GEBYAR RAMADHAN 1434 H
Waktu melesat cepat seperti anak
panah yang lepas dari busurnya. Tidak terasa kita bertemu kembali dengan bulan
Ramadhan. Marhaban ya Ramadhan,
selamat datang wahai bulan yang mensucikan. Siapa yang menyucikan itu wahai
Rasulullah, demikian Tanya para sahabat kepada Rasulullah. Yang menyucikan itu
bulan Ramadhan. Ia menyucikan kita dari prahara dosa dan kemaksiatan.
Ramadhan berakar dari kata
ramadha yang berarti “membakar” atau “api yang membakar”. Ketika kita berbicara
tentang api yang sifatnya selalu membakar, yang terlintas dalam benak kita
adalah sampah atau kotoran. Dengan demikian, hadirnya Ramadhan akan membakar
seluruh kotoran rohani (baca: dosa) yang menghalangi kita untuk mendekatkan
diri kepada Allah swt. di samping menjadi bekal untuk menghadapi kehidupan
mendatang (KH. Anwar Sanusi, Jalan Kebahagian).
Marhaban ya Ramadhan, kita
ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita di
asah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt. Pada bulan itu
kita diwajibkan puasa menahan diri dari makan, minum dan bersenggama dari
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Dalam bukunya Islam dan Moralitas
Pembangunan, Drs.H.Ridwan Saidi, mengutip pendapat Imam Ghazali yang menyatakan
puasa seperti pengertian tersebut di atas merupakan puasanya orang awam. Sedang
puasa yang paling hakiki, yang paling bernilai pada sisi Allah apabila puasa
itu merupakan totalitas ikhtiar menahan/mengendalikan 7(tujuh) anggota badan,
yaitu : menahan mata dari memandang suatu obyek yang terlarang, menahan telinga
dari mendengar sesuatu yang terlarang, menahan lidah dari ucapan-ucapan yang
keji, menahan perut, mememlihara kehormatannya, memelihara tangan dari
pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan dosa, memelihara kaki untuk tidak
melangkah ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah.
Jika kita cermati dan renungkan,
sejatinya kerusakan di muka bumi ini disebabkan oleh ketidakmampuan manusia
untuk menahan/memelihara/mengendalikan ketujuh anggota badannya itu.
Kegoncangan-kegoncangan nilai-nilai kemanusiaan banyak disebabkan
ketidakmampuan manusia untuk menahan lidahnya dari ucapan-ucapan yang keji,
ucapan-ucapan yang mengurangi kredebilitas manusia terhadap kewibawaan
kata-kata. Dalam kehidupan sehari-hari terlalu sering kita menyaksikan betapa
antara kata-kata dan perbuatan berjalan pada jalurnya sendiri-sendiri, jarang
sekali kita menyaksikan bahwa perbuatan merupakan manestifasi utuh dari
kata-kata.
Lembaga kekuasaan yang usianya
setua peradaban manusia seringkali kehilangan rasa hormat dari masyarakat
manusia itu sendiri disebabkan tidak jarang para pemegang kekuasaan kurang
mampu untuk menahan aktivitas perut dan memelihara kehormatannya sendiri.
Sehingga senantiasa kita harus menjumpai kenyataan akan adanya sikap ambivalensi
manusia terhadap lembaga kekuasaan, yaitu sekaligus membenci dan mendambakan.
Marhaban Ya Rahamdhan!
Mudah-mudahan puasa kita kali ini mampu menjadikan kita menjadi orang yang
bertakwa, orang yang mampu mengendalikan diri, orang yang dapat menahan amarah,
menjadi bangsa yang ramah bukan pemarah seperti sekarang ini.
Boleh jadi, saat ini kita hanya
sanggup melaksanakan puasa seperti target fiqih, sekedar memenuhi rukun dan
syarat-syarat yang membatalkan puasa sehingga kita mudah diasamgaramkan oleh
lingkungan. Pintu taubat masih terbuka lebar. Kita masih dapat meningkatkan
kualitas puasa kita mencapai tataran yang lebih tinggi, puasa yang sanggup
mengendalikan tubuhnya dari pelanggaran-pelanggaran. Yang paling terasa adalah
puasa yang mampu menyentuh relung-relung hati, sehingga hati enggan menumbuhkan
niat-niat yang mendatangkan kemurkaan Allah.
Jika kita dapat melakukannya,
rohani kita akan seperti bayi yang barau dilahirkan oleh bunda. Keadaan rohani
seperti inilah yang akan kita gunakan untuk menyongsong Idul Fitri. Semua gerak
perilaku hidup memudahkan untuk menjadi orang yang bertakwa. Amiin!
***
No comments:
Post a Comment