau "syahwat" inilah yang banyak menyebabkan manusia terjatuh ke derajat yang rendah.
Sedangkan nafsu menurut bahasa  pengertiannya antara lainnya adalah: an-Nafs jamaknya anfusun- wa nufûsun (artinya jiwa, diri atau ruh),  an-Nafsiyyu (artinya jiwa terdalam, batin, atau rohani), dan al-'Izz (artinya kemuliaan). Berdasarkan pengertian ini nafsu berarti jiwa yang merupakan bagian dari ruh manusia. Ia pada mulanya bersifat mulia dan bersih.
Kamus Besar Bahasa Indonesia : Nafsu adalah 1) keinginan (kecenderungan, dorongan)  hati yang kuat 2) dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik
KBBI : Hawa n keinginan; nafsu
Perhatikan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyamakan antara hawa dan nafsu. Padahal menurut bahasa aslinya kedua kata tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Lebih tepat pengertiannya jika diidentikan dengan syahwat seperti firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 14 tersebut di atas. Jadi pada dasarnya nafsu dengan hawa sama sekali mempunyai arti yang sangat berbeda. Sebenarnya menjadi kurang tepat jika kita sering menyebut nafsu identik dengan hawa dan syahwat. Namun karena telah terlanjur dipakai dan malah telah dibakukan dalam bahasa Indonesia, maka istilah nafsu ini dalam benak orang Indonesia sama persis dengan syawat.
Hawa Nafsu (syahwat) ini jika tidak dikendalikan akan merusak dan menimbulkan bencana seperti sabda Rasulullah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingatkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan membawa kehancuran. Beliau bersabda :
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan.
Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan  seseorang yang membanggakan diri sendiri.

Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak, sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha.
[Hadits ini diriwayatkan dari Sahabat Anas, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Aufa, dan Ibnu Umar g . Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh syaikh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahihah, no. 1802 karena banyak jalur periwayatannya]

Hawa Nafsu (syahwat) dilambangkan api. Kita tidak bisa hidup tanpa api. Api itu baik bagi kita sepanjang pengendalian kita. Hidup itu ada dua (dalam kontek syahwat) mengendalikan dan melampiaskan. Dalam menjalankan ibadah puasa sering disebut perang melawan hawa nafsu, namun peperangan ini bukan untuk membunuh hawa nafsu tetapi mengendalikannya. Manusia membutuhkan hawa nafsu dalam hidupnya. Nafsu itu merupakan fitrah manusia dan bermanfaat selama dalam kendali kita. Bukan sebaliknya, dikendalikan dan diperbudak oleh hawa nafsu.
Ketika kita berpuasa kita dididik untuk mengendalikannya. As-syiam artinya mengendalikan diri. Makna puasa adalah Al-Imsak yang artinya menahan, mengekang, mendendalikan. Dan orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang mampu mengendalikan, mereka takut kepada Allah, dan mau mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah.
Pengendalian hawa nafsu dibutuhkan manusia guna memelihara eksistensi manusia itu sendiri. Sebab, salah satu kelemahan manusia paling mendasar adalah ketidakmampuannya mengendalikan diri. Oleh karena itu mengendalikan diri itu sebenarnya adalah tugas kita. Bukan hanya pada bulan ramadhan, tetapi setiap waktu seharusnya kita berimsak. Dengan kata lain, meskipun ramadhan telah usai kita harus menemukan puasa kita diberbagai dimensi kehidupan. Hidup itu adalah pengendalian, tidak ngawur. Hidup itu adalah ngegas dan ngerem agar kita selamat diperjalanan. Nah, pada akhir ramadhan kita sebaiknya melakukan evaluasi diri, apakah selama ini kita banyak ngegas atau ngerem? Setelah itu seusai ramadhan kita kembalikan lagi pada keseimbangannya.
Marilah kita saling mendoakan agar seusai ramadhan kita menjadi orang yang berimsak, orang yang mampu mengendalikan diri, orang yang bertakwa seperti tujuan utama disyariatkannya ibadah shaum.
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ جَعَلَنَا اللهُ وَ اِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَ الْفَائِزِيْنَ كُلُّ عَامٍ وَّاَنْتُمْ بِخَيْرِ
MUDAH-MUDAHAN ALLAH MENERIMA IBADAH KITA SEMUA. MUDAH-MUDAHAN ALLAH MENJADIKAN KITA ORANG YANG KEMBALI DAN MENANG
Wallahu a’lam bi Showab!

Diambil dari berbagai sumber

Wednesday, June 28, 2017

Menimbang Ormas-ormas Anti NKRI

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Sebagai anak bangsa yang telah menghabiskan dua pertiga umurnya di luar negeri, tetap konsisten cinta bangsa dan tanah air. Bagaimana pun juga ikatan batin dan emosi kebangsaan itu tidak pernah berkurang. Saya yakin, ini pula sentimen ribuan bahkan jutaan anak bangsa yang  hidup di berbagai belahan dunia ini.

Ada rasa cinta dan kedekatan yang tidak bisa diintervensi apapun, bahkan oleh kewarga negaraan itu sendiri. Dan ini pula yang menjadikan anak-anak bangsa di berbagai belahan dunia itu tetap mengikuti dari dekat, dan membangun perhatian penuh dengan Republik ini.

Suatu hari saya hadir dalam acara perkumpulan lansia (lanjut usia) di kota New York. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang umumnya berumur di atas 70 tahun, yang juga rata-rata telah menjadi warga negara Amerika. Mereka telah berpuluh-puluh tahun hidup di negara Amerika, beranak dan bercucu warga negara Amerika.

Yang menarik adalah saya mendegarkan percakapan hangat, dan terasa segar, justeru bukan mengenai Amerika. Tapi mengenai perkembangan mutakhir di dalam negeri Indonesia. Secara iseng saya bertanya ke beberapa orang di antara mereka: “kalau seandainya Tuhan memberikan umur panjang dan kemudahan, apa yang bapak/ibu ingin lakukan?”.

Saya sungguh terkejut dengan respon mereka. “Kalau ada umur panjang, saya hanya ingin memberikan kontribusi apapun yang saya bisa kepada bangsa saya, Indonesia”.

Ikatan emosi sekaligus pengalaman lansia ini menjadikan saya yakin bahwa nasionalisme bangsa Indonesia itu begitu kuat. Nasionalisme bangsa ini tidak semudah itu digeserkan oleh apapun, termasuk idiologi-idiologi apapun. Terkecuali tentunya yang telah membuktikan diri sebagai pengkhianat bangsa, seperti komunisme. Selebihnya diperlukan kejelian, kehati-hatian, dan penelitian yang dalam sebelum sampai ke sebuah kesimpulan.

 Pancasila, UUD dan NKRI
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah merupakan konsensus nasional untuk menjadikan Pancasila dan UUD sebagai fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua manusia Indonesia telah menerima ini sebagai “warisan founding fathers” dan sekaligus nafas perekat kebangsaan.

Dan karenanya memang dalam bingkai negara kesatuan, menolaknya adalah penolakan kepada bangsa dan negara itu sendiri. Dengan kata lain, menolak Pancasila dan UUD 45 adalah “treason” (pengkhianatan) kepada negara ini. Siapapun dan apapun latar belakangnya, baik secara etnis maupun agama harus menerima kedua pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana mengakomodir variasi penafsiran Pancasila itu? Dan lebih khusus lagi dalam kerangka pemahaman agama-agama? Tidak saja dalam hubungan antar agama. Tapi juga berbagai penafsiran yang ada dalam satu agama (intra agama).

Agama adalah keyakinan dalam hati sekaligus petunjuk hidup. Dalam realisasinya agama bukanlah “bolduzer” yang menggusur segala hal dalam hidup manusia. Tapi datang menguatkan yang sudah baik dan memperbaiki yang tidak baik. Itulah sebabnya agama di satu sisi tegas. Tapi di sisi lain sangat fleksible mengakomodir berbagai paham dan praktek lokal dalam kehidupan manusia. Dan itu pula yang menjadikan warna agama pada tataran prakteknya berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Sehingga wajar jika keragaman internal umat ini tidak kalah dari keragaman eksternalnya.

Memahami Pancasila dari sudut pandang keyakinan dan pemahaman agama ini tentu juga tidak lepas dari kemungkinan keragaman itu. Ambillah misalnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah pasti pemahaman makna dan defenisinya akan berbeda antara pemahaman seorang Muslim dan Hindu. Lalu dari kedua pemahaman yang berbeda karena ikatan agama masing-masing itu, mana yang dianggap benar dan loyal dengan Pancasila dan mana yang tidak?

Saya melihat gegabah dalam menilai seseorang atau sekolompok orang sebagai anti Pancasila, UUD dan NKRI justeru bisa berdampak sangat negatif terhadap loyalitas dan nasionalisme kepada bangsa dan negara itu sendiri. Penafsiran atas pasal-pasal Pancasila dan UUD seharusnya tidak dijadikan pijakan kesimpulan jika orang atau sekelompok orang telah anti Pancasila, UUD dan NKRI. Tentu dengan catatan masih menerimanya sebagai pijakan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Mungkin sebagai ilustrasi saja. Dalam agama Islam adalah sebuah  kesalahan fatal untuk mengkafirkan seseorang yang masih percaya dengan agama Islam, percaya dengan Allah dan rasulNya, percaya dengan kitab suci Al-Qur’an, dan seterusnya, hanya karena memiliki penafsiran yang mungkin dianggap nyeleneh, bahkan salah. Selama itu penafsiran dan bukan pengingkaran, dia berhak untuk tetap berada dalam rumah Islam itu (Muslim). Mengeluarkannya dari rumah Islam hanya karena yang tidak sejalan dengan kita, bahkan salah sekalipun, tidak akan dilakukan kecuali oleh golongan “takfiri” yang super radikal itu.

Saya khawatir justeru menghakimi  orang atau kelompok orang tertentu sebagai anti NKRI hanya karena penafsirannya yang tidak disetujui merupakan sikap ekstrim yang sama. Artinya kekhawatiran kepada ekstremisme justeru juga dilakukan dengan sikap dan prilaku ekstrim yang sama.

Barangkali cara terbaik untuk mengukur loyalitas seseorang atau sekelompok orang itu dilihat dari gerak gerik dan sikapnya selama ini. Apakah sikapnya itu menguntungkan atau justeru merugikan, bahkan mengarah kepada merusak dan merobohkan bangunan negara dan kebangsaan?

Siapakah selama ini yang merongrong kehidukan bernegara dan berbangsa melalui aktifitas ekonomi dan keuangan? Siapakah selama ini yang bermuka dua, di satu sisi berpura-pura cinta Indonesia dengan nasionalisme tapi di mana-mana bangsa dan negara ini diburuk-burukkan? Bahkan tidak malu bekerjasama dengan pihak luar, baik pemerintahan negara lain maupun organisasi-organisasi di negara lain untuk mencabik-cabik keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia?

Hubungan emosional dan solidaritas keagamaan yang bersifat internasional, selama memang tidak mengarah kepada pemberontakan dan pengrusakan NKRI harusnya wajar-wajar saja. Saudara-saudara sebangsa kita yang kebetulan beragama Katolik jelas punya loyalitas tinggi dan solidaritas kuat dengan Vatican. Apakah itu berbahaya bagi NKRI? Dan apakah hal itu perlu dipertentangkan? Baru-baru ini ada seorang pengusaha besar keturunan yang mengatakan bahwa bagi dia Indonesia itu ibarat ayah tiri. Ayah kandungnya adalah negara China itu sendiri. Apakah ini bisa dikategorikan pengkhianatan dan pelecehan negara?

Demikian pula dengan organisasi  HTI yang saya anggap sekedar gerakan moral yang tidak mengarah kepada pengrusakan NKRI. Tapi gerakan yang diikat oleh ikatan ideologi dan solidaritas Muslim internasional. Relasi mereka dengan gerakan HTI (Hizbut Tahrir Internasional) saya menganggap tidak lebih dari sebuah koneksi moral dan solidaritas. Toh dalam Islam, selain adanya perdebatan panjang tentang makna dan konsep khilafah, juga dengan realita dunia sekarang, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersifat global (khilafah) itu hampir mustahil.

Oleh karenanya pembubaran HTI bisa berakibat sangat negatif. Apalagi hal ini dilakukan di saat-saat meningginya kecurigaan di antara elemen-elemen bangsa. Maka jika HTI dibubarkan karena dianggap anti NKRI, lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi yang jelas-jelas bekerjasama dengan pihak luar untuk merongrong keutuhan NKRI?

Dan bagaimana pula mereka yang seringkali menampakkan diri sebagai benalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Mereka yang siap angkat kaki dan membawa kekayaan negara yang telah mereka kuras? Tidakkah mereka ini adalah kelompok-kelompok yang setiap saat merusak, melobangi perahu kebangsaan itu?

Oleh karenanya ada dua hal penting yang perlu diingat. Satu, diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam mengambil kesimpulan tentang siapa yang anti Pancasila, UUD dan NKRI. Dua, diperlukan keadilan tanpa memandang siapa dan apa dalam menegakkan hukum dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sehingga jika satu kelompok dinilai anti NKRI karena pemikiran dan sikap, maka semua kelompok yang memiliki pemikiran dan sikap yang sama diperlakukan sama di depan hukum.

Ada baiknya pemerintah melakukan pendekatan dialogis, mencari tahu arah pemikiran semua anak bangsa ini, termasuk HTI. Khawatirnya sebuah keputusan institusional justeru ditunggangi oleh kepentingan lain, yang memang bertujuan untuk melemahkan bahkan mencabik kesatuan bangsa ini. Sehingga pada akhirnya akan muncul kekuatan dominan yang punya kepentingan sempit, di luar kepentingan nasional.

Tentunya perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa sebagai bagian dari nasionalisme dan kecintaan kepada Indonesia kita mendukung segala upaya pemerintah untuk menjaga keutuhannya. Termasuk menindak tegas pihak-pihak yang memang ingin mencabik keutuhan NKRI ini. Namun sangat diperlukan kejelian dan keadilan dalam meengambil tindakan. Jika tidak, maka kebijakan pemerintah yang gegabah dan pilih kasih justeru bisa memicu reaksi yang akan memporak porandakan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Semoga Tuhan menjaga!

New York, 8 Mei 2017
____________________________________
* Presiden Nusantara Foundation

Suara Muhammadiyah


Tuesday, June 27, 2017

RAMADHAN DAN CITA-CITA LUHUR PENDIRI BANGSA

Oleh : M Afnan Hadikusumo*
Politik pada era global telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Paradigma politik semacam itu dalam fakta historis berkecambah dari dunia Barat semenjak zaman Yunani kuno dan berkembang sampai dewasa ini.Secara ontologis pemikiran politik Barat disandarkan dan didominasi oleh pandangan monisme materialisme spesifik dari zaman modern abad ke-18 M. Falsafah hidup yang berdasarkan pandangan tersebut telah melahirkan pola kehidupan atau peradaban kapitalisme, individualisme dan kemudian bermuara pada sistem politik positivisme. Sistem politik ini memandang spiritualitas dan moralitas sebagai sesuatu yang tidak ada korelasinya dengan ranah kehidupan dunia termasuk politik, maka bagi politik positivism manusia ditempatkan sebagai makhluk material tanpa spiritual, berjasmani tanpa rohani.

Hal di atas itulah yang sekarang ini sedang dirasakan oleh bangsa Indonesia. sepertinya bangsa yang sebenarnya besar ini belum siap untuk menjadi bangsa dan negara maju. Bangsa yang maju adalah apabila peran pemerintah tidak dominan. Atau bahkan rakyat tidak terlalu terpengaruh ada atau tidaknya sebuah pemerintahan. Dengan meminjam istilah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Allah telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luar biasa menakjubkan. Siapa pun pemerintahnya, bagaimana cara memerintahnya, kenyataannya rakyat tetap mampu hidup cari makan sendiri. Akan tetapi, kenyataannya, di bumi Nusantara ini, peran negara sangat dominan. Politik Machiavelli sedang berlangsung baik secara sadar ataupun tanpa kita sadari. Hal ini bertentangan dengan cita-cita para pendiri negeri ini yang secara sadar mendesain agar Negara ini menjadi Negara yang baldatun thayibatun warabun ghafur.
Semangat Macviavelian dan Hobbes tanpa terasa hidup dan berkembang di tengah sebuah bangsa yang mengaku berketuhanan yang maha esa. Sederet permasalahan rasanya tidak akan pernah berhenti mengantre untuk diselesaikan. Mulai hilangnya semangat kebangsaan, hukum yang sudah kehilangan keadilannya, moralitas yang dipertanyakan hingga makin lemahnya daya saing bangsa Indonesia di mata dunia. Budaya feodal yang menganggap pemimpin sebagai wakil Tuhan yang tidak pernah salah dan adanya sikap pejah gesang ndherek panjenengan serta sikap yang pasrah dan nrimo yang fatalis adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama.

Belum lagi keadaan dengan orientasi pada materi cenderung berlebihan. Bisa jadi Indonesia menjadi bangsa paling materialistis di dunia. Dengan demikian, banyak yang menempuh berbagai cara untuk mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi. Akhirnya, menggunakan jalan pintas dan korupsi dipandang sebagai hal yang lumrah dan biasa. Bahkan seorang koruptor pun sudah tidak merasa hina dan malu. Lembaga publik pun dibelokkan untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Itulah yang menjelaskan kenapa lembaga publik sering tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Yang mengkhawatirkan adalah politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan publik (rakyat). Namun, masih sekadar dijadikan sebagai alat berebut kekuasaan. Politik sebagai kendaraan untuk memperebutkan kekuasaan ini sudah membudaya di bangsa ini. Biasa apabila dalam pergantian pengurus sebuah partai atau organisasi selalu sibuk dengan keributannya sendiri. Ini terjadi karena adanya orientasi kekuasaan yang diperebutkan. Bahkan tidak segan menggunakan cara-cara yang mengingkari hati nurani. Menghabisi lawan baik secara fisik maupun menghabisi karakternya (character assassination). Fatsun dan kesantunan berpolitik telah mulai bergeser.
Banyak yang bertanya bisakah NKRI bangkit dari keterpurukan? Jawabannya adalah bisa. Jika saja para pelaku politik sadar diri untuk beretika politik yang bersih, cerdas dan santun, menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan nasionalis sekaligus religius.
Pertama-tama patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak diperjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan demikian, nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa ini dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan. Di sisi lain, politik yang bersih juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antar partai sebagai suatu kewajaran demokrasi.
Dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang kritis, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan. Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelaslah demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini. Terbuka peluang, melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan. Hal itu dapat dimulai pada saat ini di bulan Ramadhan dimana ummat Islam diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana puasanya ummat terdahulu agar menjadi insan yang bertaqwa, Sehingga dengan meningkatnya derajad ketaqwaan ummat islam yang mayoritas ini, dapat mewujudkan cita-cita para founding father agar negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayibatun warabun ghafur, walaupun entah kapan…
*Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI
Suara Muhammadiyah, Saturday 24-06-2017

Saturday, June 24, 2017

Puasa dan Idul Fitri Meneguhkan Spiritualitas Perilaku Utama




Alhamdulillah puji dan syukur ke haribaan Allah SWT atas segala  limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita kaum muslimin di seluruh persada negeri dapat menunaikan shalat Idul Fitri mengikuti Sunnah Nabi. Kita kumandangkan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai wujud syukur atas hidayah Allah sebagaimana firman-Nya:

“…Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS AlBaqarah: 185).

Seraya dengan itu, mari kita bershalawat kepada Nabi akhir zaman, Muhammad Rasul dan figur teladan. Kita ikuti risalah dakwah dan jejak perjuangannya untuk membangun peradaban utama  sebagai rahmat bagi semesta raya. Kita ikuti Sunnahnya untuk menjadi umatnya yang terbaik di bumi tercinta ini.

Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah

Hari ini kita kaum muslimun menunaikan ibadah shalat Idul Fitri mengikuti sunnah Nabi. Idul fitri bermakna ”Hari Raya Berbuka Puasa”. Setelah berpuasa di bulan Ramadlan, maka pada 1 Syawwal semua yang dilarang itu menjadi halal kembali. Kita dibolehkan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis sebagaimana mestinya. Kendati dihalalkan, seyogyanya pemenuhan hasrat alamiah itu dilakukan secara baik dan tidak berlebihan. Sebab apalah artinya berpuasa manakala tidak melahirkan perubahan perilaku yang terkendali sebagaimana firman-Nya:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-‘Araf: 31).

Idul fitri bagi kalangan umat Islam di tanah air sering dimaknai sebagai  “Hari Raya Fithrah”, yakni menepati jiwa yang suci. Pada hari Idul Fitri umat Muslim diwajibkan menunaikan zakat fitrah, yang mengandung arti menyucikan harta kita dengan berzakat sebagai ikhtiar “memberi makan untuk orang miskin dan penyucian diri bagi mereka yang berpuasa” sebagaimana hadis Nabi. Dalam konteks puasa, kembaki ke fithrah dapat dikaitkan dengan proses sublimasi atau penyucian diri, bahwa setiap muslim kembali menjadi pribadi yang bersih jiwanya dari dosa sebagaimana sabda Nabi:

”Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharapkan pahala Allah niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu” (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dari Abu Hurairah)

Dalam Al-Quran proses penyucian diri dikaitkan dengan mengembalikan diri pada jiwa bertaqwa yang fitri atau autentik. Pemaknaan ini mengandung relasi dengan firman Allah dalam Al-Quran, yang artinya 

“Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya (QS Asy-Syams: 9-10).

Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah

Tujuan berpuasa ialah terbentuknya insan bertaqwa sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”  (Q.S. Al-Baqarah: 183).

Makna pertama dari  “la’alakum tattaqun” dikaitkan langsung dengan fungsi puasa. Bahwa setiap muslim harus  “berhati-hati, waspada, dan menahan diri” dari makan, minum, dan pemenuhan hasrat biologis agar tidak berlebihan. Secara filosofs agar setiap Muslim mampu mengendalikan diri terhadap segala pesona dunia, serta menjadikan dunia sebagai jalan lurus menuju akhirat.

Makna yang kedua ialah puasa “membentuk diri insan bertaqwa” sebagaimana pandangan banyak mufasir. Bahwa selama sebulan lamanya dan sesudahnya mereka yang berpuasa terus menggembleng diri sehingga menjadi pribadi-pribadi yang bertaqwa,  yakni sosok insan beriman dan beramal kebajikan serba utama (QS Al-Baqarah: 177).

Orang-orang bertaqwa itu memiliki  habluminallah dan habluminannas yang baik dan harmoni. Mereka berjiwa bersih, jujur dan amanah,  cerdas dan maju, serta bertindak serba positif yang membawa kemaslahatan hidup bagi diri dan lingkungannya. Mereka adalah sosok pemakmur dan bukan perusak bumi.
Orang bertaqwa memiliki perisai diri yang kokoh. Mereka tidak akan korupsi,  jahat, menyimpang, dan berbuat kemunkaran meskipun ada peluang yang leluasa.  Manakala menjadi pemimpin dan elite negeri,  mereka  jujur dan amanah, serta berkomitmen kuat untuk menyejahterakan rakyat dan membangun negara menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Jika puasa diproyeksikan untuk membentuk perangai serbautama seperti itu, maka shiyamu-Ramadlan akan menjadi  mi’raj ruhaniah; yakni proses naik tangga spiritual ke puncak tertinggi selaku insan muttaqin menuju terwujudnya keadaban utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal.

Sebaliknya jangan ada paradoks perlikaku pasca puasa dan idul fitri, yakni berbuat hal-hal yang berlawanan dengan perintah Allah dan Nabi. Jika masih berbuat keburukan, maka puasa yang dilakukan sebulan penuh itu mungkin hanyalah puasa rukun tanpa isi dan fungsi sebagaimana sabda Nabi:

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga” (HR Nasai, Ibn Majah, dan Hakim). Semoga kita dijauhkan dari puasa verbal tanpa makna seperti itu.

Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Pasca Ramadlan dan Idul Fitri umat Muslim di negeri ini dapat menyebarkan energi positif  dalam membangun keadaban diri dan lingkungan sosial yang serbautama. Bangunlah perilaku individu dan sosial yang membuahkan kebaikan, kedamaian, permaafan, ketulusan, solidaritas sosial, serta hubungan antarsesama yang saling menebarkan adil dan ihsan.

Kita sungguh prihatin dengan rusaknya hubungan sosial di tubuh bangsa ini. Sebagian orang di negeri ini karena soal-soal sepele tidak jarang berbuat kekerasan dan anarki. Melalui media sosial bahkan lahir ujaran-ujaran yang kotor, buruk, tidak patut, serta menyebarkan kebencian dan permusuhan. Kehidupan sosial pun masih diwarnai penyimpangan perilaku. Masyarakat kita saat ini tengah diancam oleh ganasnya narkoba, miras, pornografi, kekerasan, terorisme, kejahatan seksual, dan pengaruh buruk teknologi elektronik yang menjadi beban berat bangsa.

Sebagian orang dengan mudah melenyapkan nyawa sesama seolah harga manusia begitu murah. Ruang publik serbabebas sehingga atasnama demokrasi dan hak asasi manusia tidak sedikit yang berbuat sekehandaknya dan melanggar norma-nirma moral dan agama. Nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, dan sopan santun yang selama ini menjadi karakter bangsa kita mengalami peluruhan karena terkalahkan oleh hasrat rebutan kepentingan,  konflik, dan perangai menerabas.

Dunia anak-anak dan perempuan tidak bebas dari ancaman sosial. Kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan berada pada fase gawat darurat. Padahal anak adalah permata hati keluarga dan tunas generasi yang akan menentukan nasib bangsa dan peradaban ke depan. Perempuan pun merupakan pilar penting bangsa, yang semestinya memperoleh perlakuan yang adil dan bermartabat sebagaimana Allah dan Rasul memuliakannya selaku insan fi-ahsani at-taqwim.

Dunia politik tidak jarang keras, menebar benih konflik, dan berbagai transaksi curang yang mekanggar norma agama, moral, dan hukum. Politik yang semestinya dibingkai moral dan agama menjadi serbaboleh hingga menghalalkan segala cara. Perilaku ekonomi sebagian pihak pun tak kalah buruk demi mengejar kepentingan yang sebesarbesarnya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Karenanya pasca Ramadlan dan Idul Fitri perlu dikembangkan keadaban perilaku dan relasi sosial yang serbautama, yang membawa kebajikan hidup untuk diri dan lingkungannya. Keadaban yang berbasis al-akhlaq al-karimah yang mengedepankan sikap hidup yang benar, baik, dan patut serta menjauhi perilaku yang salah, buruk, dan tidak patut berdasarkan nilai-nilai luhur agama dan kearifan budaya bangsa.

Manusia beriman pasca puasa dan Idul Fitri harus berhasil menampilkan perilaku mulia. Mulia dalam berpikir, berkata, bersikap, dan bertindak naik untuk diri sendiri maupun untuk sesama dan lingkungan semesta. Jadilan insan mulia sebagaimana Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan manusia dalam martabat yang luhur sebagaiman firman-Nya dalam Al-Quran:

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS Al Isra: 70).
Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Puasa dan Idul Fitri bagi umat Islam harus menjadi washilah atau jalan meneguhkan keberagamaan yang fithri atau hanif sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar-Rum: 30).

Dengan puasa dan idul fitri setiap muslim menjadi insan yang berislam atau beragama secara bersih dan lurus, karena jiwanya sepenuhnya lurus bertauhid kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan. Karennya beragama atau berislam pun dijalaninya dengan kesejatian, yakni menembus hakikat atau esensi dan tidak berhenti pada kulit luar atau syariat belaka. Dengan kata lain terdapat kesejalanan antara syariat dan hakikat, antara rukun dan isi, serta antara hal yang semestinya dan senyatanya. Jika setiap muslim menjalankan Islam dengan konsisten seperti itu maka Islam akan terwujud sebagai pedoman hidup yang utuh dan menyeluruh dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kehidupan semesta.

Ketika insan muslim beragama dengan fithri dan hanif maka di dalam dirinya luruh seluruh jiwanya untuk menjadikan agama sebagai pedoman hidup yang utuh dan autentik. Dalam gerak hidupnya terpancar kebenaran, kebaikan, dan kepatutan hidup berbasis nilai-nilai Ilahi yang fithri. Segala kebaikan dia lakukan dengan tulus, sebaliknya keburukan dia jauhi dengan sepenuh hati, tanpa merasa berat dan basa-basi. Beragama itu ditunaika semata kaena Allah, bukan karena yang lain-lain.

Jika manusia itu bersih beragama dengan bersih  maka akan lurus hidupnya semata karena Allah, serta  tidak akan bersekutu dengan apapun. Insan yang beragama dengan bersih tidak mendewakan ego diri, kelompok, golongan, dan segala atribut ananiyah lainnya. Insan muslim tidak akan membudakkan diri para tahta, kuasa, dan segala pesona dunia yang membuat dirinya jatuh. Mereka yang beragama dengan hanif tidak akan meniru perangai Firaun, Qarun, dan Hammam yang ajimumpung dan merasa paling digdaya sehingga sewenang-wenang terhadap sesama.

Mereka yang beragama dengan hanif dan menjelma sebagai al-mukhlisun, keberagamaanya hanya dipertunjukkan kepada Allah semata. Mereka yang awam maupun berilmu, termasuk sebagai penyebar misi dakwah dan tokoh-tokoh agama,  tidak akan angkuh diri atasnama agamanya. Mereka tidak akan tazakku atau merasa diri paling suci dan Islami dalam beragama, seraya dengan mudah menujukkan telunjuknya kalau orang lain  salah dan sesat.

Ketulusan orang beragama juga akan dibuktikan dalam kelurusan konsistensi  antara kata dan laku. Ketika agama mengajarkan damai maka dirinya menjadi pendamai kehidupan. Ikhlas menegakkan damai ketika kemarahan diri dan umatnya membara. Damai dan toleran diuji tatkala keberbedaan menjadi ganjalan yang perlu bingkai dengan jiwa ukhuwah dan tasamuh di ranah muamalah-dunyawiyah. Buktikan bahwa kita sesama muslim dan dengan umat yang lain dapat hidup dengan baik, damai, dan saling menghormati secara tulus  dengan  menebar semangat beragama yang rahmatan lil-‘alamin.

Beragama yang fithri dan hanif itu harus konsisten antara kata dan perbuatan. Manakala seorang muslim bersuara lantang mengajarkan kebenaran, kebaikan, dan kepantasan maka dia praktikkan jalan hidup yang benar, baik, dan patut itu dalam seluruh gerak lakunya. Agama benar-benar dijadikan rahmat bagi semesta, termasuk bagi diri, keluarga, dan lingkungan terdekatnya. Beragama yang ikhlas akan membebaskan diri dari sangkar-besi kejumudan, keangkuhan, nifaq,  dan kenaifan. Beragama yang futhri dan hanif buah dari puasa justru dibuktikan dalam seluruh denyut nadi kehidupannya secara nyata dan konsisten sebagaimana perintah firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Ash-Shaf: 2-3).

Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah!
Di penghujung khutbah ini mari kita bermunajat kepada Allah dengan khusyuk dan penuh pengharapan. Semoga seluruh amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan sesudahnya kian bermakna dan diterima di sisi Allah, sehingga di Hari Akhir nanti menjadi jalan meraih surga jannatun na’imdalam rengkuhan Ridla dan Karunia-Nya. Amin ya Rabb al-‘Alamin!

Khotbah Idul Fitri Oleh Ketum Muhammadiyah