Jalan tengah itu fitrah manusia, benarkah? Ini perlu bukti dan data
yang valid. Perbedaan itu adalah bukti yang nyata, karena Tuhan memang
menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tuhan tidak memaksa
manusia untuk mentaatinya, oleh karena itu tidak ada paksaan dalam beragama.
Meskipun pilihan tersebut akan membawa konsekwensi masing-masing. Yang jelas,
manusia adalah makhluk alternatif yang bebas memilih dan akan mendapat
kepastian hidup sesuai dengan pilihan masing-masing.
Alam dulu sangat bersahabat dengan manusia karena dalam kondisi
berimbang, berada di jalan tengah. Barulah keadaannya menjadi kacaubalau
setelah diintervensi oleh manusia. Maka, rusaklah alam, dan sekarang kita dapat
merasakannya.
Penulis pernah membaca di majalah Tempo, entah edisi berapa penulis
sudah lupa. Yang jelas informasi itu sangat berkesan dan layak untuk
diperhatikan untuk pembelajaran bagi kita. Untuk membuktikan bagi kita bahwa
dulunya alam ini seimbang dan harmonis sebelum diintervensi oleh manusia.
Setting tempat cerita ini adalah di hutan Afrika. Keseimbangan
hutan di sana jomplang akibat orang suka berburu gajah untuk mendapatkan
gadingnya yang dapat dijual mahal. Gajah-gajah yang mati dibunuh dibiarkan
begitu saja, akibatnya singa-singa yang biasa berburu mempertaruhkan nyawa
mereka menjadi manja dan malas karena bahan makanan sudah tersedia melimpah
ruah. Yakni bangkai-bangkai gajah yang berserakan.
Akibat selanjutnya tidak terduga, karena mereka makan berlebihan
dan tidak pernah bekerja keras lagi, maka libido singa-singa itu menjadi
meningkat drastis, maka tidak ada cara lain energi libido yang berlebihan itu
mereka salurkan lewat sex. Mereka jadi suka kawin sehingga populasi singa
melesat pesat. Bayangkan jika hutan tersebut didominasi oleh singa? Apa yang
akan terjadi?
Mungkin mereka akan kehabisan makanan. Dan tidak mustahil jika
ketidakseimbangan tersebut dibiarkan berlarut-larut mereka akan berburu manusia
untuk mengganjal perut mereka.
Barangkali dari sini muncul satu teori, putuslah rantai keseimbangan,
pasti kerusakan itu akan terjadi. Atau, bagi para politikus yang haus kekuasaan
putuslah rantai keseimbangan agar menguntungkan dan dapat terus melanggengkan
kekuasaan mereka. Munculnya para oposisi itu sebenarnya jika dimanage dengan
benar dapat menjadi alat penyeimbang.
Pada tempat lain dan zaman lain pernah ada penguasa lalim yang
membunuhi oposan-opasan yang berhati singa untuk melanggengkan
kekuasaannya. Penguasa itu bernama
Fir’aun dan kisahnya diabadikan di dalam Al-Quran.
004. Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka
bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari
mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan. (Al-Qashaas).
Sesungguhnya Fir’aun telah ‘ala di muka bumi. Kata ‘ala
memiliki arti tinggi, sehingga bisa diartikan meninggi, unggul-mengungguli,
berkuasa-menguasai, bahkan congkak atau sombong. Pendek kata,Fir’aun telah
menjadi penguasa di atas bumi.
Dia telah menjadikan penduduk bumi berkelompok-kelompok atau
terbagi ke dalam kelompok-kelompok. Dia memperlemah sebagian dari mereka.
Dia memperlemah sebagian dari mereka.
Dia menyembelih (membunuh) anak-anak laki-laki dari mereka. Dia
menghidupkan (membiarkan hidup) anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya dia
termasuk golongan orang-orang yang melakukan pengrusakan ( Almufsidiin)
Jadi ada empat karakter dari al-siyasah al-fir’auniyah dalam
melanggengkan kekuasaannya.
Pertama, menjadikan penduduknya terbelah kedalam beberapa kelompok.
Dengan keterbelahan rakyat kepada kelompok-kelompok fanatik, di mana antara
satu dengan lainnya sulit bersatu, sehingga berakibat lemahnya masing-masing
kelompok tersebut di hadapan kekuasaan fir’auni. Dengan begitu kekuasan Fir’aun
menjadi kuat dan tak tertandingi karena setiap saat dia bisa memainkan pengaruh
dan juga memainkan potensi konflik yang ada di antara mereka itu. Dibutuhkan
pembelahan-pembelahan kepada kelompok tradisional dan modern, santri, abangan,
dan priyai, kota dan desa, moderat dan fundamental, liberal dan radikal,
progresif dan konservatif dalam segala hal, termasuk Islam nusantara yang
berbasis budaya dan Islam berkemajuan dengan basis intelektualisme Barat, dan
seterusnya.
Kedua, melemahkan sebagian dan memperkuat sebagian secara acak
sesuai kemauan dan kepentingannya. Inilah yang kita kenal dengan politik belah
bambu. Jika yang satu dijunjung, maka lainnya diinjak. Cara seperti itu
dimainkan secara silih berganti sesuai situasi dan kondisi. Masing-masing tidak
ditiadakan, melainkan dibiarkan hidup, tapi diadu satu sama lainnya. Yang satu
diberi fasilitas, diberi jabatan menteri dan jabatan lainnya, yang satunya
dibiarkan dan dieliminir, tapi jangan sampai mati, maka sewaktu-waktu tetap
dikasih kue sekadar untuk bertahan hidup.
Ketiga, membunuhi orang-orang yang memiliki karakter kelelakian;
kesejatian dalam berpikir, konsisten dan tegas dalam bersikap, kenegarawanan
dalam politik, kepahlawanan dalam mempertahankan kedaulatan, kebenaran dan
keadilan.
Keempat, menghidupi orang-orang yang lebay, gombal, bermental
munafik dan lemah dalam memegang prinsip. Dengan demikian, tidak akan lahir
sosok pemimpin harapan rakyat yang bisa menggantikan posisinya untuk membawa
rakyat kepada kemenangan sejati. Karena itulah diakhir ayat, digarisbawahi
bahwa Fir’aun termasuk golongan orang-orang yang membuat kerusakan
(almufsidiin).