Tuesday, July 9, 2013

Keseimbangan Alam

ETIKA LINGKUNGAN


Allah menciptakan alam semesta ini dalam keadaan seimbang. Jika terjadi kekacauan, semua itu akibat ulah manusia. Jika manusia sudah melakukan intervensi, biasanya kondisi yang seimbang itu akan mengalami  kegoncangan. Bayangkan, jika alam ini tidak seimbang dan teratur tentu sudah terjadi kerusakan, karena bintang dan planet di alam raya ini akan saling bertabrakan.

Begitu juga di planet bumi tempat kita tinggal. Ketika pestisida dan pupuk kimia dijadikan acuan para petani dalam memberikan asupan makanan buat tanaman mereka, tanahpun jadi kian gersang. Cacing-cacing tanah menjerit. Kesuburan kian luntur. Ketika manusia semakin rakus membabati hutan membabibuta tanpa memikirkan penghijauan, paru-paru dunia menjadi tidak fungsional. Dunia semakin panas terbakar bersamaan dengan jiwa manusia yang dibakar oleh hawa nafsu mereka. Berita yang masih hangat adalah protes keras Singapura yang terkena dampak polusi akibat pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Kota Singapura menjadi gelap akibat asap tebal yang menyelimuti! Kenapa jadi demikian?

Wacana yang paling ekstrem menyatakan bahwa manusia adalah sebagai pihak tertuduh dalam hal makin terpuruknya kualitas bumi. Manusia dinilai terlampau asyik dalam "memuaskan syahwatnya" tanpa memperdulikan lagi akibat atau dampak yang menerpa bumi kita. 

Menurut Arne Naess krisis lingkungan saat ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang yang fundamental dan radikal yang dibutuhkan sebagai sebuah pola atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan pedoman tentang bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup saat ini. Pedoman itu tiada lain adalah etika lingkungan.

Cara pandang sangat menentukan gerak langkah manusia terhadap kegiatannya termasuk dalam memperlakukan alam ini. Selama ini telah berkembang dua cara pandang, yaitu antroposentrisme dan ekosentrisme.

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, cara pandang ini menyebabkan manusia mengekspoitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kebutuhan kepentaingan manusia selain itu cara pandang ini melahirkan sikap yang rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhan hidupnya dari alam tanpa memperhitungkan kelestariannya karena alam dipandang hanya demi kepentingan manusia sehingga sebagian pihak mengatakan krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris ini.

Ekosentrisme merupakan kelanjutan teori biosentrisme (teori biosentrisme percaya bahwa seluruh makhluk hidup memiliki nilai moral yang tertanam dalam dirinya sehingga diperlukan sebuah kepedulian. Teori ini kemudian berkembang lebih luas menjadi teori ekosentrisme). Ekosentrisme memusatkan nilai moral kepada seluruh makhluk hidup dan benda abiotik lainnya yang saling terkait. Oleh karena itu, kepedulian moral tidak hanya ditujukan pada makhluk hidup, tetapi untuk benda abiotik yang terkait pula.


Salah satu versi teori Ekosentrisme yang sedang terkenal adalah Deep Ecology (DE). Istilah ini diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada tahun 1973. DE menuntut suatu perubahan dimana etika tidak hanya terfokus pada manusia, tetapi kepada seluruh makhluk hidup dan lingkungannya. Seluruh komunitas ekologis menjadi fokus DE. DE juga diterjemahkan sebagai gerakan yang nyata agar tercipta suatu kehidupan yang selaras antara makhluk hidup dan alam. Gerakan nyata ini berpengaruh terhadap cara pandang, tingkah laku, dan gaya hidup banyak orang.

Bagaimanakah cara pandang kita terhadap alam semesta? Apakah kita sudah memperlakukan alam ini dengan etika lingkungan yang baik, atau justru mengeskploitasinya demi memenuhi syahwat kita. Berbicara masalah etika lingkungan dan sifat rakus manusia, penulis jadi teringat kisat di hutan Afrika sana. Penulis membaca kisah tersebut di majalah Tempo, tetapi penulis sudah lupa edisi berapa, karana majalahnya sudah hilang. Maklumlah, majalah itu penulis baca ketik duduk di bangku SMA dulu.

Kisahnya begini, Di hutan Afrika sana banyak manusia-manusia rakus memburu gajah untuk mendapatkan gadingnya. Maklumlah, harga gading mahal, sehingga mereka tanpa memperhitungkan akibatnya membunuh gajah-gajah tersebut. Akhirnya, banyak gajah yang mati, bangkai-bangkai bertebaran di hutan karena yang diambil Cuma gadingnya. Akibatnya, populasi singa di hutan itu menjadi banyak menggoncangkan perimbangan hewan-hewan di situ. Apa hubungannya pembunuhan gajah-gajah tersebut dengan berkembang pesatnya populasi singa? Mungkin anda bertanya dalam hati?

Logikanya begini. Karena banyak makanan bergizi bertebaran di mana-mana, maka singa-singa tersebut tidak usah repot-repot berburu untuk memenuhi makanannya. Mereka makan sepuasnya tanpa takut kelaparan lagi. Nah, inilah benang merahnya. Karena pekerjaan mereka Cuma makan dan bersantai maka libido singa-singa tersebut menjadi sangat kuat. Tiap hari pekerjaannya kawin saja, sehingga populasinya berkembang pesat. Bagaimana dengan manusia? Bagaimana dengan kita? He he he he!

Sebagai makhluk yang berakal, kita memang harus menyelamatkan bumi keseluruhannya agar anak cucu kita tidak terdzolomi.




Seorang pencinta binatang sedang bercengkerama dengan penyu. Alangkah indahnya jika terjadi harmonisasi antara manusia dan lingkungannya.




Inilah populasi penyu-penyu yang harus kita selamatkan dari kepunahan. Foto ini diambil di teluk penyu di pulau Bali.




Burung-burungpun sekarang menjerit pilu karena banyak diburu dan di kerangkeng dalam sangkar untuk memenuhi kesenangan manusia. Tetapi, ada hal lain yang patut kita mohonkan kepada Allah. Mudah-mudahan di negeri yang kita cintai ini tidak terjadi pembunahan karakter pemimpin-pemimpin yang berkualitas, agar manusia-manusia langka itu tidak punah dari negeri ini! Amiin!

 

 
 






No comments:

Post a Comment