Pendidikan berfungsi memanusiakan
manusia, bersifat normatif, dan mesti dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu, idealnya pendidikan tidak dilaksanakan secara sembarangan,
melainkan seyogyanya dilaksanakan secara bijaksana. Pendidikan hendaknya
merupakan yang betul-betul disadari, jelas landasannya, tepat arah dan
tujuannya, efektif dan efisien pelaksanaannya.
Belajar tidak hanya sekedar
mengingat. Bagi siswa untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan
ilmu pengetahuan, mereka harus belajar memecahkan masalah, menemukan
sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergaul dengan ide-ide. Tugas
pendidikan tidak hanya menuangkan sejumlah informasi ke dalam benak
siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan
sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.
Pandangan terhadap sekolah sebagai
alat transformasi pendidikan sudah mendapat banyak kritik, salah satunya
adalah Freire. Dia mengatakan bahwa sekolah selama ini menjadi alat
penjinakan, yang memanipulasi peserta didik agar mereka dapat diperalat
untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Demikian juga dengan
Illich (1972), yang mengatakan bahwa sekolah semata-mata dijadikan alat
legetimasi sekelompok elite sosial. Sekolah sebagai suatu lembaga
pendidikan baru justru menggali jurang (gap) sosial. Sebagian orang yang
mengenyam pendidikan formal membentuk kubu elite sosial (setelah ada
legetimasi berupa ijazah, kepandaian dan kesempatan) dalam kehidupan
bermasyarakat sering memegang peranan dan posisi kunci dalam menentukan
kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pada abad ke 20 telah terjadi
perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan
tersebut membawa perubahan pula dalam cara belajar mengajar di sekolah.
Dari cara-cara pengajaran lama di mana murid-murid harus diajar dengan
diberikan pengetahuan sebanyak mungkin dalam berbagai mata pelajaran,
berangsur-angsur beralih ke arah penyelenggaraan sekolah progresif,
sekolah kerja, sekolah pembangunan dan sekolah yang menggunakan CBSA.
Mula-mula, situasi pengajaran di sekolah lebih menonjolkan peranan guru
dengan tujuan untuk penguasaan materi pelajaran yang direncanakan oleh
guru. Murid-murid lebih bersifat pasif hanya tinggal menerima apa yang
disuguhkan guru. Kurikulum sepenuhnya direncanakan dan di susun oleh
guru atau sekolah tanpa melibatkan peserta didik.
Bagaimana dengan kita, apakah kita telah siap melakukan reformasi menuju pendidikan yang memanusiakan manusia? Pendidikan yang tidak memanipulasi peserta didik agar dapat diperalat untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu!
Bacaaan:
Ihat Hatimah, dkk, Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2008), hal.
No comments:
Post a Comment