Perpecahan adalah penyakit
berbahaya yang dapat menjerumuskan manusia kedalam lembah kehinaan, ibaratnya
seperti kehidupan di neraka! Panas bagai api yang membakar! Hati-hati yang membatu saling gesek sehingga menimbulkan api perpecahan yang mewujud menjadi kehidupan saling sikat dan sikut, saling
tindas-menindas, bahkan saling membunuh dalam bentuk peperangan yang berkobar!
Hal itu berbanding terbalik dengan persahabatan, surgalah tempat orang yang
senang menjalin persahabatan. Tentu saja sahabat sejati, bukan sahabat palsu
yang selalu menomorsatukan kepentingan dan keuntungan pribadi. Bukan persahabatan
di meja judi! Pernahkan Anda melihat orang berjudi? Dalam permainan judi
tampaknya mereka sangat akrab, ketawa-ketiwi saling bergurau, tapi diam-diam
mereka berusaha keras mengeruk uang lawannya. Menjatuhkan sahabat palsunya yang
diajak bersendaguaru! Ketika kita menderita mereka akan meninggalkan kita. Berhati-hatilah dalam memilih sahabat!
Bagaimana caranya untuk
mengetahui kualitas sahabat kita agar kita tidak tertipu? Ada beberapa cara
yang patut Anda perhatikan. Ini bukan su’udzon (berprasangka buruk), tetapi
meningkatkan kewaspadaan. Perhatikan, salah satu ciri sahabat sejati adalah rela
berbagi dengan orang lain, tidak mau menyakiti, tidak ada motivasi jahat di
dalam sanubarinya dalam bergaul dengan sahabat-sahabatnya. Mereka selalu
menerapkan win win solution dalam memecahkan berbagai masalah dan tidak
mau menari-nari di atas penderitaan orang lain! Hal ini mudah dikatakan tetapi
tidak mudah untuk dipraktikan karena kita harus menundukkan hawa nafsu, bukan menghilangkan. Artinya kita harus mendasarkan hubungan kita dengan
sesuatu yang lebih mulia. Apa itu? Sesuai dengan penciptaan Allah, tidaklah
manusia itu diciptakan oleh Allah kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Artinya,
segala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan semata-mata untuk beribadah
kepada Allah. Maka, Rasulullahpun bersabada : “setiap urusan yang penting, yang
tidak di awali (dimotivasi) dengan bismillahirahmanirahiim, maka urusan
itu akan terputus (sia-sia, tidak membawa berkah, tidak maslahat, akan
merugikan).”
Saya kira hal tersebut di atas
sifatnya universal, berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Perpecahan itu
akan menimbulkan malapetaka! Berdasarkan pengalamanya, para leluhur kitapun
mengakui itu, seperti yang mereka ungkapkan dalam bentuk pepatah : besatu kita
teguh, bercerai kita runtuh! Atau, mereka mengibaratkan lidi-lidi yang
tercecer, kemudian disatukan dalam tali ikatan yang kokoh, daya guna dan
kekuatannya akan bertambah hebat dibandingkan dengan jika lidi-lidi itu bekerja
sendiri-sendiri!
Kalau kita tengok sejarah perjuangan
bangsa kita, perpecahan ternyata telah mengakibatkan bangsa kita dijajah oleh
bangsa lain. Politik yang dilancarkan oleh para penjajahpun politik pecahbelah,
karena mereka tahu perpecahan akan membuat bangsa kita rapuh sehingga dengan
mudah mereka menancapkan kuku-kuku kekuasaan mereka. Yang harus kita waspadai,
meskipun mereka telah hengkang dari bumi pertiwi, tetapi penjajahan itu masih
ada. Penjajahan dalam bentuk lain. Misalnya penjajahan ekonomi dan budaya.
Di dalam Al-Quran, jelas dikatakan
bahwa perpecahan mengakibatkan bangsa Arab sebelum turunnya Al-Qur’an hidup
dalam kondisi pecah-belah, saling berperang antar suku, dan maraknya tindakan
diluar kemanusiaan yang lainnya. Di dalam surat Ali Imran ayat 103, situasi dan
kondisi seperti itu diibaratkan berada di tepi jurang neraka :
103. dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan
tarjamah tafsiriyah berikut ini. Mudah-mudahan makin memperjelas:
Berpegang-teguhlah kalian pada ikatan
hidup yang diajarkan Allah ini (Quran), sehingga menjadi satu jamaah; jangan
(malah) berpecah-belah. Bangunlah kesadaran berdasarkan nikmat (ajaran) Allah
(yang didakwahkan Rasul) kepada kalian. Dulu kalian (bangsa Arab) hidup saling
bermusuhan; lalu (dengan Quran) Dia (Allah) manjinakkan (rasa permusuhan yang
tumbuh) berubah menjadi persaudaraan. Dengan kata lain, (ketika saling
bermusuhan itu) kalian ibarat hidup di tepi jurang neraka, lalu Dia (Allah) menyelamatkan
kalian dari situ. Begitulah Allah menggambarkan kebenaran ayat-ayat-Nya
(Quran). Mudah-mudahan kalian menjadikannya petunjuk.
Yang dimaksud neraka dalam kontek ayat
ini berbeda dengan neraka yang biasa kita dengar dan baca, yang akan ditemui
setelah hari kiamat nanti. Neraka yang disebutkan di sini, sesuai qarinah ayat
adalah “neraka yang ada di depan mata”, yang ibarat kobaran api dari satu
peristiwa kebakaran, ia akan melahap siapa saja bila tidak segera menjauh
darinya. Karena ayat ini menggambarkan
keadaan bangsa Arab sebelum kedatangan Al-Quran, maka jelas bahwa yang
berhadapan dengan neraka tersebut adalah mereka. Tapi bila pada saat itu
ditanyakan kepada mereka tentang neraka tersebut, yang sering kita bayangkan
sebagai kobaran api, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan mampu menjawab.
Mereka tidak melihat kobaran api (harfiah) itu!
Kata naar yang secara harfiah berarti
api, pada ayat tersebut, adalah satu metafor atau ungkapan. Bukan dalam arti
hakiki. Pengertian istilah ini dibangun oleh dua kata yang secara makna
berkaitan, yaitu kata la tafarraqu (jangan kalian berpecah belah) dan a’daan
(bermusuhan). Dengan kata lain, penyebutan neraka di sini agaknya sangat
berkaitan dengan watak bangsa Arab sendiri.
Terpecahnya bangsa Arab menjadi berbagai
suku yang saling bermusuhan adalah cerita yang mashur. Namun penyebutan (tidak
langsung) keadaan tersebut sebagai faktor penyebab timbulnya “neraka” (dunia)
agaknya baru terdapat dalam Al-Quran, khususnya dalam ayat tersebut. Tapi
bukankah kita sendiri sering mengatakan situasi demikian itu sebagai api di
dalam sekam?
Istilah api dalam sekam ini
agaknya lahir dari masyarakat petani. Sehabis menumbuk padi, kulit-kulit padi
yang disebut sekam itu disapu, dikumpulkan, lalu dibakar. Bakaran pertama yang
menginggalkan bara, ditimbun lagi dengan sekam-sekam baru. Tetapi meskipun
ditimbun dengan sekam-sekam baru sampai tidak kelihatan, bara api itu terus
menyala, perlahan-lahan merembet ke atas, dan bila tertiup angin nyalanya
kembali berkobar. Begitulah api dalam sekam! Begitu pula perpecahan dan
permusuhan; yang sewaktu-waktu bisa mengobarkan api peperangan.
Dampak dari sebuah perang adalah
neraka yang nyata. Manusia saling membunuh. Kadang pembunuhan dilakukan juga
atas orang-orang yang tak berdaya seperti terhadap orang-orang jompo dan
anak-anak. Tak jarang tindak perkosaanpun menjadi hiasan sebuah perang.
Rumah-rumah tidak hanya dijarah, tetapi juga dibakar. Kampung dan kota
dijadikan lautan api. Lingkungan hidup rusak binasa. Manusia-manusia yang
tertinggal terpaksa harus hidup dengan serba kemelaratan.
Kemudian, kebalikan dari
perpecahan dan permusuhan adalah ihwanan (persaudaraan); sehingga dapat
disimpulkan pula bahwa kehidupan saling bersaudara adalah kehidupan “surga”
dunia. Ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa persaudaraan itu timbul karena
Allah melalui Al-Quran ‘menjinakkan’ hati mereka (bangsa Arab). Begitu juga
terhadap bangsa yang mendukung sikap dan laku-karya seperti itu! Tidak
terkecuali dengan bangsa Indonesia sendiri. Wallahu a’lam!
No comments:
Post a Comment