Jika Anda bertanya pada orang,
tentu saja bukan orang-orang yang tinggal di rumah sakit jiwa, apakah Anda suka
dijajah oleh orang atau bangsa lain? Apakah aset-aset kekayaan Anda boleh di
rampok asing? Jawabanya pasti tidak. Anda juga boleh bertanya yang senada
dengan itu. Apakah Anda rela jika hidup Anda tergantung pada orang atau bangsa
lain? Apakah jika Anda punya ide, punya keinginan dan cita-cita harus minta
persetujuan bangsa lain? Jawabannya pasti tidak. Nah, dengan demikian,
kemerdekaan itu merupakan fitrah manusia.
Pada dasarnya manusia itu suka
damai, tidak ingin menumpahkan darah, tidak ingin menipu dan ditipu, tidak
ingin memeras dan diperas. Tidak ingin menjadi maling dan koruptor. Inilah
sifat asli manusia sebelum terkontaminasi dengan racun-racun kehidupan.
Tetapi kenapa manusia atau bangsa
itu keluar dari fitrahnya yang menyukaai kedamaian? Ada belenggu-belenggu yang
mengikat hati manusia sehingga mereka keluar dari fitrahnya. Salah satu
belenggu itu adalah kepentingan dan membiarkan hawa nafsu manusia menjadi tuhan
di dalam dirinya sehingga mereka berpandangan dan bersikap hidup menuruti tuhan
palsu tersebut. Akibatnya mereka berlakukarya tanpa menghiraukan halal dan
haram, yang penting apa yang mereka inginkan tercapai, meskipun untuk itu
mereka harus menari-nari di atas penderitaan orang lain. Termasuk menjajah
bangsa lain atau menjajah saudaranya sendiri.
Menurut fitrahnya manusia itu
adalah makhluk ber-Tuhan (baca Allah Pencipta Semesta Alam ini). Manusia
sejak awal diciptakan Allah dalam keadaan Tauhid, beragama Islam dan
ber-pembawaan baik dan benar. Allah
menciptakan dalam diri manusia fitrah yang selalu cenderung kepada ajaran
tauhid dan meyakininya. Hal itu karena ajaran tauhid itu sesuai dengan apa yang
ditunjukkan oleh akal dan yang membimbing kepadanya pemikirannya yang sehat.
Makna fitrah seperti tersebut di atas sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Tiap-tiap anak dilahirkan
diatas fitrah maka ibu dan ayahnya lah yang mendidiknya menjadi orang yang
beragama yahudi, nasrani, dan majusi” (HR, Bukhari).
Menurut pandangan Islam setiap anak
yang dilahirkan telah memiliki fitrah. Fitrah tersebut dapat berupa fitrah
Ilahiyah yang berwujud pengakuan akan keesaan dan kebesaran Allah, beragama
Islam, berpembawaan baik dan benar, dan fitrah Jasadiyah yang berupa
potensi-potensi/ kemampuan dasar yang lebih bersifat fisik seperti alat peraba,
penciuman, pendengaran, penglihatan, akal, hati, bakat dan ketrampilan yang
semuanya telah dibawanya sejak lahir. Tetapi karena manusia itu
terpengaruh oleh adat istiadat dan pergaulannya, maka ia menjadi terjauh dari
agama Islam. Pendeknya agama Islam itu bersesuaian dengan pikiran yang
waras dan akal yang sempurna. Di samping alasan tersebut, ada lagi alasan lain
mengenai fitrah berarti agama, yaitu karena manusia diciptakan untuk
melaksanakan agama (beribadah). Hal ini di kuatkan oleh firman Allah dalam
surat al-Dhāriyyat(51):56.
"Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".(Dhāriyyat /51:
56).
Al-Tabari dengan redaksi lain
berpendapat bahwa fitrah itu bermakna murni atau ikhlas. Murni Artinya: suci
yaitu sesuatu yang belum tercampur dan ternoda oleh yang lain.Muhaimin dkk juga
menjelaskan makna fitrah sebagai suatu kekuatan atau kemampuan (potensi
terpendam) yang menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya untuk
komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah, cenderung kepada kebenaran
(hanif).
Hamka dalam tafsir al-Azhar
menafsirkan fitrah sebagai rasa asli murni dalam jiwa manusia yang belum
kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi
dalam alam ini, yang maha Kuasa, maha Perkasa, maha Raya, mengagumkan, penuh
kasih sayang, indah dan elok. Sejalan dengan hadits tentang fitrah, Hamka
mengakui adanya campur tangan pihak lain akan membawa pengaruh kepada fitrah
yang telah tertanam dalam diri manusia. Campur tangan tersebut tidak harus
datang dari orang tua sendiri, tetapi pihak lain yang bersentuhan dengan orang
tersebut akan membawa pengaruh kepadanya. Jika pengaruh itu tidak baik maka
akan menggiring manusia keluar dari fitrah-nya. Jika manusia telah menentang
adanya Allah berarti ia telah melawan fitrah-nya sendiri.
Golongan rasionalis menafsirkan
tentang kecenderungan manusia sebagai berikut ;
Apabila manusia berbuat
kesalahan-kesalahan tertentu, hal itu hanyalah karena mereka terdorong oleh
keadaan-keadaan tata tertib sosial yang tidak sempurna, karena tiadanya kultur
(yang mendukung). Cukuplah kiranya, dengan menghilangkan kebodohan dan kefanatikan, dengan melempangkan
ketidaksempurnaan organisasi sosial, maka orang akan kembali berubah menjadi
makhluk yang baik sebagaimana fitrahnya. Keburukan bukanlah berada di dalam,
tetapi diluar manusia. Begitulah rumusan yang lain dari ide yang sama. Gantilah
keadaan sekitar sosial yang lain (menggantikan yang jelek dengan yang baik),
maka kemiskinan, kejahatan, peperangan, ketidakadilan dan kebodohan, semuanya
akan sirna (Razak, 1986).
Manusia adalah makhluk yang dipimpin
oleh akal, yang menurut kodratnya suka berbuat baik, suka damai, jauh dari
permusuhan, penuh dengan kesukaan mementingkan kepentingan orang lain, selalu
berpikir dan bertindak sesuai dengan logika inteleknya. Merdeka!