Friday, November 2, 2012

REFORMULASI PENDIDIKAN AGAMA



Disampaikan pada Konvesi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) IV tanggal 19 – 22 September 2000 di Hotel Indonesia Jakarta.


1.    Muqqadimah

Jika dicermati secara kritis, kata demi kata, kalimat demi kalimat dan alinea demi alinea yang terdapat pada Pembukaan UUD-45, bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, bahkan spirit keagamaanlah yang mendorong bangsa Indonesia berjuang, sampai akhirnya menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan itu secara yuridis tepatlah jika dikatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara agama yang berdasarkan Pancasila, atau paling tidak disebut negara Pancasila yang dijiwai agama [perhatikan dan cermati Pembukaan UUD-45, dan kaitkan terutama alinea ke-3 dan ke-4.]
Konsekuensi logisnya, dalam kaitannya dengan kepentingan Nasional cukup beralasan jika pendidikan agama, mendapat tempat yang penting dalam kurikulum pendidikan nasional, sehingga wajib diikuti oleh seluruh peserta didik, dari jenjang pendidikan yang paling rendah sampai perguruan tinggi. (Lihat; GBHN: 78;83;88;93;98;99, bab Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa).
Atas pertimbangan itu tujuan pendidikan Agama tentunya menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan berpijak bangsa, dan menjadikannya pembangkit semangat dalam mempertahankan eksistensi kemerdekaan Indonesia dan mengisinya, sehingga tujuan nasional dapat tercapai. Mengingat telah terjadinya degradasi kewibawaan pendidikan Agama terutama di lembaga-lembaga pendidikan formal, maka dalam konteks pencapaian tujuan tersebut diperlukan reformasi melalui telaah kritis, baik yang menyangkut konsep dasar, tujuan dan materi; proses pembelajaran, dan evaluasi pendidikan Agama.

2.    Konsep dasar, tujuan, dan materi

Pemahaman tentang eksistensi alam dan manusia merupakan pangkal tolak dalam memahami wawasan tentang konsep dasar dan tujuan dalam pendidikan. Falsafah tentang alam dan manusia didalam Islam didasarkan atas ketuhanan yang fungsional, dalam arti bahwa, Allah adalah Tuhan, disamping sebagai Kholiq, ia berperan sebagai Rabb yaitu pengatur alam. Keberadaan alam merupakan eksistensi dari fitrah yaitu kepastian Allah berdasarkan hukum-hukum-Nya. Hukum Allah tentang al-kaun, yaitu makhluk selain manusia, terdapat di alam yang menghampar luas yang disebut jagad raya. Tak ada makhluk di jagad raya yang tidak menurut hukum kepastian Allah. Peredaran matahari pada mustaqarnya, begitu pula planet-planet lain seperti bumi, bulan dan bintang, semuanya beredar pada falaq yang telah ditetapkan oleh Allah penciptanya, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling berbenturan.
Manusia adalah makhluk unik dan serba mungkin. Keunikan manusia karena Allah menjadikannya sebagai khalifah, yaitu makhluk yang diberikan kewenangan memilih acauan yang diajukan kepadanya. Atas pilihan manusialah Allah menentukan keputusann-Nya. Nasib mujur atau nasib sial, merupakan konsekuensi dari pilihan masing-masing. Atas dasar itu doktrin jabariyah yang mengatakan bahwa Allah berkuasa mutlak terhadap manusia, dalam arti nasib manusia tergantung kepada Allah, tidak sesuai dengan konsep manusia sebagai khalifat.
Berdasar fitrahnya, manusia itu ibarat lahan kosong yang potensial. Potensi dasar yang dibawa sejak lahir adalah sarana pengetahuan berupa pendengaran, penglihatan, perasaan dan alat-alat indra lainnya. Dengan fitrah yang dibawa sejak lahir itu, manuia berpotensi untuk menerima berbagai pengaruh. Pengaruh itulah yang disebut pengetahuan, dan akan membentuk kesadaran manusia.
Akal mempunyai peranan penting untuk memberikan ciri khas kemanusiaan sehingga berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, baik potensi alamiah maupun potensi ilmiah, sehingga menjadi berpengetahuan. Namun keberadaan akal tergantung pada faktor lain.
Pengetahuan manusia yang hanya berdasarkan pada pengamatan indrawi yang bersudut pandang empiris, akan melahirkan kesadaran dalam hidupnya dipertuhan oleh kebendaan. Sebaliknya pengetahuan manusia yang hanya dilandasi pengamatan batin yang bersudut pandangan intuitif akan melahirkan manusia yang mendambakan hidup bahagia dalam khayalan. Untuk memberikan arahan kepada manusia dalam menentukan pilihannya, Allah memberikan pedoman yaitu wahyu yaitu ilmu atau ajaran yang disampaikan melalui para rasul.
Al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan melalui Rasulullah Muhammad, merupakan landasan konsepsional bagi manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya baik lingkungan manusia maupun lingkungan alam. Harapan dan kehendak Allah terhadap manusia dikemukakan didalam wahyu-Nya itu. Sebab itu mengikuti kehendak Allah pada hakekatnya adalah mengikuti hukum-hukum dan tata atruan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Bertuhan Allah berarti memerankan al-Qur’an dalam kehidupan. Konsep dasar inilah yang membedakan antara konsep Islam dengan konsep deisme (faham monoteis transendental). Berdasarkan konsep dasar tersebut, pendidikan dalam Islam, pada hakekatnya adalah upaya untuk menumbuh-kembangkan atau merancang bangun kepribadian wahyiah, yaitu kepribadian yang berstruktur pada sudut pandang bahwa; Allah adalah Tuhan, al-Qur’an sebagai pedoman hidup, dan sunnah Rasul sebagai uswah. Kepribadian yang demikian itu, dalam al-Qur’an diistilahkan dengan iman dalam arti pandangan dan sikap hidup atau perilaku ilmiah, bukan perilaku alamiah atau batiniah. Manusia yang berkepribadian Qur’ani adalah insan yang dalam hidupnya memerankan al-Qur’an dengan pola sunnah rasul. Dengan demikian konsep dasar tentang pendidikan dalam islam adalah fungsionalisasi nilai-nilai Ilahiyah dalam kehidupan manusia. Adapun tujuannya adalah terbinanya manusia yang berkesadaran hidup menurut Allah,  sehingga sikap dan perilaku dalam hidupnya di alam berpedoman dengan ajaran-Nya, yakni al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa al-Qur’an adalah wahyu dalam arti ajaran Allah yang disampaikan kepada manusia melalui nabi Muhammad guna dijadikan pedoman, dalam menata hidupnya di alam. Dengan demikian materi pendidikan mengacu kepada prinsip bahwa al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi manusia, dalam menata diri dan lingkungannya. Sebagai suatu pedoman al-Qur’an akan berperan jika orang memahaminya. Atas dasar itu materi pendidikan yang tidak dapat ditawar-tawar adalah pengenalan, pemahaman dan penerapan isi dan kandungan al-Qur’an.

3.    Proses dan Tahapan

Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor alamiah yang dibawa sejak lahir seperti kondisi fisik, dan kejiwaan berpengaruh terhadap kepribadiannya. Faktor pengaruh yang diterima sejak ia lahir hingga dewasa dan tua, baik pengaruh alamiah seperti kondisi cuaca, maupun pengaruh sosial budaya, yang diterima secara langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja, akan berpengaruh pula terhadap perkembangan kepribadiannya. Berbagai faktor yang berperan dalam menentukan kepribadian, termasuk kajian dari proses pendidikan. Secara kronologis, pada uraian berikut ini akan dikemukakan proses pendidikan pada tahap persiapan, yaitu sebelum seseorang lahir, proses pertumbuhan dan perkembangan, dan proses renovasi atau bongkar pasang.
a.    Tahap Persiapan.
Kondisi fisik seseorang seperti bentuk tubuh paras atau tampan, warna kulit, dan lain-lain, akan berpengaruh terhadap kepribadian. Seseorang yang bertubuh kekar, kepribadiannya akan berbeda dengan orang yang bertubuh kecil dan pendek. Begitu pula seseorang wanita atau pria yang berparas cantik atau tampan, kepribadiannya akan berbeda dengan wanita atau pria yang tidak cantik atau tidak tampan.
      Kondisi fisik seseorang, ada yang diperoleh secara alamiah yaitu dari pembawaan, ada pula yang diperoleh dari rekayasa. Secara genetik seseorang yang kedua orang tuanya bertubuh tinggi, kemungkinan anak-anaknya akan bertubuh tinggi pula. Sebaliknya jika kedua orangtuanya bertubuh pendek dan kecil, maka kemungkinan anak yang menjadi keturunannya akan bertubuh pendek dan kecil pula. Begitu pula halnya dengan faktor fisik yang lain. Jika kondisi fisik seseorang berpengaruh terhadap kepribadiaannya, maka perencanaan keluarga, merupukan proses awal dalam merancang bangun kepribadian generasi mendatang.
            Dalam kaitannya dengan proses reproduksi manusia di dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa reproduksi manusia berasal dari sal-sal. Di dalam bahasa biologi lazim disebut dengan sel yang terkandung pada mani atau nuftah. Pertemuan sel jantan dan sel betina pada qararin makin jika unsur-unsurnya terpenuhi, akan menjadi calon manusia baru yang secara bertahap membentuk alaqah, muzgah, dan seterusnya sehingga menjadi izam yang berbalut dengan lahm.
            Pemenuhan unsur-unsur biologis baik sel jantan maupun sel betina, akan berpengaruh terhadap kondisi janin yang kelak akan lahir. Cacat yang dibawa sejak lahir besar kemungkinan akibat kurang terpenuhinya unsur-unsur genetik yang terkandung pada sel jantan atau sel betina. Kekurangan unsur-unsur genetik, di samping dipengaruhi faktor gizi yang terkandung dalam makanan atau minuman, juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Pembuahan unsur genetik pria dan wanita yang mempunyai hubungan darah masih relatif dekat, merupakan salah satu faktor yang akan berpengaruh negatif terhadap embrio yang kelak akan menjadi keturunannya. Karena itu Allah melarang pernikahan sesama muhrim.
            Selama di dalam kandungan, kondisi janin tergantung kepada kondisi ibu yang mengandungnya. Darah yang mengalir di tubuh janin adalah darah ibunya. Jika ibu yang hamil mengidap penyakit diabetes, maka darah yang mengaliri tubuh janin mengandung kadar gula. Apabila penyakit diabetes termasuk golongan penyakit yang sulit disembuhkan, maka anak-anak yang lahir dari ibu yang mengidap penyakit tersebut akan menderita penyakit diabetes sepanjang hayat.
            Kondisi psikologis ibu yang sedang mengandung berpengaruh pula terhadap janin yang dikandungnya. Seseorang ibu yang mendambakan keturunan, ia akan merasa bangga dengan kehamilannya dan akan merawat kehamilannya dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya kehamilan yang tidak diharapkan, akan berakibat negatif terhadap kondisi janin yang kelak akan lahir. Seorang wanita yang melakukan hubungan gelap dengan seorang pria misalnya, jika dari hubungannya itu terjadi pembuahan, maka wanita tersebut secara psikologis akan merasa malu, kesal, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Karena perasaan-perasaan yang negatif tersebut, besar kemungkinan akan berakibat negatif terhadap janin yang dikandungnya.
            Berdasarkan pertimbangan baik fisiologis maupun psikologis orangtua, dalam kaitannya dengan kepribadian anak yang akan lahir, tepatlah jika faktor kesehatan dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan lahirnya generasi yang tidak diharapkan.

b.    Pertumbuhan dan perkembangan
Kondisi fisik yang dibawa seseorang sejah lahir, merupakan potensi dasar dari kepribadiannya. Dengan potensi dasar yang dibawanya sejah lahir, seseorang akan mampu beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial budaya. Faktor makanan dan minuman yang diberikan kepada seseorang pada usia dini, suara yang diperdengarkan, rumah yang ditempati, pakaian yang dikenakan, dan lain-lain merupakan faktor yang akan memberikan warna terhadap kepribadian seseorang.
Situasi dan kondisi di lingkungan keluarga merupakan faktor yang pertama dan utama dalam pendidikan. Proses pendidikan pada masa anak usia dini, di dalam al-Qur'an dinyatakan dengan istilah Tarbiyah. Aktivitas tarbiyah meliputi pemenuhan kebutuhan secara fisik maupun psikis yang berlangsung di lingkungan keluarga. Sesuai dengan kodratnya, pada usia kanak-kanak, seseorang mencari identifikasi diri dengan alam sekitar. Atas dasar itu verbalisasi dan pemberian contoh merupakan metode yang tepat dalam tarbiyah. Melatih potensi tubuh baik ucapan maupun tangan, kaki, dan seluruh anggota merupakan pendekatan dalam tarbiyah. Menirukan ucapan, memperkenalkan nama-nama anggota tubuh dan benda-benda alam yang ada di sekitar seperti peralatan rumah tangga, alat-alat permainan, dan lain-lain merupakan materi dasar dalam tarbiyah.
Pada masa anak usia dini, anak-anak merasa puas dengan kemampuan menirukan suara atau menyebutkan nama-nama benda yang ada di sekitarnya. Pada tahap berikutnya apa yang telah dikuasai oleh seseorang akan difungsikan dalam kehidupannya. Sesuatu akan berfungsi apabila seseorang memahami tentang apa yang dikenalnya. Karena itu segala sesuatu yang telah ada pada diri seseorang yang diperolehnya melalui verbalisasi akan diseleksi. Sesuatu yang dipandang bermanfaat akan dilestarikan dan dikembangkan, sebaliknya yang dipandang kurang atau tidak bermanfaat akan, kemungkinan akan dibuangnya. Pengenalan lambang-lambang al-Qur'an yang tidak mengarah kepada pengertian kemungkinan besar akan ditinggalkan jika tidak ditingkatkan kearah pemahaman makna yang terkandung di dalamnya.
Proses pertumbuhan dan perkembangan, pada dasarnya merupakan proses pembentukan kepribadian atau proses pendewasaan yang dalam isitlah al-Qur'an disebut dengan tablig. Seseorang dikatakan telah balig apabila ia telah mencapai kematangan emosional, dalam arti memiliki kematangan dalam menanggapi stimulan dan mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam mengekspresikannya dalam kehidupan.

c.    Renovasi
Setelah memasuki usia dewasa, berbagai informasi yang diterima akan diadaptasikan dengan tanggapan yang telah tertanam di dalam kesadarannya. Proses pendidikan pada orang dewasa, bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepribadian yang telah tertanam. Jika kepribadian yang telah tumbuh dan berkembang dinilai positif. Namun jika kepribadian yang ada dinilai negatif maka aktivitas pendidikan bertujuan ganda yaitu tebang tanam atau bongkar pasang, yang didalam istilah al-Qur'an disebut dengan musaddiq atau renovasi kepribadian. Proses pendidikan agama di perguruan tinggi termasuk tahapan ini.
Para Rasul diutus untuk memperbaiki kepribadian ilahiyah yang telah rusak. Strategi pendidikan yang dilakukan oleh para Rasul merupakan strategi yang tepat dalam upaya merenovasi kepribadian guna terbentuknya kepribadian yang qur’ani. Proses pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad, secara periodik dibagi menjadi dua tahap yaitu periode Makiah dan periode Madinah. Periode Makiah adalah periode yang dilakukan oleh Nabi semasa beliau memusatkan aktivitasnya di Makkah, dan periode Madinah adalah periode setelah Nabi dan para sahabatnya hijrah ke Madinah. Periode Makiah, dalam kaitannya dengan pendidikan masa kini adalah kondisi dan situasi kampus, sementara periode Madinah adalah periode penerapan, yaitu saat ketika para alumni telah berkiprah di masyarakat.

4.      Evaluasi
Penyakit formalitas akademis telah berjangkit di kalangan masyarakat. Kualitas kemampuan seseorang dilihat dari ijazah formal yang dimilikinya. Nilai hasil studi yang dilaporkan oleh pengajar, merupakan bukti kemampuan seseorang peserta didik. Tradisi belajar dalam rangka mengejar nilai walaupun kurang terpuji namun berkembang di kalangan peserta didi. Karena itu penilaian dalam pendidikan merupakan pemicu kuat atau lemahnya minar peserta didi dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar. Kesalahan dalam penilaian yang dilakukan oleh pengajar akan merusak citra mata pelajaran, disamping pengajar dan lembaga pengelolanya.
Pemberian nilai para pengajar pendidikan Agama kepada peserta didiknya, boleh dikatakan demikian mudah. Jarang kedengaran para peserta didik tidak lulus untuk bidang studi Pendidikan Agama. Bahkan nilai yang diperoleh para peserta didik umumnya semuanya tinggi, jika dibandingkan dengan nilai rata-rata pelajaran lain. Alasan para pendidik, pendidikan agama merupakan mata ajaran wajib. Jika ada peserta didik yang nilainya jelek atau tidak lulus, mereka akan gagal dalam studi. Akibatnya kualitas keagamaan siswa cukup memprihatinkan namun siswa tersebut karena terpaksa atau belas kasihan pendidik akhirnya diluluskan. Akibat penilaian yang tidak mendidik inilah para alumni lembaga pendidikan melecehkan guru bidang studi Pendidikan Agama, bahkan pendidikan Agama dan Agama besar kemungkinan dilecehkan pula. Dalam konteks formalisasi akademis pemerintah tidak memasukkan bidang studi Pendidikan Agama dalam Ebtanas merupakan salah satu faktor yang membuat wibawa pendidikan agama di mata para siswa kurang penting.

5.    Kebijakan Pengelolaan.
Perbedaan persepsi tentang konsep ketuhanan menjadi penyebab manusia memeluk agama yang berbeda. Dalam perspektif bangsa Indonesia negara menjamin setiap warganegara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan agamanya. Namun demikian perlu disadari bahwa walaupun dalam banyak hal ajaran antara agama yang satu dengan yang lain terdapat persamaan, namun dalam banyak hal pula terdapat perbedaan. Karena itu menyamakan semua agama tidak dibenarkan. Toleransi antar umat bergama perlu dijunjung tinggi. Atas dasar itu pemilahan dalam penanganan pendidikan agama sesuai dengan agama para peserta didik, sebagaimana yang selama ini berjalan perlu dipertahankan. Lembaga yang mengelola bidang pendidikan berkewajiban untuk melayani setiap pemeluk agama, untuk mengembangkan semangat keagamaannya.

6.    Kesimpulan
Semangat keagamaan merupakan pendorong bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat, karena itu nilai-nilai keagamaan dijunjung tinggi. Pendidikan Agama wajib diberikan dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Tujuan pendidikan dalam kerangka pendidikan nasional adalah untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai keagamaan dalam upaya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Konsep dasar pendidikan agama bertumpu pada sudut pandang bahwa Tuhan disamping sebagai pencipta juga berperan sebagai pengatur, karena itu menumbuhkembangkan peradaban ilahi merupakan tujuan kurikuler dalam pendidikan agama.
Manusia yang berkepribadian Qur’ani dalam perspektif islam adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Manusia yang bertakwa kepada Allah adalah manusia yang cerdas, trampil, berpekerti luhur, memiliki semangat kebersamaan dan bertanggung jawab atas perilakunya. Untuk menumbuhkembangkan kepribadian Qur’ani materi pendidikan agama adalah pengenalan, pemahaman dan penerapan al-Qur'an dengan mencontoh sunnah rasul. Materi-materi lain diperlukan sebagai komplemen. Proses pendidikan berlangsung sejak seseorang memilih pasangan hidup, dalam kandungan, usia dini dan sampai meningkat tua, yang berlangsung di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah yang saling mempengaruhi.
Evaluasi pendidikan agama di lembaga pendidikan formal mempunyai pengaruh dalam menumbuhkembangkan minat peserta didik mengikuti kegiatan keagamaan, karena itu ketidakadilan dalam menetapkan penilaian akan berdampak negatif baik bagi para pendidik maupun kewibawaan bidang studi pendidikan agama.
Kebijakan pemerintah mengelompokkan peserta pendidikan agama di lembaga pendidikan formal berdasarkan kriteria agama yang dianut para peserta didik relevan dengan asas kebebasan bangsa Indonesia dalam memeluk agama.

7.    Saran-saran
Perlu dilakukan pembaruan dalam pendidikan agama, mengenai materi, metode, evaluasi pembelajaran agama yang relevan dengan konsep dasar dan tujuan baik, nasional maupun internasional. Materi utama yang perlu mendapat perhatian adalah menumbuhkembangkan kecintaan peserta didik terhadap kitab suci yang menjadi pegangan agamanya. untuk menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kitab suci, para peserta didik harus dibiasakan membaca. Karena itu para siswa sekolah dasar yang beragama islam ditetapkan harus memiliki kemampuan baca tulis al-Qur'an secara verbal, untuk tingkat sekolah menengah mampu memahami al-Qur'an secara sederhana, untuk tingkat perguruan tinggi mampu menganalisis tentang kandungan al-Qur'an.
Lembaga pendidikan hendaklah melayani para peserta didik mengembangkan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Oleh sebab itu setiap peserta didik seharusnya diberikan mata pelajaran agama sesuai dengan agama masing-masing walaupun lembaga tersebut mempunyai misi agama yang berbeda.
 

 
(Moh. Chudlori Umar)

No comments:

Post a Comment