Tuesday, December 27, 2022

MANGAN ORA MANGAN NING NGUMPUL


Pitutur Luhur yang Sarat dengan Makna

Saudara-saudaraku di manapun Anda berada! Mudah-mudahan hari kita kita lebih baik dari kemarin. Pada kesempatan yang berbahagia ini kami ingin mengajak Anda untuk membincang tentang pitutur luhur dari para leluhur orang Jawa, yaitu: "Mangan Orang Mangan Ning Ngumpul."

Pitutur ini kelihatannya sederhana, tetapi kalau kita renungkan sarat dengan makna dan dapat kita jadikan sebagai pelajaran hidup. Tetapi, sayang, pitutur yang baik ini banyak yang hanya sebatas mendengar saja, belum mengerti maksud yang sebenarnya. Atau, paling tidak, belum memahami sebagaimana yang dimaksudkan oleh nenek moyang orang Jawa. Bahkan, sebagian masih keliru dalam memahaminya. Ada pula yang melecehkan. Stressingnya bukan pada waton ngumpul, tetapi pada orang mangan (tidak ada yang dimakan) karena hanya senang berkumpul.

Kesan yang kita peroleh, bahwa orang-orang tua kita dulu etos kerjanya rendah. Mereka hanya senang grubyak-grubyuk sehingga tidak memperoleh makanan (kebutuhan jasmani) secara cukup, dan kita sebagai generasi penerus menjadi korban falsafah itu.

Benarkah itu? Nah, marilah kita urai kembali. Dan, kalau ternyata tidak tepat mari kita luruskan filosofi yang sarat dengan makna ini!

Mangan atau makan dalam falsafah tersebut tidak harus dipahami secara nyata. Tetapi dapat juga dipahami secara kiasan. Sehingga dapat dipahami sebagai kondisi makmur dan berkecukupan. Ora mangan atau tidak makan, adalah sebaliknya, kondisi susah dan tidak berkecukupan. Dan pepetah tersebut, "Mangan Ora Mangan ning Ngumpul", dapat diartikan dalam kondisi susah maupun senang kita harus tetap berkumpul/bersatu/bersilaturahmi. Karena pada prakteknya, itu masih berlaku sampai sekarang,  Manusia mempunyai kecenderungan berkumpul ketika susah, dan ketika kondisi berubah menjadi makmur manusia cenderung bersifat individualis dan melupakan habitat (kekerabatannya).

Selain itu, filosofi mangan orang mangan ning ngumpul, yang dikedepankan bukan pada masalah makannya, bukan masalah jasmaninya tetapi masalah rohaninya, masalah ngumpulnya. Hal itu sesuai dengan bangsa timur pada umumua, dan bangsa Indonesia pada khususnya. Tentu saja, dimaksud ngumpul di sini bukan ngumpul asal ngumpul, atau istilah orang Jawa grubyak-grubyuk, tetapi ngumpul yang berkualitas dan bermanfaat.

Berkumpul, ngumpul, berjamaah, atau berorganisasi adalah langkah awal kita. Pembuka jalan kita menuju koordinasi dan sinergi, satu kondisi yang selalu ingin kita kedepankan, Karena, sebagai manusia, tidak mungkin ada yang kita hasilkan tanpa kerjasama dengan orang lain.

Jadi "Waton kumpul" adalah strategi jangka panjang atau strategi seumur hidup agar kita dapat mewujudkan kebutuhan kita, baik kebutuhan jasmani maupun rohani.

Karena ketidakfahaman akan makna pitutur yang mengajarkan pentingnya berkumpul itulah maka ada usaha untuk memecah belah kita. Kita diadudomba supaya kita menjadi lemah. 

Dulu, penjajah untuk bisa mencengkeram kita, melakukan politik atau atau strategi devide et impera, disamping memprovokasi kita dengan membesar-besarkan perbedaan. Nah, jangan jatuh dalam lubang yang sama! Jangan seperti keledai yang jatuh dalam lubang yang sama, saudara-saudaraku! Kita perokoh persatuan dan kesatuan kita demi masa depan yang lebih baik.

Nglengis, 28 Desember 2022

Edy Purnomo
diambil dari berbagai sumber




No comments:

Post a Comment