Saturday, May 11, 2019

ANTARA KESHALEHAN INDIVIDUAL DAN KESHALEHAN SOSIAL


Sebenarnya tidak ada pengkotak-kotakan antara kesalehan sosial dan kesalehan individual dalam agama Islam. Keduanya ibarat dua keping mata uang yang tidak boleh dipisah-pisahkaan. Tetapi fenomena yang terjadi saat ini banyak yang shaleh secara individual tetapi tidak soleh secara sosial. 

Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan  dan mementingkan pelaksanaan  ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat.  Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba  formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.

Sedangkan “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya  mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.

Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.

Seorang tokoh besar pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, patut kita teladani dalam mengajarkan kepada murid-muridnya tentang kesalehan tersebut. Tidak ada pemisahan antara keshalehan sosial dan individual. Marilah kita simak cara beliau mengajarkan surat Al-Ma’un kepada murid-muridnya. Mudah-mudahan kita mendapatkan pencerahan. Tulisan ini pernah dimuat di Majalan SM Edisi 19 Tahun 2018 dengan judal Tafsir Kiai Dahlan. 

KH. Ahmad Dahlan setiap subuh memberikan pengajaran pada murid-muridnya. Pada satu periode pengajarannya, berkali-kali KH. Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir Surat Al-Ma’un hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah. Dengan kondisi seperti itu, ternyata mengusik hati salah seorang muridnya.

“Kiai, mengapa pelajarannya tidak ditambah-tambah?”tanya Soedja.

“Apa kamu sudah mengerti betul?”tanya beliau.

“Kita sudah hafal semua, Kiai.”Jawab Soedja

“Kalau sudah hafal, apa sudah kamu kerjakan?”tanya beliau lagi.

“Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Ma’un sudah berulangkali kami baca sebagai rangkaian surat Fatihan, disaat kami shalat?”jawab Soedja.

“Bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan artinya, dipraktekkan, dikerjakan. Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu mulai hari ini, saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mandikan dengan sabun yang baik, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajiannya saya tutup. Dan saudara-saudara silahkan melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi,”ujar Kiai Dahlan.”

Berbegai versi tentang cerita ini telah menyebar, intinya Al-Quran itu setelah dibaca dan dipelajari harus diamalkan. Maka penafsiran model Kiai Dahlah, penulis sebut dengan tafsir amali Mungkin ada yang menyebut tafsir sosial atau yang lainnya, tetapi metode serupa juga digunakan untuk ayat yang lain.

Dalam hal metode ini, Kiai Dahlan pernah menerangkan bagaimana cara mempelajari Al-Qur;an, yaitu ambilah satu dua atau tiga ayat, dibaca dengan tartil dan tadabbur (dipikirkan). Pertama, bagaimana artinya? Kedua, bagaimana tafsir keterangannya? Ketiga, bagaimana maksudnya? Keempat, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan itu? Kelima, apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Sudahkan kita menjalankannya?

Oleh karena itu sudah menjadi watak Kiai ketika mengajarkan sesuatu, terutama Al-Qur’an, tidak hanya berhenti pada tataran ilmu saja tetapi harus mencapati tataran amal. Karenanya, ia tak segan mengajarkan suatu ayat sampai berbulan-bulan meski sebetulnya hanya cukup beberapa hari selesai sebelum ayat tersebut diamalakan.

Baginya Islam memang harus diamalkan dan tidak hanya dimengerti saja. Dalam hal amalan agama ini Kiai Dahlan berkata: “Aku mengerti barang yang haq dan barang bathil seperti aku mengerti agama Nasrani/Kristen dan belajar agama Nasrani dan mengerti agama Nasrani. Tetapi apabila aku tidak mengerjakan agama Nasrani aku bukan orang Nasrani. Demekian juga umpama aku mengerti cara-cara mencuri, menipu, menindas tetapi aku tidak menjalankan mencuri, menipu atau menindas maka aku bukan pencuri, penipu dan penindas. Begitu juga aku mengenal agama Islam, mengerti amal salih, tetapi aku tidak mengerjakan agama Islam dan amal shalih itu, aku tetap bukan orang Islam dan tetap bukan orang shalih”.

Inilah sebetulnya tafsir awal yang dilakukan Muhammdiyah oleh pendirinya yang mampu menghasilkan amal usaha yang kini masih terjaga. Tetapi sayang, metote tafsirnya sudah hampir terlupakan.

Mudah-mudahan kisah tersebut menginspirasi kita dalam beramal shaleh! Yang jelas, kesalehan Individual maupun sosial itu tidak dapat kita pisah-pisahkan! Wallahu a'lam bi showab!