Monday, August 21, 2017

MERDEKA ITU FITRAH MANUSIA

Jika Anda bertanya pada orang, tentu saja bukan orang-orang yang tinggal di rumah sakit jiwa, apakah Anda suka dijajah oleh orang atau bangsa lain? Apakah aset-aset kekayaan Anda boleh di rampok asing? Jawabanya pasti tidak. Anda juga boleh bertanya yang senada dengan itu. Apakah Anda rela jika hidup Anda tergantung pada orang atau bangsa lain? Apakah jika Anda punya ide, punya keinginan dan cita-cita harus minta persetujuan bangsa lain? Jawabannya pasti tidak. Nah, dengan demikian, kemerdekaan itu merupakan fitrah manusia.



Pada dasarnya manusia itu suka damai, tidak ingin menumpahkan darah, tidak ingin menipu dan ditipu, tidak ingin memeras dan diperas. Tidak ingin menjadi maling dan koruptor. Inilah sifat asli manusia sebelum terkontaminasi dengan racun-racun kehidupan.

Tetapi kenapa manusia atau bangsa itu keluar dari fitrahnya yang menyukaai kedamaian? Ada belenggu-belenggu yang mengikat hati manusia sehingga mereka keluar dari fitrahnya. Salah satu belenggu itu adalah kepentingan dan membiarkan hawa nafsu manusia menjadi tuhan di dalam dirinya sehingga mereka berpandangan dan bersikap hidup menuruti tuhan palsu tersebut. Akibatnya mereka berlakukarya tanpa menghiraukan halal dan haram, yang penting apa yang mereka inginkan tercapai, meskipun untuk itu mereka harus menari-nari di atas penderitaan orang lain. Termasuk menjajah bangsa lain atau menjajah saudaranya sendiri.


Menurut fitrahnya manusia itu adalah makhluk ber-Tuhan (baca Allah Pencipta Semesta Alam ini). Manusia sejak awal diciptakan Allah dalam keadaan Tauhid, beragama Islam dan ber-pembawaan baik dan benar.  Allah menciptakan dalam diri manusia fitrah yang selalu cenderung kepada ajaran tauhid dan meyakininya. Hal itu karena ajaran tauhid itu sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh akal dan yang membimbing kepadanya pemikirannya yang sehat. Makna fitrah seperti tersebut di atas sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:


Artinya: “Tiap-tiap anak dilahirkan diatas fitrah maka ibu dan ayahnya lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani, dan majusi” (HR, Bukhari).

Menurut pandangan Islam setiap anak yang dilahirkan telah memiliki fitrah. Fitrah tersebut dapat berupa fitrah Ilahiyah yang berwujud pengakuan akan keesaan dan kebesaran Allah, beragama Islam, berpembawaan baik dan benar, dan fitrah Jasadiyah yang berupa potensi-potensi/ kemampuan dasar yang lebih bersifat fisik seperti alat peraba, penciuman, pendengaran, penglihatan, akal, hati, bakat dan ketrampilan yang semuanya telah dibawanya sejak lahir. Tetapi karena manusia itu  terpengaruh oleh adat istiadat dan pergaulannya, maka ia menjadi terjauh dari agama Islam. Pendeknya agama Islam itu bersesuaian dengan  pikiran yang waras dan akal yang sempurna. Di samping alasan tersebut, ada lagi alasan lain mengenai fitrah berarti agama, yaitu karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama (beribadah). Hal ini di kuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Dhāriyyat(51):56.

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".(Dhāriyyat /51: 56).

Al-Tabari dengan redaksi lain berpendapat bahwa fitrah itu bermakna murni atau ikhlas. Murni Artinya: suci yaitu sesuatu yang belum tercampur dan ternoda oleh yang lain.Muhaimin dkk juga menjelaskan makna fitrah sebagai suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada Allah, cenderung kepada kebenaran (hanif).

Hamka dalam tafsir al-Azhar menafsirkan fitrah sebagai rasa asli murni dalam jiwa manusia yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu pengakuan adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, yang maha Kuasa, maha Perkasa, maha Raya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah dan elok. Sejalan dengan hadits tentang fitrah, Hamka mengakui adanya campur tangan pihak lain akan membawa pengaruh kepada fitrah yang telah tertanam dalam diri manusia. Campur tangan tersebut tidak harus datang dari orang tua sendiri, tetapi pihak lain yang bersentuhan dengan orang tersebut akan membawa pengaruh kepadanya. Jika pengaruh itu tidak baik maka akan menggiring manusia keluar dari fitrah-nya. Jika manusia telah menentang adanya Allah berarti ia telah melawan fitrah-nya sendiri.

Golongan rasionalis menafsirkan tentang kecenderungan manusia sebagai berikut ;

Apabila manusia berbuat kesalahan-kesalahan tertentu, hal itu hanyalah karena mereka terdorong oleh keadaan-keadaan tata tertib sosial yang tidak sempurna, karena tiadanya kultur (yang mendukung). Cukuplah kiranya, dengan menghilangkan kebodohan dan  kefanatikan, dengan melempangkan ketidaksempurnaan organisasi sosial, maka orang akan kembali berubah menjadi makhluk yang baik sebagaimana fitrahnya. Keburukan bukanlah berada di dalam, tetapi diluar manusia. Begitulah rumusan yang lain dari ide yang sama. Gantilah keadaan sekitar sosial yang lain (menggantikan yang jelek dengan yang baik), maka kemiskinan, kejahatan, peperangan, ketidakadilan dan kebodohan, semuanya akan sirna (Razak, 1986).

Manusia adalah makhluk yang dipimpin oleh akal, yang menurut kodratnya suka berbuat baik, suka damai, jauh dari permusuhan, penuh dengan kesukaan mementingkan kepentingan orang lain, selalu berpikir dan bertindak sesuai dengan logika inteleknya. Merdeka!








Saturday, August 12, 2017

Anti Sara atau Anti Agama?



Sebuah diskusi cukup seru di salah satu Wassup group yang saya ikuti seputar penyebutan agama dan SARA. Sebagian anggotanya protes dan meminta agar agama tidak perlu disebut-sebut di group tersebut. Alasannya isu SARA adalah isu sensitif dan rentan menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Mereka khawatir kalau penyebutan agama di group itu bisa menyulut isu SARA. Tapi haruskah demikian?
Saya melihat ada kesalahpahaman dalam memahami makna SARA itu sendiri. Seolah-olah penyebutan agama di kelompok yang ragam sudah dikategorikan SARA. Di sini saya menilai ada "over sensitivity" (sensifitas berlebihan) yang menyebabkan terjadinya "over reaction" (reaksi belebihan) terhadap isu SARA.

SARA tidak dimaksudkan sekedar menyebutkan atau melibatkan isu agama, ras dan suku dalam sebuah diskusi atau pembicaraan. Apakah SARA ketika saya membahas coto Mangkasara sebagai makanan khas Bugis Makasar? Tentu bukan. Justru sangat positif untuk mempromosikan makanan-makanan khas Nusantara yang kebetulan saja berasal dari daerah saya Makasar.

SARA hanya terjadi ketika isu agama, ras atau suku itu dijadikan alat untuk menyerang, menjelek-jelekan, menghina, merendahkan, dan yang semakna. Sebaliknya ketika agama, ras dan suku disebutkan tanpa tujuan menjelekkan atau menyerang orang lain, maka penyebutan atau pembicaraan itu tidak beralasan untuk dituduh sebagai SARA.

Menyampaikan agama secara positif, tanpa bermaksud memburukkan agama dan pemeluk agama lain justru dalam pandangan saya positif. Kita hidup dalam dunia yang teracuni oleh materialisme dan sekularisme. Oleh karenanya menampilkan agama (Tuhan dan moralitas) adalah sesuatu yang positif. Dan dalam dunia yang didominasi oleh kekisruhan dan kekerasan, bukankah positif menyampaikan nilai-nilai agama masing-masing sebagai penyeimbang?

Alangkah indahnya ketika Islam ditampilkan dengan konsep perdamaian dan kasih sayang (rahmah). Agama Kristen dengan konsep cinta kasih (love). Agama Hindu dengan konsep tanpa kekerasan (non violence). Budha dengan konsep menghormati lingkungan (environment). Demikian seterusnya, tanpa memburukkan atau menyerang agama dan pemeluk agama lain.

Anti SARA atau anti agama?

Sensitifitas SARA ini justru menumbuhkan kecurigaan di benak saya. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, kita anti penyebutan agama jika yang disebutkan itu kebetulan saja bukan agama kita. Tapi jika yang disebutkan atau didiskusikan itu adalah agama yang kita yakini dan puji, maka itu bukan SARA.

Sikap ketidakjujuran seperti ini bukan baru. Seringkali konsep-konsep hubungan antar manusia dipuji atau sebaliknya diburukkan berdasarkan kepentingan golongan sempit. Toleransi kita puji di saat masih berpihak ke kelompok kita sendiri. Tapi di saat toleransi berpihak ke orang lain, toleransi yang kita tampilkan sebegai intoleransi.

Kedua, yang paling saya khawatirkan dalam hal sensifitas SARA ini justru memang dibangun di atas dasar tendensi "anti agama". Kecenderungan yang kuat oleh sebagian dalam mengusung sekularisme, sesungguhnya menjadikan sebagian sadar atau tidak sensitif dengan pembahasan agama di ruang publik.

Dalam hal ini bukan karena penyebutan agama tertentu menggangu pemeluk agama lain yang menjadi masalah. Tapi masalahnya memang tendensi "anti agama" itu sendiri. Sehingga pembahasan agama itu dituduh sebagai SARA. Dan sikap mereka dibalik dari anti agama menjadi seolah memperjuangkan nilai-nilai positif (toleransi).

Dalam dunia moderan, dengan kemajuan sains dan teknologi khususnya di bidang informasi, agama memang semakin termarjinalkan dalam kehidupan manusia, terutama di ranah publik. bahkan terbangun persepsi kuat jika agama menjadi sumber berbagai masalah, termasuk kebodohan, keterbelakangan, kekerasan dan terorisme, dan berbagai penyakit dunia lainnya.

Minimnya kepercayaan (trust) kepada agama sebagai "sumber kebajikan (al-birr) dan kesalehan (righteousness) ini semakin menguat, khususnya di kalangan anak-anak muda dan lebih khusus lagi di kalangan dunia barat yang identik dengan kemajuan. Sehingga tidak mengherankan jika agama terbesar ketiga dunia kita saat ini adalah apa yang disebut: laa diniyah (agama tanpa agama).

Dalam sebuah penelitian oleh Pew baru-baru ini ditemukan bahwa agama terbesar pertama di dunia saat ini adalah Islam dengan jumlah sekitar 2.6 milyar manusia. Disusul Katholik dengan jumlah sekitar 1.2 milyar, lalu Protestan sekitar 900 juta manusia. Dan agama terbesar ketiga adalah agama "tanpa agama" tadi.

Penampakan agama secara negatif dan brutal, khususnya agama Islam, akhir-akhir ini dan kampanye konsep-konsep yang secara terang-terangan mendukung konsep-konsep anti agama (moralitas) jelas dicurigai sebagai kampanye terbuka anti agama.

Dan di sini pula saya wajar saja curiga jika sensitifitas SARA itu adalah bagian dari propaganda ini.

Jangan salah paham. Saya anti SARA. Saya menolak pemburuk-burukan agama dan pemeluk agama siapa saja. Tetapi saya mendukung promosi nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia, termasuk di ranah publik.

Dan jangan berpura-pura tidak tahu. Negara sesekuler Amerika saja tidak akan bisa menghindari diskusi-diskusi publik mengenai agama. Bahkan salah satu topik terhangat dalam perdebatan kandidat politik, termasuk presiden, adalah isu agama (baca Islam).

Maka, benarkah obyeksi sebagian orang untuk membicarakan agama karena masalah SARA? Atau memang karena kebetulan pembahasan itu tidak memihak pada dirinya? Atau mungkin saja karena memang itu adalah bukti nyata bahwa agama saat ini memang sudah menjadi momok yang menakutkan? Wallahu a'lam!

Imam Shamsi Ali
New York, 27 Juli 2017

Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation