Fenomena tawuran
pelajar kini tengah menjadi sorotan berbagai lapisan masyarakat. Ada apa dengan
pelajar kita? Pertanyaan ini layak kita lontarkan mengingat tawuran tersebut
telah merenggut jiwa, seperti yang terjadi pada tanggal 24 September 2012,
kita disuguhi berita yang membuat hati kita miris, yaitu berita tawuran antar sekolah SMAN 6 dengan
SMAN 70 di kawasan Bulungan Jakarta Selatan yang mengakibatkan satu tewas dan
dua luka. Komentarpun kemudian bermunculan. Seperti biasa, setiap ada peristiwa
yang luar biasa, orang-orang selalu mencari kambing hitam.
Salah satu kambing hitam itu adalah system pendidikan kita.
Menurut sang empunya pendapat terjadinya tawuran antarpelajar dikarenakan
system pendidikan yang tidak tepat. Hal itu diakibatkan kesalahan system
pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif dengan hanya mengejar nilai
ujian saja, tanpa memperhatikan pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan perombakan terhadap sistem
pendidikan, melalui perubahan kurikulum yang menguatkan aspek pembentukan
karakter siswa yang cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual.
Bukan hanya bertujuan mengejar nilai semata.
Ada pula yang menyoroti dari sisi
politik. Katanya, salah satu penyebab maraknya aksi tawuran pelajar karena
mencontoh sikap elit yang sering mempertontonkan sikan intoleransi sehingga
dengan atau tanpa disengaja banyak berpengaruh terhadap aksi dan tindakan
brutal para pelajar atau remaja. Dengan adanya sikap
intoleransi social ini, pelajar tidak punya lagi tokoh-tokoh yang patut
diteladani. Tawuran antarpelajar dinilai sebagai dampak dari kegelisahan
masyarakat, khususnya pelajar, terhadap kondisi sosial dan politik yang terjadi
di tengah masyarakat. Faktor ini lalu diperparah dengan ketidakmampuan sistem
pembelajaran dan evaluasi pendidikan dalam rangka memberi ruang berkembangnya
nalar peserta didik.
Sebenarnya masih banyak pendapat yang dilontarkan berkenaan
dengan terjadinya tawuran tersebut. Namun tidak perlu kita menginventarisir satu
per satu. Hal yang justru mendesak kita lakukan, sebagai komponen masyarakat
adalah melakukan introspeksi. Sudahkah kita ikut berperan aktif dalam
pendidikan bangsa? Sebab pendidikan itu sesungguhnya adalah tanggung jawab
bersama, bukan hanya tanggung jawab lembaga sekolah. Dalam kontek ini, pendidikan itu sebenarnya berlangsung di
berbagai lingkungan, yaitu di dalam lingkungan pendidikan informal (keluarga),
di dalam lingkungan pendidikan formal (sekolah), dan di dalam lingkungan
pendidikan nonformal (masyarakat).
Berkenaan dengan ketiga lingkungan pendidikan tersebut, Ki
Hadjar Dewantara mengemukakan konsep yang dikenal sebagai Tri Pusat
Pendidikan. Sementara itu pasal 13 UU RI
No.20 tahun 2003 menyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
nonformal, dan informal. Oleh karena itu, dalam konteks system pendidikan
nasional bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan komponen system
pendidikan. Nah, dengan demikian, rasanya tidak terlalu berlebiah jika kita
bertanya pada diri kita sendiri, sudahkah kita ikut berpartisi aktif dalam ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa?
***
No comments:
Post a Comment