Tuesday, August 27, 2013

Memilih Presiden Indonesia 2014



 MEMILIH PEMIMPIN INDONESIA 2014

Retorika! Kata ini menyita perhatian saya, apalagi pada saat revolusi informasi dan globalisasi saat ini, dimana dengan mudahnya kita mengakses manusia di planet bumi ini hanya dalam hitungan detik. Ketika saya mengecek di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian retorika adalah : (1) keterampilan berbahasa secara efektif (2) studi tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang mengarang (3) seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Pemimpin yang piawai berpidato dengan mulut berbusa-busa tetapi kerjanya kosong dikenal sebagai pemimpin demagog. Dalam bukunya yang berjudul musuh yang jadi idola yang ditulis oleh  Luqman Haqani, mengutip pendapat pujangga Adi Negoro (1953) tentang pemimpin demagog yang sangat lincah memainkan lidahnya. Menurut Adi Negoro, demagog adalah pemimpin rakyat yang pandai bicara dan mengambil hati public, tetapi perbuatannya tidak baik, dia berbicara banyak tetapi kerjanya kosong. Pemimpin demagog memang gemar pidato. Untaian kata-katanya sangat utopia, memikat massa, tetapi sering terjerembab oleh mercusuar kedemagogannya. Lalu, yang menjadi pertaruhan adalah bangsa dan Negara. Adapun menurut KBBI demagog adalah penggerak (pemimpin) rakyat yg pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan.

Mudah-mudahan bangsa Indonesia dijauhkan dari pemimpin semacam itu. Dan mudah-mudahan bangsa Indonesia sudah semakin cerdas sehingga tidak tertipu oleh bualan-bualan kosong mereka. Apalagi sebentar lagi bangsa kita akan melakukan hajatan besar nasional, yaitu PEMILU 2014. Kita harus sadar bahwa media selain dapat digunakan untuk kebaikan, dia juga merupakan alat pembentukan opini public yang sangat efektif.

Sebagai pedoman untuk memilih pemimpin yang berkualitas yang akan mampu melepaskan diri dari perbudakan bangsa lain dan sekaligus untuk menguji apakah mereka itu cuma ngomong doang, menarik jika kita cermati pernyataan mantan ketua MPR Prof.Dr.Amin Rais berkaitan dengan pencalonan presiden pada tahun 2014 yang dimuat di Harian Republika Minggu, 04 Agustus 2013. Terlepas suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Paling tidak pertanyataan tersebut dapat kita jadikan pedoman untuk memilih calon presiden 2014 nanti. 

Pernyataan pertama, secara tidak langsung beliau mengatakan bahwa mandat rakyat harus tetap dinomorsatukan untuk menjadi pemimpin. Hal itu tersirat ketika beliau memberi saran pada Hatta Rajasa agar Hatta Rajasa merivisi niatnya untuk maju sebagai capres jika perolehan partai di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 tidak mencapai angka dua digit. Meski hasil Rakernas PAN 2011 mengamanatkan Hatta sebagai capres, namun Amin menilai sangat sulit target itu bisa terwujud melihat realita sekarang.



Pernyataan Kedua, Sekarang tidak penting apakah Hatta harus menjadi presiden. Yang mendesak untuk dibenahi adalah, kata dia, masyarakat harus mencari capres yang memiliki visi berani merenegoisasi berbagai kontrak migas dan tambang dengan korporasi asing. Melihat bagi hasil yang didapatkan pemerintah, Amien sangat miris. Ia berharap, presiden ke depan harus berani melawan penjajahan terang-terangan yang dilakukan orang asing dengan mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Amien sangat kecewa melihat pemerintah sekarang hanya diam saja melihat secara terang-terangan kandungan bumi negeri ini dikuras asing. Karena itu, ia bersikap bakal mendukung capres siapapun yang bisa menerjemahkan pasal 33 UUD 1945 tentang kedaulatan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat.

“Kalau tak bisa menerjemahkan, jangan nyapres. Hattanomics, Prabowonomics, atau Jokowinomic. Silahkan membuat system ekonomi untuk ditawarkan ke rakyat. Bisa nggak, mereka menjamin semua untuk rakyat? Kalau bisa, siapapun itu kita pilih!” (Republika, Minggu, 04 Agustus 2013, 20:05 WIB)

Senada dan seirama dengan pernyataan Pak Amin Rais adalah pernyataan teman penulis sendiri. Dia berkata sembari bergurau. “Saya akan memilih presiden yang bisa menjadikan satu rupiah sama dengan satu dolar!”Mendengar peranyataan tersebut sontak teman-teman tertawa. Bukan tertawa melecehkan, tetapi tertawa karena mereka menganggap aneh pernyataan itu. Meskipun terdengar aneh, jika memang ada, penulis dan teman penulis mau memilih pemimpin yang mau menjadikan satu rupiah sama dengan satu dolar!
Terus terang saja, barangkali karena kebodohan penulis, sekarang ini sulit untuk mencari pegangan yang tegas dan membumi untuk memilih calon pemimpin. Apakah kita akan mempercayakan atau percaya pada survey-survei yang marak meskipun mereka menyatakan bahwa mereka independen? Coba saja lihat hasil survey yang dilakukan oleh SFI yang menempatkan ibu Ani Yudhoyono mengguli Jokowi jadi capres (Republika. Jumat, 02 Agustus 2013, 23:28 WIB).

Menurut hasil survey tersebut, ibu Ani Yudhoyono secara mengejutkan mengungguli Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo dalam tingkat pengenalan (awareness) dalam servei Lembaga Focus Survey Indonesia (FSI). Ani, Megawati, dan Jokowi masuk dalam 20 nama yang layak menjadi capres.
"Hal mengejutkan tokoh muda yang sangat dikenal oleh masyarakat adalah Jumhur Hidayat dengan tingkat awareness mencapai 87 persen, di atas Gita Wiryawan, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Din Syamsuddin, Marzuki Alie, Surya Paloh, Sri Mulyani, dan Pramono Edhie," kata Direktur FSI Nelly Rossa Juliana, di Jakarta, Jumat (2/8).

Untuk tingkat pengenalan (awareness) ke-20 nama tokoh nasional yang layak menjadi capres adalah Ani Yudhoyono (99 persen), Megawati Soekarnoputri (99,50 persen), Jokowi (97,30 persen), Basuki Tjahaja P alias Ahok (97,30 persen), Prabowo Subianto (96,20 persen), Sutiyoso (93,90 persen), Jusuf Kalla (91,40 persen), Aburizal Bakrie (90,50 persen), Sri Sultan Hamengku Buwono X (90,30 persen), Wiranto (87,40 persen), dan Moh Jumhur Hidayat (87,30 persen). Selebihnya, sederet nama seperti Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, Din Syamsuddin, Sri Mulyani, Gita Wiryawan, Marzuki Alie, Surya Paloh, dan Pramono Anung, mendapat prosentase perolehan suara di bawah Jumhur.

Nah, bagaimana pendapat Anda? Apakah Anda juga mempunyai calon yang hebat untuk dicapreskan? Tidak bermaksud mempengaruhi Anda, penulis tidak begitu mempedulikan apakah yang jadi presiden itu benar-benar ibu Ani, Megawati, Hatta Rajasa, ARB, Surya Paloh, bahkan Paijo pun kalau mau maju boleh, please! Yang penting, Apakah mereka memiliki visi dan berani merenegoisasi berbagai kontrak migas dan tambang dengan korporasi asing sehingga benar-benar adil. Apakah mereka berani melawan penjajahan terang-terangan yang dilakukan orang asing dengan mengeruk kekayaan alam Indonesia? Apakah mereka mampu menerjemahkan pasal 33 UUD 1945 tentang kedaulatan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat?
“Kalau tak bisa menerjemahkan, jangan nyapres. Paijonomics, Tukimanomics, Bejonomic, Hattanomics, Prabowonomics, atau Jokowinomic. Silahkan membuat system ekonomi untuk ditawarkan ke rakyat. Bisa nggak, mereka menjamin semua untuk rakyat? Kalau bisa, siapapun itu kita pilih!” Wallahu a’lam !
 
 

Friday, August 23, 2013

Renungan Ramadhan 6

BULAN PENINGKATAN


Secara etimologi perkataan Idul Fitri terambil dari kata ‘aada-ya’udu-‘audan yang berarti kembali, dan kata fitri yang memiliki beberapa alternative makna. Jika kita merujuk pada kamus Al Munawwir alternative makna fitri adalah : (1) sifat pembawaan (2) ciptaan (3) Agama (4) sunnah, fitri dapat pula diartikan makan, sehingga jika ditinjau dari segi bahasa dapat pula diartikan kembali makan atau berbuka setelah selama sebulan berpuasa. Namun jika dikaitkan dengan tujuan berpuasa, yaitu agar orang-orang yang berpuasa itu mencapai tingkatan takwa, tentu saja kurang tepat jika hanya diartikan kembali makan.

Jadi jika kita kaitkan dengan tujuan berpuasa, maka tidak berlebihan jika Idul Fitri berarti kembali hidup menurut hakikat penciptaannya atau kembali hidup menurut satu Din yakni satu Tata Kehidupan tertentu atau menurut satu adat kebiasaan. Atau kembali hidup menurut agama kita yang kita yakini, yakni agama islam dengan Al-Quran sebagai pedoman hidupnya. Bukankah arti takwa itu mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Menurut surat Ar-Ruum mematuhi dan mentaati Diin adalah merupakan fitrah menurut Allah :
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

Khusus kita garis bawahi disini Din sama dengan ﻓﻄﺮﺖ ﻠّﺘﻲ ﻓﻄﺮ ﻠﻨّﺎﺲ ﻋﻠﻴﻬﺎ  ialah satu Tata Kehidupan yakni Dinul Islam yang oleh Allah telah menciptakan yang demikian sesuai dengan hakikat penciptaan manusia itu sendiri.

Barangkali ada pula yang mengartikan fitri sebagai kesucian, sehingga mereka mengartikan idul fitri kembali pada kesucian. Pengertian tersebut meskipun tidak keliru tetapi sifatnya masih abstrak. Kesucian yang bagaimana? Apakah kesucian itu seperti jabang bayi yang lahir dari perut ibu dan belum memiliki dosa setitikpun? Untuk menjelaskan tentang kesucian itu biasanya diibratkan seorang bayi, kemudian dicari hubungan persamaannya. Misalnya, bayi itu tidak pernah dengki, bayi itu tidak pernah dendam, bayi itu tidak pernah sombong, dll.

Secara tegas, kesuciaan itu adalah kembalinya seorang anak manusia ke dalam diin sang pencipta, karena diturunkan agama dan kitab suci ke dunia ini adalah untuk mensucikan manusia yang hidup berlumuran dosa. Membersihkan manusia dari segala kekotoran yang menyelimuti jiwa mereka. Dengan kata lain, diturunkannya Al-Quran ini adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang, seperti firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 1, 

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. 

Dan sesungguhnya diciptakannya jin dan manusia itu adalah untuk beribadah kepada Allah.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Surat Adz Dzaariyaat ayat 56)

Bulan syawwal adalah bulan peningkatan setelah kita menjalankan puasa ramadhan. Jika kita kaitkan dengan tujuan puasa ramadhan pada bulan syawwal para pelaku puasa ramadhan seharusnya sudah mencapai tingkatan takwa atau paling tidak sudah on the track pada jalan menuju takwa yaitu menjadi manusia yang bersedia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang kembali kepada Agama Allah!

Bentuk peningkatan bukan hanya terbatas meningkatnya seseorang dalam ibadah mahdzhonya saja, tetapi juga dalam kasalehan sosialnya. Jadi bukan hanya semakin rajinnya seseorang ke masjid, semakin rajin membaca Al-Quran, semakin rajin shalat tetapi harus ada relevansinya dengan kesalehan social. Idealnya jika puasa kita benar, kondisi keluarga menjadi lebih baik, kondisi masyarakat semakin tentram, dan kondisi negarapun akan menjadi adil makmur tata titi tentrem gemah ripah loh jinawi.

Ada ungkapan yang bagus dalam Al Quran dalam menggambarkan masyarakat yang sehat lahir dan batin. Masyarakat yang baik digambarkan seperti lebah. Di dalam Al-Qur'an lebah dijadikan metafor bagi sistem kehidupan Muslim. Kalau kita cari hubungan persamaannya, maka kita akan tahu bahwa lebah itu adalah binatang yang bermanfaat bagi manusia. Lebah selalu hidup di tempat-tempat yang baik, tubuhnyapun menghasilkan madu yang bermanfaat bagi kesehatan. Sebaliknya sistem kehidupan orang kafir digambarkan seperti nyamuk. Coba Anda perhatikan bagaimana kehidupan nyamuk. Mereka hidup di tempat-tempat kotor, suaranya bising, menghisap darah, dan mereka selalu menyebarkan penyakit. Anda mungkin bertanya, bagaimana dengan nyamuk-nyamuk yang hidup di tempat-tempat bersih seperti nyamuk demam berdarah? Yah, meskipun hidup di tempat yang bersih mereka tetap bising dang menyebarkan penyakir ...! Dan pada kenyataannya banyak juga penjahat-penjahat berdasi yang menyebar penyakit kemanusiaan secara tidak kentara, bahkan efeknya lebih hebat dibandingkan dengan penjahat-penjahat kasar yang tidak intelek. Adalagi metafor yang lucu, mereka sibuk bekerja beramai-ramai tetapi justru kerusakanlah yang didapatkan. Itulah kehidupan rayap. Mereka kelihatannya sibuk bekerja tetapi justru menjadikan kayu-kayu, tonggak-tonggak menjadi keropos sehingga tidak terasa bangunan menjadi roboh! Mudah-mudahan bangsa Indonesia dijauhkan dari manusia-manusia bermental rayap yang akan merobohkan bangungan negeri ini. Mudah-mudahan rakyat Indonesia seperti tawon yang menebar kebaikan sehingga cita-cita bangsa Indonesia terwujud! Amin. Selamat Hari Raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin!


Wednesday, August 7, 2013

Renungan Ramadhan 5



Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H


تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ . جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِّنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ . كُّلَ عَامٍ وَاَنْتُمْ بِخَيْرِ


Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita orang-orang yang kembali (hidup dengan ajaran-Nya) dan mendapatkan kemenangan (mampu mengendalikan hawa nafsu kita setelah sebulan berpuasa)

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa puasa romadlon adalah bulan penggemblengan, bulan suci, dimana pada bulan itu seluruh umat islam yang merasa beriman diseru oleh Allah untuk menjalankan puasa. Dengan puasa tersebut kita diharapkan menjadi orang-orang yang bertakwa. Menjadi orang yang mentaati perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.

Boleh dikatakan shoum/puasa romadlon adalah satu upaya untuk membersihkan atau memperbaiki hubungan kita kepada Allah. Dengan latihan pengendalian hawa nafsu selama sebulan dan melaksanakan amalan-amalan ibadah lainnya, diharapkan kita mampu menjadi orang yang hidupnya selalu dikendalikan dengan ajaran Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an, seperti yang diuswahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bukan menjadi orang yang di dalam hidupnya selalu ditunggangi oleh hawa nafsu.


Betapa pentingnya pengendalian hawa nafsu sehingga tidak mengherankan jika seusai Perang Badar (perang melawan kaum musyrik Quraisy di Mekkah) Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada para sahabatnya,“Kita akan menghadapi perang yang lebih besar lagi.

”Para sahabat bertanya kepada Nabi,“Perang apa itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, ”Perang melawan nafsu!”Ini sebagai peringatan Nabi bahwa nafsu dalam diri manusia itu merupakan musuh terbesar. Memerangi bukan berarti membunuh hawa nafsu tetapi mengendalikannya agar berada pada jalur yang benar, yang diridhoi Allah. Mengendalikan hawa nafsu, yaitu menjadikannya sebagai budak kita memang tidak mudah, karena dia tidak terlihat seperti musuh dalam selimut dan selalu siap menerkam manusia yang lalai dalam hidupnya. Ini sangat berbeda dengan musuh di medan perang yang secara fisik bisa dideteksi dan dilawan dengan menggunakan senjata.

Hawa Nafsu seperti pisau bermata dua. Dia menampilkan diri sebagai dua kutub, positif dan negative. Hawa artinya keinginan dan nafsu adalah diri. Hawa nafsu artinya keinginan-keinginan diri. Inilah yang harus dikendalikan, kalau tidak akan kebablasan, ia akan menimbulkan ekses negative yang cepat atau lambat menghancurkan segalanya.


Dalam Al Quran ada contoh tokoh terkenal yang hidupnya mengumbar hawa nafsu. Saya kira setiap orang muslim pasti sudah mengenalnya. Siapa dia? Dia adalah Fir’aun (Pharaoh), kisah Fir’aun merupakan contoh konkret dari seorang raja zalim yang mabuk kekuasaan. Dia memegang kekuasaan tanpa batas, membunuh siapa saja yang menentangnya, bertindak Machiavelistis, dan dengan arogan mengklaim sebagai tuhan. Dan, karena Al-Quran itu merupakan pedoman hidup, anda dapat bercermin dari kisah tersebut untuk melihat Fir’aun-Fir’aun masa kini yang mabuk kekuasaan. Kita dapat melihat pengejawantahannya pada penguasa-penguasa otoriter, dictator dan tiran atau mereka yang bermental Fir’aunisme.


Selanjutnya, nafsu serakah juga dapat membuat manusia menjadi rakus, tamak, dan selalu haus akan harta benda. Dia tidak pernah puas dan selalu ingin memperbanyak harta benda sesuai dengan nafsu serakah yang menguasai dirinya. Dalam memperoleh harta itu, dia tak segan-segan menempuh prinsip menghalalkan segala cara. Baginya, uang dan harta menjadi tujuan hidup dan harta kekayaan itu menjadi ukuran segala-galanya.

Dia sangat mengesampingkan atau bahkan meninggalkan nilai-nilai spiritual dan rohaniah dalam hidupnya. Nafsu bersenang-senang pada manusia dapat membuat dirinya menjadi manusia hedonis-permisif. Gebyar kesenangan duniawi menjadi orientasi dan tujuan utama hidupnya. Manusia hedonis-permisif selalu ingin melampiaskan dorongan hawa nafsunya pada pemuasan seks di luar nikah dan nafsu-nafsu rendah lain.

Setelah menjalani penggemblengan selama satu bulan penuh, jika kita benar-benar ikhlas menjalaninya, seharusnya nafsu-nafsu yang mengajak kita pada jalan kebathilan itu sudah dapat kita kendalikan sehingga kualitas hidup kita meningkat dengan indikasi kita dapat menerapkan nilai-nilai ajaran puasa Ramadan di luar bulan Ramadan. Dengan kata lain, kita hendaknya “berpuasa” di luar bulan Ramadan dalam arti kita mampu mencegah diri dan menahan diri untuk tidak mengumbar nafsu berkuasa yang tanpa batas (absolut, sewenang-wenang, menyimpang dari aturan main, dan bermental Fir’aunisme); menahan diri dan mencegah diri untuk tidak mengumbar nafsu serakah, rakus, dan tamak; dan menahan diri dan mencegah diri untuk tidak mengumbar nafsu bersenangsenang (hedonis-permisif).

Kita berpuasa di luar bulan Ramadan dalam arti menahan diri dan mencegah diri untuk tidak melakukan kebohongan kepada Allah, kebohongan kepada orang lain (publik), dan kebohongan kepada diri sendiri. Dengan kata lain, di luar bulan Ramadan pun kita harus tetap jujur kepada Allah,jujur kepada orang lain, dan jujur kepada diri sendiri.

Jika kita mampu berpuasa di bulan Ramadan dan mampu pula “berpuasa” di luar bulan Ramadan, itu berarti kita berhasil melaksanakan puasa dengan nilai baik. Kita yakin ajaran dan nilai-nilai puasa di bulan Ramadan sangat berkorelasi secara positif dan signifikan dengan “puasa” di luar bulan Ramadan. Jika tidak, pasti ada sesuatu yang salah dengan puasa Ramadan kita. Kita harus introspeksi diri dan sekaligus memperbaiki diri sebelum terlambat! (*)