MEMILIH PEMIMPIN INDONESIA 2014
Retorika! Kata ini menyita perhatian
saya, apalagi pada saat revolusi informasi dan globalisasi saat ini, dimana
dengan mudahnya kita mengakses manusia di planet bumi ini hanya dalam hitungan
detik. Ketika saya mengecek di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian
retorika adalah : (1) keterampilan berbahasa secara efektif (2) studi tentang pemakaian
bahasa secara efektif dalam karang mengarang (3) seni berpidato yang
muluk-muluk dan bombastis. Pemimpin yang piawai berpidato dengan mulut
berbusa-busa tetapi kerjanya kosong dikenal sebagai pemimpin demagog. Dalam
bukunya yang berjudul musuh yang jadi idola yang ditulis oleh Luqman Haqani, mengutip pendapat pujangga Adi
Negoro (1953) tentang pemimpin demagog yang sangat lincah memainkan lidahnya.
Menurut Adi Negoro, demagog adalah pemimpin rakyat yang pandai bicara dan
mengambil hati public, tetapi perbuatannya tidak baik, dia berbicara banyak
tetapi kerjanya kosong. Pemimpin demagog memang gemar pidato. Untaian
kata-katanya sangat utopia, memikat massa, tetapi sering terjerembab oleh
mercusuar kedemagogannya. Lalu, yang menjadi pertaruhan adalah bangsa dan Negara.
Adapun menurut KBBI demagog adalah penggerak
(pemimpin) rakyat yg pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk
memperoleh kekuasaan.
Mudah-mudahan
bangsa Indonesia dijauhkan dari pemimpin semacam itu. Dan mudah-mudahan bangsa
Indonesia sudah semakin cerdas sehingga tidak tertipu oleh bualan-bualan kosong
mereka. Apalagi sebentar lagi bangsa kita akan melakukan hajatan besar
nasional, yaitu PEMILU 2014. Kita harus sadar bahwa media selain dapat
digunakan untuk kebaikan, dia juga merupakan alat pembentukan opini public yang
sangat efektif.
Sebagai pedoman
untuk memilih pemimpin yang berkualitas yang akan mampu melepaskan diri dari
perbudakan bangsa lain dan sekaligus untuk menguji apakah mereka itu cuma ngomong
doang, menarik jika kita cermati pernyataan mantan ketua MPR Prof.Dr.Amin Rais
berkaitan dengan pencalonan presiden pada tahun 2014 yang dimuat di Harian Republika Minggu, 04 Agustus
2013. Terlepas
suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Paling tidak pertanyataan
tersebut dapat kita jadikan pedoman untuk memilih calon presiden 2014 nanti.
Pernyataan pertama, secara tidak langsung beliau mengatakan bahwa mandat rakyat harus tetap dinomorsatukan untuk menjadi pemimpin. Hal itu tersirat ketika beliau memberi saran pada Hatta Rajasa agar Hatta Rajasa merivisi niatnya untuk maju sebagai capres jika perolehan partai di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 tidak mencapai angka dua digit. Meski hasil Rakernas PAN 2011 mengamanatkan Hatta sebagai capres, namun Amin menilai sangat sulit target itu bisa terwujud melihat realita sekarang.
Pernyataan pertama, secara tidak langsung beliau mengatakan bahwa mandat rakyat harus tetap dinomorsatukan untuk menjadi pemimpin. Hal itu tersirat ketika beliau memberi saran pada Hatta Rajasa agar Hatta Rajasa merivisi niatnya untuk maju sebagai capres jika perolehan partai di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 tidak mencapai angka dua digit. Meski hasil Rakernas PAN 2011 mengamanatkan Hatta sebagai capres, namun Amin menilai sangat sulit target itu bisa terwujud melihat realita sekarang.
Pernyataan Kedua, Sekarang tidak
penting apakah Hatta harus menjadi presiden. Yang mendesak untuk dibenahi
adalah, kata dia, masyarakat harus mencari capres yang memiliki visi berani
merenegoisasi berbagai kontrak migas dan tambang dengan korporasi asing.
Melihat bagi hasil yang didapatkan pemerintah, Amien sangat miris. Ia berharap,
presiden ke depan harus berani melawan penjajahan terang-terangan yang
dilakukan orang asing dengan mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Amien sangat kecewa melihat pemerintah
sekarang hanya diam saja melihat secara terang-terangan kandungan bumi negeri
ini dikuras asing. Karena itu, ia bersikap bakal mendukung capres siapapun yang
bisa menerjemahkan pasal 33 UUD 1945 tentang kedaulatan perekonomian untuk
kesejahteraan rakyat.
“Kalau tak bisa menerjemahkan, jangan
nyapres. Hattanomics, Prabowonomics, atau Jokowinomic. Silahkan membuat system
ekonomi untuk ditawarkan ke rakyat. Bisa nggak, mereka menjamin semua untuk
rakyat? Kalau bisa, siapapun itu kita pilih!” (Republika, Minggu, 04 Agustus
2013, 20:05 WIB)
Senada dan seirama dengan pernyataan
Pak Amin Rais adalah pernyataan teman penulis sendiri. Dia berkata sembari
bergurau. “Saya akan memilih presiden yang bisa menjadikan satu rupiah sama
dengan satu dolar!”Mendengar peranyataan tersebut sontak teman-teman tertawa.
Bukan tertawa melecehkan, tetapi tertawa karena mereka menganggap aneh
pernyataan itu. Meskipun terdengar aneh, jika memang ada, penulis dan teman
penulis mau memilih pemimpin yang mau menjadikan satu rupiah sama dengan satu
dolar!
Terus terang saja, barangkali karena
kebodohan penulis, sekarang ini sulit untuk mencari pegangan yang tegas dan
membumi untuk memilih calon pemimpin. Apakah kita akan mempercayakan atau
percaya pada survey-survei yang marak meskipun mereka menyatakan bahwa mereka
independen? Coba saja lihat hasil survey yang dilakukan oleh SFI yang
menempatkan ibu Ani Yudhoyono mengguli Jokowi jadi capres (Republika. Jumat, 02
Agustus 2013, 23:28 WIB).
Menurut hasil survey tersebut, ibu Ani
Yudhoyono secara mengejutkan mengungguli Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo
dalam tingkat pengenalan (awareness) dalam servei Lembaga Focus Survey Indonesia
(FSI). Ani, Megawati, dan Jokowi masuk dalam 20 nama yang layak menjadi capres.
"Hal mengejutkan tokoh muda yang sangat dikenal oleh
masyarakat adalah Jumhur Hidayat dengan tingkat awareness mencapai 87
persen, di atas Gita Wiryawan, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Din Syamsuddin,
Marzuki Alie, Surya Paloh, Sri Mulyani, dan Pramono Edhie," kata Direktur
FSI Nelly Rossa Juliana, di Jakarta, Jumat (2/8).
Untuk tingkat pengenalan (awareness) ke-20 nama tokoh nasional yang layak
menjadi capres adalah Ani Yudhoyono (99 persen), Megawati Soekarnoputri (99,50
persen), Jokowi (97,30 persen), Basuki Tjahaja P alias Ahok (97,30 persen),
Prabowo Subianto (96,20 persen), Sutiyoso (93,90 persen), Jusuf Kalla (91,40
persen), Aburizal Bakrie (90,50 persen), Sri Sultan Hamengku Buwono X (90,30
persen), Wiranto (87,40 persen), dan Moh Jumhur Hidayat (87,30 persen). Selebihnya, sederet nama seperti Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD,
Din Syamsuddin, Sri Mulyani, Gita Wiryawan, Marzuki Alie, Surya Paloh, dan
Pramono Anung, mendapat prosentase perolehan suara di bawah Jumhur.
Nah, bagaimana pendapat Anda? Apakah Anda juga mempunyai calon
yang hebat untuk dicapreskan? Tidak bermaksud mempengaruhi Anda, penulis tidak
begitu mempedulikan apakah yang jadi presiden itu benar-benar ibu Ani,
Megawati, Hatta Rajasa, ARB, Surya Paloh, bahkan Paijo pun kalau mau maju
boleh, please! Yang penting, Apakah mereka memiliki visi dan berani
merenegoisasi berbagai kontrak migas dan tambang dengan korporasi asing
sehingga benar-benar adil. Apakah mereka berani melawan penjajahan
terang-terangan yang dilakukan orang asing dengan mengeruk kekayaan alam
Indonesia? Apakah mereka mampu menerjemahkan pasal 33 UUD 1945 tentang
kedaulatan perekonomian untuk kesejahteraan rakyat?
“Kalau tak bisa menerjemahkan, jangan
nyapres. Paijonomics, Tukimanomics, Bejonomic, Hattanomics, Prabowonomics, atau
Jokowinomic. Silahkan membuat system ekonomi untuk ditawarkan ke rakyat. Bisa
nggak, mereka menjamin semua untuk rakyat? Kalau bisa, siapapun itu kita
pilih!” Wallahu a’lam !