Tuesday, July 29, 2014

Idul Fitri 1435 H


Assalamu'alikum Wr.Wb. Alhamdulillah pada kesempatan yang berbahagia ini kita masih dipertemukan oleh Allah. Mudah-mudahan pertemuan kita kali ini dan selanjutnya bermanfaat bagi kehidupan kita. Tidak lupa kami ucapkan selamat hari raya Idul Fitri, mudah-mudahan kita benar-benar menjadi orang yang menang setelah sebulan berjihad menahan hawa nafsu. Dan, selepas bulan ramadhan kita benar-benar menjadi manusia baru yang mampu mengendalikan diri sehingga kita tidak diperbudak oleh hawa nafsu kita.

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ

جَعَلَنَا اللهُ وَ اِيَّاكُمْ مِّنَ العَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ

كُلَّ عَامٍ وَّ اَنْتُمْ بِخَيْرِ

“Semoga Allah menerima amal ibadah kita (ibadah puasa dan lainnya) semua. Dan semoga Allah menjadikan kita termasuk bagian orang-orang yang kembali (pada ajaran Allah) dan menjadi golongan orang-orang yang mencapai kemenangan. Mudah-mudahan Anda setiap tahun selalu dalam kebaikan.”


Inilah ucapan selamat yang sering kita ucapkan pada hari raya Idul Fitri. Tetapi sering kita saksikan ucapan selamat hari raya itu diterjemahkan lain, atau bahkan tidak diterjemahkan, dibuat seperti pantun ala melayu. Minal ‘aidiin wal faaidzin mohon maaf lahir dan batin. Meskipun kedengaran enak ditelinga, jika kita perhatikan makna itu bukan terjemahan dari minal 'aidiin wal faa'idzin karena kalimat tersebut artinya bukan mohon maaf lahir dan batin. Orang yang kembali dan menang itu adalah, orang yang kembali hidup secara fitrah (mau hidup berpedoman dengan ajaran Allah), itulah orang yang patut disebut mendapatkan kemenangan. 'Aidiin adalah isim fail yang artinya yang kembali / orang-orang yang kembali. Kembali ke mana?

Dikatakan kembali, berarti bahwa sesuatu yang kembali pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat dan keadaan semula.

Hal ini dijelaskan oleh kata fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar atau kesucian. Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan suci, sehingga 'Idul Fithr antara lain berarti kembalinya manusia kepada keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian mereka berada dalam kesucian. (Wawasan Al-Quran, M. Quraish Shihab hal. 328)

Dari para dai kita sering mendengar pada hari raya Idul Fitri kita kembali ke fitrah, lebur dosa-dosanya, diibaratkan seperti jabang bayi yang terlahir dari perut ibunya. Sebenarnya, jika kita menggunakan bahasa sastra, makna tersebut dapat kita perdalam lagi sehingga dapat lebih menghujam lagi ke dalam kesadaran kita seperti yang dijelaskan oleh K.H. Anwar Sanusi dalam bukunya yang berjudul Jalan Kebahagiaan. Kenapa bayi itu dijadikan metafor kesucian?



1. Bayi Tidak Pernah Sombong
Dosa yang sangat dimurkai oleh Allah adalah syirik sedang akhlak yang sangat dibenci oleh Rasulullah adalah sombong. Seorang mukmin yang berpuasa tidak boleh sombong dalam kehidupan. Sombong karena kekayaan, sombong karena ilmu yang tinggi, sombong karena kekuasaan, sombong karena popularitas. Seluruh bentuk kesombongan tersebut dicela oleh agama.  

2. Bayi tidak pernah dengki
Dengki adalah penyakit tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat. Allah memberikan tuntutan dan tuntunan bagaimana cara kita berinteraksi terhadap sesama kita, seperti firman Allah dalam surat al-Hujuraat ayat 12 :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagaian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Dalam ayat ini, Allah memberi tuntunan kepada kita tentang bagaimana cara memproteksi persatuan dan kesatuan. Seluruh sikap yang mengantarkan kepada perpecahan dicela oleh agama. Disebutkan ada tiga sikap, antara lain,

Jangan menceritakan kesalahan orang lain

Jika kita cermati, sekarang ini sudah terjadi banjir bandang yang luar biasa, tetapi Anda jangan membayangkan banjir bandang seperti yang terjadi dizaman Nabi Nuh. Banjir yang dihadapi sekarang adalah banjir fitnah, banjir dengki, banjir dekadensi moral, banjir kemaksiatan, dll. Untuk apa kita menyibukkan diri dengan menjelek-jelekkan orang lain, sementara kejelekan sendiri berada di pelupuk mata, tetapi kita pura-pura tidak melihatnya.
Dapatkah kita menyediakan sebagian bilik hati ini untuk menyadari bahwa yang bersalah bukan hanya dia, tetapi juga kita. Sanggupkah kita (jangan sebagian) setitik saja dalam bilik hati ini untuk merenungkan bahwa yang berdosa bukan hanya mereka, tetapi juga kita. Untuk kemudian kita lebih arif dan bijaksana dalam menilai sesama kita. Bukan dengan cara-cara yang tengah kita kembangkan, baik dalam kehidupan kita sebagai umat maupun sebagai bangsa.
  • Jangan Saling menggunjing Sesama Kita
    Rasulullah saw. Suatu hari bertemu dengan dua orang sahabat yang tengah menggunjing temannya. Beliau bertanya,”Kenapa kamu gunjingkan sesama kamu?”Salah seorang sahabatanya berkata,”Yang kami gunjingkan ini adalah kenyataan.” Rasulullah menjawab,”Ini namanya menggunjing, sebab kalau yang digunjingkan itu salah, namanya adalah bahtan (kebohongan besar).”
    Yang menjadi pertanyaan adalah,”Mengapa Allah melarang ketiga sifat tersebut?”Allah menjawab dengan pertanyaan retorika,”Apakah kamu senang memakan daging bangkai saudaramu yang telah mati?”
    Artinya, kalau kita melaksanakan tiga sifat ini, sama dengan memakan daging bangkai saudara kita sendiri. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Efeknya akan kembali kepada kita sebagai umat. Ukhuwah tidak tumbuh, persaudaraan tidak terbangun, umat menjadi lemah. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak bisa menelurkan prestasi yang signifikan, sementara umat yang lain sudah jauh meninggalkan kita.

    3. Bayi Tidak Pernah Dendam
    Sikap ini lahir dari keinginan diri untuk tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Cahanya Ilahi tidak akan terpantul dari hati penuh dengan dendam. Cahaya Rabbani tidak akan terpantul dari hati yang penuh dengan dendam kesumat. Cahaya Ilahi, Nur Rabbani hanya bisa terpantul dari hati yang penuh dengan keikhlasan.
    4. Bayi Selalu Ikhlas
    Seseorang yang berbuat hanya untuk mencari keridhaan Allah. Terjemahan dalam kehidupan kita sebagai bangsa adalah keinginan untuk mau berbuat untuk dan atas nama bangsa dan agama yang mulia ini. Dia tidak mengharapkan pujian dan sanjungan, yang diharapkan adalah keridhaan Allah semata-mata. Seluruh pengorbanan yang dipersembahkan kepada bangsa akan mendapatkan apresiasi yang setimpal dari Allah. Kalaupun mati, akan mati syahid. Kita masih saksikan darah rakyat dan sebagian prajurit TNI menggenang di bumi Serambi Mekah, di Papua, di Ambon, dan di tempat-tempat lain. Kita doakan agar mendapat pahala syahid di sisi-Nya.
    5. Bayi Tidak Pernah Serakah
    Sikap ini lahir karena adanya keengganan diri untuk mensyukuri seluruh yang diberikan oleh Allah. Secara jujur harus kita akui bahwa bangsa yang tengah terpuruk ekonomi dan politiknya ini disebabkan oleh penyakit serakah.
    Kalau kelima karakter bayi ini kita amalkan, persatuan dan kesatuan bangsa akan terwujud. Kita pun akan menggulirkan seluruh agenda reformasi dengan sebaik-baiknya.
    Semoga Allah memberikan kekuatan iman dan Islam kepada kita agar kita bersama dapat mengawal bangsa ini untuk merasakan secara sungguh-sungguh keadilan dalam kemakmuran dan kemakmuran dalam keadilan di bawah naungan ridha Allah swt. Amiin!

















No comments:

Post a Comment