Kita sering mendengar kata Abdi
Negara. Istilah tersebut biasanya dinisbatkan pada pegawai negeri yang idealnya
memang menjadi Abdi Negara. Sebab, sejatinya pekerjaan yang diembannya adalah
untuk melayani kepentingan masyarakat. Meskipun pada prakatiknya sering hanya
sebatas kata-kata, artinya hanya menjadi Abdi bagi hawa nafsunya.
Teori administrasi Negara mengatakan
bahwa seluruh anggota birokrasi pemerintahan mengabdikan dirinya pada
kepentingan seluruh masyarakat, pemerintah, bangsa dan Negara karena
sesungguhnya hakekat tugasnya adalah pengabdian tersebut. Artinya, kepentingan
birokrasi identik dengan kepentingan Negara. Namun demikian, kadang-kadang
sulit untuk dengan ikhlas mengabdikan kepada Negara jika terjadi pertentangan
kepentingan, antara Negara dan kepentingan lain. Terkadang, seorang pimpinan
menjadi alat kepentingan tertentu, misalnya kekutan politik, ekonomi dan
kelompok penekan lainnya.
Bagaimanakah caranya untuk
mengatasi permasalahan tersebut? Untuk mencegah timbulnya situasi demikian,
ditekankan pentingnya netralitas birokrasi dalam arti bahwa kekuatan social politik
manapun yang berkuasa dalam satu kurun waktu tertentu, birokrasi harus mampu
mengabdikan dirinya hanya kepada kepentingan Negara secara keseluruhan.
Artinya, semua tindakannya harus diarahkan kepada pencapaian tujuan Negara bangsa
yang bersangkutan. Hal itulah yang harus menjadi salah satu tolok ukur perilaku
seorang pejabat pimpinan dalam birokrasi.
Kecenderungan mempertahankan
status Quo
Orang/kelompok yang telah
menggenggam kekuasan biasanya ada kecenderungan untuk mempertahankan status
quo. Dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu administrasi pembangunan –
diketahui bahwa para anggota suatu birokrasi dapat diklasifikasikan kepada tiga
kategori, yaitu:
· Mereka yang tergolong
sebagai “tradisionalis”, yang ciri-cirinya antara lain, berorientasi ke masa
lalu. Obsesi kelompok ini adalah upaya kejayaan yang pernah dialami dimasa yang
silam dapat terulang kembali.
· Mereka yang bersikap
ambivalen, dalam arti bahwa orientasinya adalah masa kini dan obsesinya
berkisar pada upaya menikmati hidup selagi masih berkuasa. Dalam bahasa popular,
para anggota kelompok ini tergolong pada penganut aji “mumpung”. Kelompok
inilah yang sangat gandrung mempertahankan status quo yang dipandangnya
menguntungkan.
· Mereka yang tergolong
sebagai “modernis” atau “developmentalis” yang: (a) orientasi waktunya adalah
masa depan, dan (b) ingin mewujudkan perubahan dengan merombak status quo yang
ada.
Keinginan
mempertahankan status quo menjadi patologi birokrasi karena pada kenyataannya
dalam kehidupan bernegara selalu terjadi perubahan yang tidak mungkin dielakkan
atau dihindari. Bahkan perubahan itu harus diantisipasi sedemikian rupa
sehingga dapat direspon secara tepat, baik dalam arti pengaruhnya yang positip
maupun negative
(bersambung)
No comments:
Post a Comment