Thursday, October 25, 2012

KONFLIK KEPENTINGAN



Kita sering mendengar kata Abdi Negara. Istilah tersebut biasanya dinisbatkan pada pegawai negeri yang idealnya memang menjadi Abdi Negara. Sebab, sejatinya pekerjaan yang diembannya adalah untuk melayani kepentingan masyarakat. Meskipun pada prakatiknya sering hanya sebatas kata-kata, artinya hanya menjadi Abdi bagi hawa nafsunya.

Teori administrasi Negara mengatakan bahwa seluruh anggota birokrasi pemerintahan mengabdikan dirinya pada kepentingan seluruh masyarakat, pemerintah, bangsa dan Negara karena sesungguhnya hakekat tugasnya adalah pengabdian tersebut. Artinya, kepentingan birokrasi identik dengan kepentingan Negara. Namun demikian, kadang-kadang sulit untuk dengan ikhlas mengabdikan kepada Negara jika terjadi pertentangan kepentingan, antara Negara dan kepentingan lain. Terkadang, seorang pimpinan menjadi alat kepentingan tertentu, misalnya kekutan politik, ekonomi dan kelompok penekan lainnya.

Bagaimanakah caranya untuk mengatasi permasalahan tersebut? Untuk mencegah timbulnya situasi demikian, ditekankan pentingnya netralitas birokrasi dalam arti bahwa kekuatan social politik manapun yang berkuasa dalam satu kurun waktu tertentu, birokrasi harus mampu mengabdikan dirinya hanya kepada kepentingan Negara secara keseluruhan. Artinya, semua tindakannya harus diarahkan kepada pencapaian tujuan Negara bangsa yang bersangkutan. Hal itulah yang harus menjadi salah satu tolok ukur perilaku seorang pejabat pimpinan dalam birokrasi.

Kecenderungan mempertahankan status Quo

Orang/kelompok yang telah menggenggam kekuasan biasanya ada kecenderungan untuk mempertahankan status quo. Dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu administrasi pembangunan – diketahui bahwa para anggota suatu birokrasi dapat diklasifikasikan kepada tiga kategori, yaitu:

·        Mereka yang tergolong sebagai “tradisionalis”, yang ciri-cirinya antara lain, berorientasi ke masa lalu. Obsesi kelompok ini adalah upaya kejayaan yang pernah dialami dimasa yang silam dapat terulang kembali.

·     Mereka yang bersikap ambivalen, dalam arti bahwa orientasinya adalah masa kini dan obsesinya berkisar pada upaya menikmati hidup selagi masih berkuasa. Dalam bahasa popular, para anggota kelompok ini tergolong pada penganut aji “mumpung”. Kelompok inilah yang sangat gandrung mempertahankan status quo yang dipandangnya menguntungkan.

·    Mereka yang tergolong sebagai “modernis” atau “developmentalis” yang: (a) orientasi waktunya adalah masa depan, dan (b) ingin mewujudkan perubahan dengan merombak status quo yang ada.

Keinginan mempertahankan status quo menjadi patologi birokrasi karena pada kenyataannya dalam kehidupan bernegara selalu terjadi perubahan yang tidak mungkin dielakkan atau dihindari. Bahkan perubahan itu harus diantisipasi sedemikian rupa sehingga dapat direspon secara tepat, baik dalam arti pengaruhnya yang positip maupun negative

(bersambung)

No comments:

Post a Comment